5. Kilas Balik

18 4 1
                                    

Nora Archer adalah seorang elf yang berbakat.

Sejak kecil, ia memiliki kekuatan istimewa yang mengalir pada jantungnya. Tidak terlihat, kekuatan itu sangatlah langka. Ditambah dengan keahlian memanah yang tak dapat diragukan lagi. Nora hampir menjadi seorang elf yang sempurna.

Keberadaannya dikenal oleh seluruh makhluk Land of Magic. Hingga suatu saat

—ugh, aku bosan. Mengapa Lionel malah menyuruhku membaca buku ini? Buku tentangku pula. Bukankah kita harus membebaskan si Lunox itu hari ini?

"Tentu saja setelah kau meyelesaikan buku itu, setidaknya setengah halaman." Tanpa menoleh pun aku tau itu suara Lionel. Datar. Tentu saja ia sedang menyindirku.

Posisiku kini masih berbaring di atas ranjang, membaca buku sambil tiduran. Blaze bilang bahwa itu tidak sehat untuk mata, persetan dengan itu.

Oh iya, ngomong-ngomong dimana Blaze?

"Bukan urusanmu."

Bagus sekali Blaze, kau meninggalkanku bersama makhluk menyebalkan ini. Dia saja tidak ingin memberitahu dimana keadaanmu. Kurasa aku harus kabur diam-diam dan mencari Blaze.

Lionel tampak mendengus, "Dia pergi ke kolam Flame Purify."

Kolam? Untuk apa dia ke sana?

"Mencoba untuk mengembalikan elemen apinya."

Hah? Memangnya bisa?

"Mana kutahu."

"Ahahahaha." Tawaku pecah seketika. Lionel terdengar seperti bicara sendirian. Itu terlihat lucu.

"Dimana Nora Archer yang sebenarnya?" Pertanyaan Lionel menghentikan tawaku, "Kau itu siapa? Dan juga ... Lunar. Bagaimana bisa kau berhubungan dengannya?"

Ah, dasar. Jadi dia memperhatikan isi kepalaku sedetail itu? Bawa-bawa Lunar pula.

"Kau orang asing yang terlalu ikut campur." Tegasku pada akhirnya. Lagi-lagi Lunar menatapku datar.

"Lucu sekali kau menyebutku orang asing. Asal kau tau, aku dan gadis pemanah itu cukup dekat dulu. Lebih tepatnya ... Aku, Blaze, dan pemanah itu."

Lunar melemparkanku sebuah gelembung memori melayang —sama seperti yang pernah Lunar tunjukan padaku. Gelembung itu pecah begitu berhadapan denganku.

.
.
.
.
.
.
.

"Kenapa kau menangis?"

Seorang lelaki mendekati gadis kecil itu. Jika dilihat lebih rinci, dua bocah itu terlihat seperti aku dan Lionel.

Anggap saja aku tengah menonton film tentangku. Agar tidak bingung, aku menyebutnya Nora kecil saja. Nora yang masih kecil itu meringkuk di bawah pohon beringin.

Lionel menepuk kepala Nora kecil, "Kau itu kuat. Jangan menangis."

"Hiks ... B-blaze mematahkan busurku." Kata Nora kecil sesenggukan.

"Kau kan bisa membelinya lagi."

"A-aku tidak punya uang. P-padahal k-kalau busur i-itu masih ... Masih ada ... Hiks ... A-aku akan berburu daging rusa di hutan."

Apa? Masih bocah berlagak memburu rusa sendirian? Nora kecil itu terlihat seperti bocah kelas satu SD.

"Aku benci Blaze! Huwaa!" Nora kecil itu memeluk Lionel.

Lionel hanya memasang wajah datar sembari mengelus kepala Nora kecil. Aku tidak tau apa yang ia pikirkan sekarang.

.
.
.
.

Nora kecil itu beranjak remaja. Ia memandang Blaze dan Lionel bergantian dengan senyum mengembang.

"Raja Estes berkata bahwa aku mahir dalam memanah!" Kata Nora bersemangat, "Raja Estes akan mengirimku ke kerajaan besar Blossom Empire. Katanya aku akan berguna di sana."

"Jangan." kata Blaze melarang. Nora menatap Blaze garang.

"Siapa yang minta pendapatmu? Aku sedang berbicara dengan Lionel!"

"Itu terdengar ... Entahlah. Aku punya firasat buruk." Gumam Lionel tidak yakin.

"Aku akan baik-baik saja kok. Orangtuaku malah senang mendengarnya. Aku janji akan kembali ke sini dengan membawa nama baik desa Riverland."

Blaze dan Lionel hanya diam memandang Nora. Gadis itu terlihat berambisi hingga tak ada yang berani mencegahnya.

.
.
.
.
.
.


"KYAA!!!"

Aku berteriak kencang begitu membuka mata. Blaze menggendongku dengan sayap kelelawar di punggungnya. Kami melayang di bawah awan.

"Kau tertidur pulas. Aku tidak tega membangunkanmu." Kata Blaze melesat cepat, membuatku menahan napas dengan was-was.

Wushhh!

Angin berhembus kencang menampar wajahku. Aku memegang bahu Blaze erat, takut jika ia tiba-tiba melepaskanku.

"Pelan-pelan dong!" Teriakku agar dapat didengar oleh Blaze. Kepalaku mengandah, melihat wajah Blaze yang menyeringai kecil.

Jadi dia sengaja?!

Mataku terbelalak melihat Blaze yang terbang mengarah sebuah pohon besar, seperti hendak menabrakkan diri secara cuma-cuma.

"AWAS!!!"

Syutt

Blaze terbang ke atas dengan mulusnya. Jantungku tak berhenti bergedup kencang. Begitu sampai di suatu pulau di atas awan, ia mendarat di sana.

Blaze menurunkan tubuhku. Aku menatap tajam.

"Menyenangkan, bukan?"

"M-menyenangkan katamu?!" Aku memukul dada Blaze sekuat tenaga, "Kau hampir membunuhku tau!"

Blaze hanya terkekeh tanpa menunjukan rasa bersalah. Benar-benar mengesalkan!

"Sewaktu kau pingsan kemarin juga aku terbang lebih cepat dari itu. Kau sama sekali tidak mengeluh." Ujar Blaze.

"Tentu saja karena waktu itu aku tengah pingsan, bodoh!"

Aku mengedarkan pandanganku. Pulau ini cantik. Rumput yang terhampar luas, pohon warna-warni, dan ada kupu-kupu di setiap bunga.

Namun, ada satu yang sangat menarik perhatianku. Bangunan besar berwarna monokrom yang tak jauh dari keadaanku. Bangunan itu tampak seperti makanan bakpau yang berbentuk setengah bola.

Aku menyirit begitu menyadari bahwa ada sekumpulan makhluk berbaju besi yang berbaris melingkar di bangunan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menyirit begitu menyadari bahwa ada sekumpulan makhluk berbaju besi yang berbaris melingkar di bangunan itu.

Awalnya aku mengira mereka itu hanya patung hiasan. Namun, melihat salah satu dari makhluk itu menunjuk ke arahku dan Blaze, aku segera tersadar.

"Ada seseorang di sana!"

Deg

Aku mengalihkan pandangan kepada Blaze. Ia terlihat tengah meneguk ludahnya, "L-lari!"

★★★

RefleksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang