Jangan Hilangkan Dia

494 18 46
                                    

"Pesawat Crocodile Air rute Denpasar-Jakarta jatuh di perairan laut Jawa pada pukul 18.00 WIB.."

Gadis itu mematung di tempatnya ketika mendengar headline berita malam itu. Tubuhnya mendadak lemas.

Ia menggeleng kuat, berusaha menahan mati-matian air mata yang hendak jatuh itu. Namun percuma, daftar nama penumpang dan kru pesawat yang tertera di layar televisinya memaksa gadis itu menangis sejadi-jadinya.

"Devi!" seru seorang pria paruh baya ketika melihat anak gadisnya beranjak pergi dari ruangan keluarga.

"Biar Dea aja, Pa." sela anak sulungnya.

Sang Papa mengangguk. Pria itu kemudian menatap sang istri yang duduk di sebelahnya.

"Jinan teman Devi?" tanyanya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Sang istri hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia menghela nafas berat, kemudian bangkit dan menyusul kedua anak gadisnya.

Sesampainya di kamar sang anak, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Dea yang tengah menenangkan sang adik. Ia kemudian bergerak masuk mendekati keduanya.

"Dek." panggilnya lembut sambil mengusap puncak kepala Devi.

Devi melepaskan pelukannya pada sang kakak, lalu berpindah pada sang mama.

"Kak Jinan.." adunya sambil menangis dan mendekap erat sang mama.

Mamanya tak menjawab, karena ia tau saat ini Devi tak butuh kata-kata motivasi apapun. Yang ia butuhkan hanya seseorang untuk meluapkan semua emosi yang selama ini ditahannya seorang diri. Kesedihannya, kesepiannya, dan sedikit amarahnya karena harus kehilangan sosok yang sangat disayanginya.

"Devi jahat.."

"Devi ngga jahat, Sayang. Udah ya."

Bukannya semakin diam, Devi malah semakin menangis. Mama dan kakaknya saling tatap, bingung dengan apa yang harus dilakukan untuk menenangkan Devi.

"Aku ngga kuat. Udah cukup, aku mohon. Aku sayang dia." lirih gadis bermata besar itu.

Kalimat terakhir yang diucapkan Devi malam itu, karena setelahnya ia tak sadarkan diri dalam dekapan sang mama.

Mengetahui kondisi putri bungsunya, sang papa langsung menelepon Om Devi yang merupakan seorang dokter untuk datang ke kediamannya.

"Dea, Devi pernah ngeluh tentang kuliah atau hal lain mungkin?" tanya sang dokter.

"Kadang. Devi kenapa, Om?" cemas Dea.

"Dari sakit Devi yang lalu, Om nyimpulin dia tertekan sama suatu hal sampai ngebuat daya tahan tubuhnya melemah." jelas sang dokter.

Semua yang ada di sana terdiam. Hanya satu hal dipikiran mama, papa, dan kakak Devi. Jinan.

"Yaudah, ini saya beri vitamin saja karena memang Devi ngga sakit. Tolong jagain dia, jangan biarin dia mikir terlalu berat." ucap sang dokter.

Sang dokter kemudian pamit pulang. Setelah mengantar sampai depan gerbang, papa Devi kembali lagi ke kamar anaknya.

"Maafin Papa, Dek. Maafin Papa." ucapnya sambil menggenggam tangan sang putri.

"Papa bilang ngejauhin Jinan dari Devi buat kebaikan dia? Papa liat sekarang gimana keadaan dia? Baik? Sama sekali engga, Pa." ucap Dea menahan tangisnya.

"Iya Papa salah. Papa minta maaf." lirih sang papa.

Devi masih belum sadarkan diri. Memendam segala rasa sesak seorang diri selama itu memang bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dan mungkin ini adalah waktu untuk Devi.

FairytalesWhere stories live. Discover now