Le Rêve

1.5K 298 210
                                    

"Apa kau benar-benar putri si pembunuh berantai?”

Anak kecil itu terdiam. Mata berwarna hazel miliknya menyipit, mencoba menghalau kilatan-kilatan blitz kamera yang terus menyorot. Bibirnya gemetar, tak tahu apakah ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang dewasa yang berkerumun di sekitarnya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang diinginkan mereka. Apa yang orang-orang dewasa itu inginkan dari seorang anak kecil berusia belum genap enam tahun?

“Apa ayahmu sering memukulimu?”

“Bagaimana perasaanmu saat tahu ayahmu yang melakukan semua itu?”

“Ibumu sudah meninggal, 'kan?”

Butiran-butiran bening perlahan mengalir di pipinya. Sungguh, ia hanya gadis lemah yang tidak tahu apa-apa, tetapi para wartawan itu terus saja memaksanya untuk buka mulut. Mereka terus mendesaknya tanpa memikirkan kondisi mental anak yang masih sangat belia itu. Untunglah, sebuah teriakan mengalihkan atensi para pencari berita itu.

“Jangan ganggu dia! Dia hanya anak kecil!”

Seorang polisi datang bak pahlawan, menerobos kerumunan wartawan, dan menarik anak itu ke tempat aman. Menjauhkannya dari gerombolan awak media yang haus informasi.

“Kau tidak apa-apa, Nak?” tanya polisi itu.

Ia mengangguk pelan.

Tiba-tiba, dalam sekejap saja latarnya berganti, ia berada di sebuah sekolah. Dengan langkah gemetar, ia berjalan menyusuri koridor yang penuh dengan anak-anak seusianya. Mereka berbisik-bisik sambil menatap aneh ke arahnya. Ledekan dan cibiran terus terdengar memojokkan anak kecil itu.

“Benar, 'kan? Dia putri pembunuh berantai yang ada di berita televisi!”

“Beraninya dia sekolah di sekolah kita!”

“Tidak tahu malu!”

Bahkan seorang anak melemparkan telur busuk ke arahnya. Telur itu pecah mengotori rambutnya.

“Ew!”

Semua orang memandangnya jijik. Mereka tak henti-hentinya mengumpatkan kata-kata kasar kepadanya. Anak malang itu hanya bisa menangis dan berlari menuju rooftop. Apa salahnya? Ia tidak mengerti mengapa semua orang membencinya. Apa mereka menganggap dirinya juga monster, sama seperti ayahnya?

Tanpa pikir panjang, anak kecil itu naik ke pagar pembatas. Matanya memandang jalan raya yang ramai di bawahnya. Air matanya terus menetes. Ia berpikir, dengan mengakhiri hidupnya, pastilah penderitaannya selama ini akan berakhir.

“Mama, papa, tunggu aku.”

Sedetik kemudian, ia menjatuhkan tubuhnya dari atas gedung itu.

***

TRAILER :

PARANOISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang