Abbas Kurniawan
Lelaki dua puluh tahun itu meringis sambil memegang bibirnya yang masih lebam, mengoles salep sendirian. Sungguh kasihan, usai mengobati lukanya. Abbas merebahkan diri di pembaringan.
"Hah ... padahal gue udah mulai move on, malah ketemu lagi. Gimana bisa lupain lo, Nai?" ocehnya pada langit-langit kamar.
Tangannya meraih hp di nakas, menggeser layar dan menatap sayang pada foto yang terpampang.
Gadis di layar tampak manis dengan senyum yang terukir di bibir mungilnya. Abbas mulai berkelana pada ingatan setahun silam.
Sore itu ia tengah dilanda bosan, mantan-mantan pacarnya terus mengganggu membuat kesal. Berkali hp nya berdering karena spam.
Abbas bangkit dan menyambar kunci motor, mengenakan kaos dan segera melesat membelah jalanan kota.
Macet di depan mata, gegas ia memutar balik dan memilih ke arah pinggiran kota. Banyak gadis muda tengah memadu kasih dengan pacarnya di sepanjang jalan.
Pemandangan yang sudah biasa bagi seorang Abbas Kurniawan, baginya tak ada kata cinta, ia sering berganti pasangan hanya untuk memenuhi obsesinya.
Melewati jembatan yang cukup panjang, ia memilih menghentikan moge-nya dan menatap ke bawah, sungai arus deras menyapa penglihatannya.
Abbas termenung cukup lama, hingga suara teriakan seseorang menginterupsinya. Lelaki gondrong itu menoleh mencari asal suara.
Di seberang jalan, di sana ia melihat gadis itu. Gadis yang sempat menggetarkan hatinya dan bertahta di dalam sana.
Naina, gadis itu tengah memberontak kala seorang pria memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Pria itu tampak marah dan kesal, satu tamparan hampir saja melayang ke pipi mulusnya jika saja Abbas tak mencegah tepat waktu.
Dihempaskannya tangan kekar itu, merengkuh Naina dalam pelukan. Gadis itu terisak, bersembunyi dalam dekapan Abbas.
Abbas mengurai pelukan, melayangkan satu pukulan telak di perut sang pria ber mobil. Menarik tangan Naina menaiki motornya dan segera melesat menjauh.
Menyisakan sumpah serapah yang mulai hilang tersapu angin. Erat, tangan gadis itu mencengkram kaos yang Abbas kenakan.
Lima belas menit, mereka mulai memasuki kota. Tampak lampu mulai menyala seiring langit yang meredup.
Senja perlahan menghilang ditelan gedung-gedung pencakar langit, menyisakan arakan awan kelabu menggantung di kaki cakrawala.
Motor berhenti di warung tenda pinggir jalan, Abbas menawarkan sang gadis untuk makan, tetapi hanya gelengan sebagai jawaban.
Kendaraan kembali melaju, berhenti di taman kota. Gadis itu turun, duduk di salah satu kursi taman yang tersedia.
Lelaki itu mengekori, duduk di sebelahnya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Abbas kala itu.
"Sudah tidak apa-apa, omong-omong, terimakasih sudah menolongku tadi."
"Sama-sama. Oh ya, aku Abbas. Nama kamu siapa?"
"Naina, panggil saja Nai."
"Naina, nama yang bagus," ujar Abbas.
"Yah, sayangnya nasib tak sebagus nama," sahut Naina lesu.
Canggung, suasana yang mulai mencair kembali membeku. Seolah pintu frezeer tengah berusaha keras menutupnya. Rapat.
"Mau aku antar pulang? Rumah kamu di mana?" tanya Abbas menghalau keheningan.
"Gak perlu, kamu bisa pergi sekarang. Aku bisa pulang sendiri," jawab Naina seraya menekuri rerumputan.
"Emm, kamu takut sama aku?" tanya Abbas memastikan.
"Gak! Pokoknya aku bisa pulang sendiri," kekeuh Naina.
Abbas menggeleng melihat tingkahnya, lucu. Gadis ini sulit sekali didekati. Tembok yang ia bangun, terlalu susah ditembus.
"Tapi aku pengen ketemu kamu lagi," ucap Abbas.
Naina tampak berpikir, setelah sekian menit, akhirnya bibir ranum itu berujar.
"Besok, jam tiga sore. Kita ketemu lagi di sini," ucap Naina yang langsung bangkit berdiri.
Melangkah menjauh, tanpa menoleh lagi. Abbas menatap punggung Naina yang mulai menghilang ditelan gelapnya malam.
.
Abbas terduduk dari rebahan, menatap foto Naina lagi. Kemudian memeluknya untuk melepas rindu, kenangan pertemuan pertamanya dengan sang gadis. Membuatnya semakin rindu masa damai dan unik itu.
Lagi, mata Abbas terpejam, mengingat sisa memori janji temu keduanya kala itu. Mencoba meresapi yang telah berlalu.
Pukul tiga sore, Abbas sudah menunggu di taman. Harap-harap cemas ia rasakan, akankah datang atau tidak gadis yang telah membuatnya penasaran. Sampai tak tidur semalaman.
Detik demi detik berlalu, gadis itu tak kunjung hadir. Kecewa menyelimuti dada, sesak ia rasa. Abbas mulai berpikir, mungkinkah ini karma?
Abbas tak memungkiri, bahwa ia seorang cassanova. Berganti pasangan seperti berganti pakaian saja. Baru ia kejar, usang ia buang.
Namun, kini Abbas menyesal. Ketika hatinya terketuk setelah sekian lama mati. Cinta yang belum sempat ia kejar. Telah dulu pergi. Membawa sisa janji, yang tak terpenuhi.
Setiap sore, lelaki itu akan duduk di taman. Menekuri rumput seperti yang pernah Naina lakukan. Hingga senja menghilang, ia pun bangkit pulang.
Sebulan, dua bulan pun berlalu. Abbas mulai berhenti bermain wanita. Lelaki itu pun masih sama, sering mengunjungi taman di pusat kota.
Sesekali ia membuka gawai, membaca dan melihat-lihat. Hingga tak sengaja ia jumpai, sebuah nama yang sama.
Naina, nama itu terpampang di sudut artikel yang ia baca. Gegas ia mengetuk angka, berharap benar nama sang gadis lah yang ada di sana.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, takdir belum mengijinkan keduanya berpisah. Abbas tersenyum. Mereka bertemu kembali setelah sekian lama, bukan lagi sebagai kenalan. Melainkan sebagai pelanggan.
Segepok uang ia sodorkan, sebagai janji atas nama kencan. Abbas mencoba menagih janji, melalui cara yang berbeda. Sorot kejora itu tak lagi sama. Naina tampak lain dari pertemuan pertama mereka. Gadis itu, telah berubah.
Dua minggu, Abbas sah menjadi pacar Naina. Hitam di atas putih. Gadis itu tersenyum, tapi lelaki itu tau. Senyum yang jelas dipaksakan.
'Naina, tidakkah kamu tahu? Pertemuan ini sudah kuharapkan sekian lama. Tetapi dari sinar matamu, tak lain aku hanyalah orang asing bagimu', batin Abbas trenyuh.
Usai transaksi, gadis itu segera bangkit. Meninggalkan Abbas yang termangu, bertepuk sebelah tangan ia rasakan.
"Bukan, bukan pertemuan seperti ini yang aku mau," gumamnya seorang diri.
Next?
Riau, 08 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Bayaran (Sudah Terbit)
RomanceNaina, mencoba kembali menghadapi masa lalunya.