Vancouver and A Thousand Bitter Memories - 2

276 57 47
                                    

“Mommy, tidak usah bahas itu lagi! Mana daddy?” Rael mengalihkan topik.

“Daddy-mu akan pulang sebentar lagi untuk makan siang. Kita makan siang bersama, ya? Vio juga ikut makan siang, ya? Mau, ‘kan?”

“Dengan senang hati, Bu.”

PIP! PIP!

Suara klakson mengalihkan atensi mereka. Vio menoleh ke luar, mencari tahu siapa lagi tamu yang datang. Namun, seruan ibu Rael langsung menjawab pertanyaannya.

“Nah, itu pasti daddy-mu!”

Benar saja, seorang pria berperawakan tinggi besar terlihat melangkah masuk melalui pintu depan. Rael dan ibunya langsung menghampiri pria itu, sementara Vio –lagi-lagi– terdiam, tidak tahu apa yang harus ia perbuat.

“Rafael? Ternyata kau sudah datang, ya?” sapa pria itu.

Pembawaan ayah Rael tampak lebih kalem, tidak seperti ibunya yang heboh dan ceria.

“Ini siapa?”

“Ini Captain Violeta Ferrour, seniorku di kepolisian.” Sekali lagi Rael mengenalkan Vio pada anggota keluarganya.

“Wah, senang bertemu Anda, Capt. Saya sering melihat Anda di berita televisi,” tutur ayah Rael.

“Senang bertemu Anda juga, Pak,” balas Vio sopan.

“Ayo kita makan siang bersama,” ajak ibu Rael bersemangat. Ia menuntun mereka menuju ke ruang makan, lalu mempersilahkan Vio ikut duduk bersama di meja makan keluarga.

“Renatha! Ayo makan!”

“Iya, Mommy!”

Adik Rael –Renatha– yang tadi menjemput mereka di bandara pun ikut bergabung untuk makan siang bersama. Para pelayan di rumah itu mulai menyajikan berbagai macam menu di meja. Ada sup asparagus, beef steak, ayam panggang, dan masih banyak lagi. Saking banyaknya, Vio sampai terheran-heran. Keluarga Rael sepertinya memang sangat kaya.

“Selamat makan!”

Bahkan, untuk memilih makanan saja, Vio tidak tahu harus memulai dari mana. Setelah menimbang-nimbang, pilihannya jatuh pada potongan-potongan beef steak yang menggugah selera. Mereka pun menghabiskan makanan masing-masing tanpa banyak bicara.

“Mommy, Daddy, setelah ini aku harus mengantar Vio ke rumah paman dan bibinya,” ujar Rael.

“Oh, Vio orang Vancouver juga?” tanya ibu Rael.

“Ya. Tapi saya sudah lama sekali tidak berkunjung ke sini.”

“Apa kalian ke sini karena ada urusan pekerjaan juga?” Giliran ayah Rael yang bertanya.

“Tidak, Dad. Vio hanya menemani Rael berziarah ke makam ayah dan ibu.”

Ayah Rael mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan pernyataan Rael, karena tidak seorang pun yang pernah ia kenalkan pada orang tua kandungnya, kecuali keluarga angkatnya dan –baru-baru ini– Vio. Namun, pria itu tidak ingin ikut campur dengan kehidupan pribadi anaknya, jadi ia tidak menanyakan perihal hubungan Rael dan Vio yang sebenarnya.

“Oh, begitu.”

“Rael pergi dulu, Mommy, Daddy, Rena,” pamit Rael sambil beranjak dari tempat duduknya.

Vio juga ikut beranjak dan membungkukkan badannya. “Terima kasih atas keramahan Anda, Pak, Bu.”

“Bye! Berkunjung ke sini lagi, ya, Vio!” Ibu Rael melambaikan tangannya.

“Maafkan ibuku, ya. Dia memang agak heboh seperti itu,” kata Rael saat mereka sudah berada di dalam mobil.

“Tak apa.” Vio tersenyum. “Aku senang. Keluargamu sangat baik dan ramah.”

PARANOISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang