3. Terima Kasih

27 6 6
                                    

Ewh.

Apa yang terbaring di sana adalah aku? Mengerikan sekali. Apa Lin dapat menghidupkanku kembali dengan kondisi yang mengenaskan seperti itu?

Kulihat Blaze menggotong pohon yang menubrukku tadi. Ia menyeret ragaku kemudian memohon belas kasihan pada Lin.

Tentu saja Lin menolak karena tujuan awalnya memang untuk membunuhku!

Namun ...

"Aku akan memberikan elemen apiku padamu. Sebagai gantinya, kau harus mengembalikan nyawa Nora."

... Dia benar-benar mengorbankan sesuatu berharga miliknya. Mengapa ia rela melakukannya? Apa yang ia inginkan dariku?

"Tawaran yang menarik. Baiklah, jika itu maumu."

Lin membuat sebuah pola lingkaran di tanah menggunakan belatinya. Ia mengeluarkan lilin dari ranselnya lalu menyusun lilin itu dengan bentuk melingkar.

Tubuhku berada di tengah lingkaran itu.

Petikan jari Lin membuat lilin-lilin itu menyala dengan sekejap. Kudengar ia merapalkan sebuah mantra, "Amethus yi safirne!"

Tiba-tiba, sebuah bayangan menarikku jatuh ke dalam tanah. Aku memberontak. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri dari bayangan itu. Kurasa ini hal yang sia-sia karena bayangan itu berhasil membawaku tenggelam ke dalam gundukan tanah.


•  
°
  °
°
.
  .
.
.
.  
.

"Ayah! Ibu!"

Tubuhku bergetar hebat melihat darah yang merembes membasahi kedua kakiku. Iblis itu telah membunuh kedua orang tuaku! Memang tidak salah jika aku membenci klan hina itu.

Gejolak amarah membakar tubuhku. Mereka harus membayar semua ini!

Aku mengeluarkan sebuah busur dari tanganku, membidik dua ekor iblis yang tengah mengancamku untuk ikut bersama mereka.

Kecepatan tanganku dalam menarik busur nyaris tak terlihat. Iblis itu langsung tumbang tak bernyawa. Kudengar suara langkah kaki dari arah belakang.

Aku berbalik, hendak menyerang seseorang di belakangku. Namun sebelum melepaskan tali busurku, orang itu mencekal tanganku. Manikku tercengang begitu mengenalnya.

Blaze, menatapku dengan sorot mata dingin.

"..."

Napasku memburu. Gejolak amarah ini semakin kental hingga aku tak bisa mendengar apa yang Blaze katakan.

"Invisible."

Tubuhku transparan selepas mengatakan itu. Blaze terkejut. Ia tak dapat melihatku. Aku menggunakan kesempatan ini untuk berlari keluar rumah, menjauh darinya.


•  
°
  °
°
.
  .
.
.
.  
.

Hal yang pertama kali kulihat adalah liontin merah yang terpasang di leherku. Silir angin berhembus, membelai lembut surai coklatku. Terangnya sang bulan purnama menyambutku disertai aroma khas rerumputan basah.

"Hey."

Iris mataku beralih pada Blaze. Merah. Warna matanya merah darah. Hanya perasaanku atau warna mata Blaze memang berubah?

RefleksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang