Hana memulai perjalanannya yang baru, menuju desa Zabava, selangkah lebih maju menuju ibukota kerajaan. Walau ia diperlakukan sedikit kejam oleh Ossi, setidaknya ia mengetahui apa yang ia lakukan selanjutnya. Sehingga itu tidak benar-benar rugi. Sepanjang perjalanan, gadis itu menjadi pendiam dan tak mengeluarkan sepatah katapun. Wajahnya yang terlihat kesal itu mengikuti pria bertubuh tinggi didepannya tanpa suara. Kesunyian itu malah membuat Ossi merasa heran, tapi ia tak peduli. Lagipula mereka bukan teman dekat.
"Kita akan sampai dalam dua hari".
" Dua hari? Apakah Zabava sejauh itu?"
"Ya, tidak sejauh ibukota kerajaan".
Soal ibukota kerajaan, setidaknya Hana bersyukur ia tak sempat membahas mengenai tujuannya ke ibukota dengan Ossi. Ia pria yang tak bisa dipercaya. Dan juga mengenai asal usul mereka yang juga berasal dari ibukota, pindah ke desa Vyartha, untung saja ia tak membeberkan semua itu. Gadis itu takut jika ia bercerita lebih dalam, Ossi akan mengganggu ayahnya. Padahal ia hanya ingin ayahnya sembuh, tapi sulit sekali melewati rintangan-rintangan itu.
Kami akan bermalam di salah satu penginapan desa lain. Setidaknya untuk malam ini, dan akan dilanjutkan perjalanan pada hari selanjutnya, mungkin besok sore akan sampai. Selama perjalanan pun Ossi yang dingin itu tetap menepati janjinya untuk mengajari Hana sihir. Keduanya memang jadi banyak diam dibandingkan saat berada di desa berkabut. Sepertinya Ossi sering berkunjung ke berbagai desa, setidaknya saat akan memesan kamar, resepsionis langsung mengenalnya, apalagi jika wanita. Matanya akan berbinar-binar menatap Ossi. Menjijikkan. Pria ini malah dikagumi banyak kaum hawa. Apakah hanya diriku yang membenci Ossi?
"Beristirahatlah, perjalanan masih panjang". Ossi berlalu begitu saja setelah memberikan sebuah kunci kamar untuk Hana beristirahat.
Setelah mendapati asupan yang cukup, kami meninggalkan penginapan pagi-pagi sekali. Mungkin alasannya agar cepat sampai. Jalan kaki merupakan pilihan kami selama perjalanan, cukup melelahkan memang, tapi Ossi tau kadar jalan kaki Hana sebanyak apa. Kami beristirahat dan makan untuk mengisi energi. Begitu seterusnya. Tapi saat meninggalkan penginapan, Ossi mengajak Hana pergi ke sebuah peternakan kuda.
" Hai, Ossi", seorang lelaki yang terlihat lebih tua dari Ossi itu menegurnya dengan santai. Mereka bersalaman dengan saling menggenggam erat tangan yang lain.
"Apa kabar, Sham?" Ossi menyapanya dengan hangat.
"Kabar baik. Sepertinya kali ini kau membawa pacar", seringai pria berambut hijau itu yang menatap Hana dengan tatapan usil.
" Pacar? Yang benar saja. Dia asistenku".
"Asisten? Gadis secantik ini hanya kau jadikan asisten? Kau membuang-buang kesempatan, Ossi".
" Terserah apa katamu".
Dari percakapan tadi, Hana menangkap bahwa Sham merupakan lelaki playboy, buaya darat. Ia lebih menjijikkan daripada Ossi. Kesan pertama yang buruk."Baiklah nona, saya Sham, senang bertemu denganmu", ujar Sham sembari mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Hana, terima kasih telah membantu", jawab Hana dengan nada datar. Ia sedikitpun tak merasakan simpati pada pria bermata senada dengan warna rambutnya itu.
" Kau begitu dingin, nona. Apakah kau belum sarapan?"
"Sudah, terima kasih atas perhatiannya". Hana lagi-lagi menjawab dengan ekspresi datarnya yang dingin, sedingin es di kutub utara.
"Sudah cukup basa-basinya, kami akan segera pergi", Ossi memotong pembicaraan membosankan itu.
Ossi menunggangi sebuah kuda berwarna coklat yang terlihat gagah berani. Melihat hal itu, Hana teringat dengan paman Sam. Lagipula apakah nama seorang peternak memang mirip? Seperti Sham dan paman Sam. Mereka memiliki selera yang sama, walaupun paman Sam tidak playboy.
" Naiklah", perintah Ossi, namun pria itu juga mengulurkan tangannya untuk membantu tubuh Hana yang kecil itu untuk naik. Entah kenapa, setiap Hana melihat kuda, ia merasa bersemangat untuk menungganginya. Termasuk saat ini, saat ia naik kuda bersama Ossi.
"Terima kasih telah menjaga Nagisaku", Ossi pamit dengan Sham.
" Ya, tentu bung. Sampai jumpa lagi, nona cantik", teriaknya. Hana hanya membalas dengan lambaian tangan. Ia malas merespon pria itu. Tapi rasa kesalnya itu berubah sumringah seketika saat Ossi mempercepat kecepatan lari kudanya itu. Kecepatannya melebihi kecepatan Feli, kuda paman Sam. Ia sangat menikmati perjalanan itu, setidaknya Hana tersenyum kali ini. Terdengar suara tawa kecil dari gadis itu, ia melupakan rasa kesalnya pada Ossi. Pemuda itu tahu Hana menikmati perjalanan, ia tersenyum kecil.
Mereka sampai di desa Zabava tepat ketika matahari terik menyelimuti seluruh desa. Sebuah restoran bertingkat dua yang ukurannya lumayan besar itu sudah berada di depan mata. Hana mengangumi tampilan restoran itu yang tergolong modern. Seperti lebih mewah daripada tempat makan yang selama ini pernah ia kunjungi. Ossi mengantar Nagisa ke dalam sebuah rumah kuda di belakang restoran dan memberinya beberapa makan siang.
"Ayo masuk", ajak pria itu pada Hana. Hana membuntutinya dari belakang. Mereka disambut seorang pelayan wanita cantik berambut biru laut didepan pintu.
" Selamat datang, tuan dan nyonya", ujarnya sopan.
"Berhenti bersikap formal, aku bukan pelanggan", ujar Ossi dingin pada wanita itu.
" Ossiiii, aku merindukanmu", teriak wanita itu dan memeluk Ossi dengan manja.
"Berhenti bergelantungan seperti monyet, kau mengganggu", Ossi menanggapinya dengan dingin. Tapi wanita itu tak peduli. Tapi perhatiannya teralihkan ke arah Hana, menatapnya tajam, tidak seramah waktu ia menyambut mereka.
" Siapa dia?"
"Asisten baruku, Hana".
" Sejak kapan kau bekerja dengan orang lain?" selidik wanita itu.
"Berhenti mengganggunya, Eli", tegas Ossi menatap tajam pada wanita itu.
" Sejak kapan kau akrab dengan wanita sekarang?" Eli, wanita itu pantang menyerah.
"Sudah kubilang, aku menyuruhmu berhenti, kami sangat lelah", perintah Ossi padanya.
" Baiklah. Perkenalkan aku Eli, aku rekan kerja Ossi".
"Hana, asisten Ossi, senang bertemu denganmu", gadis itu tersenyum ramah, setidaknya di tempat itu, ia tak ingin mencari musuh, walau ia juga merasa jijik dengan tingkah Eli yang menggantung manja dengan Ossi. Bukan karena ia cemburu, tapi wanita itu seperti tak memiliki harga diri.
" Berikan ia kamar", pria itu memberi perintah pada Eli dan berlalu begitu saja. Oke, suasana diantara kedua wanita itu menjadi dingin seketika.
"Aku akan mengantarmu ke kamar, ikuti aku". Hana mengikuti Eli ke lantai dua. Memang gedung itu merupakan sebuah restoran, tapi lantai kedua dari restoran itu merupakan tempat tinggal para pegawai. Wanita itu mengantar Hana pada sebuah kamar berukuran minimalis tapi tidak mengurangi keindahan dan kenyamanannya. Hana menyukai kamar itu. Eli memberikan kuncinya pada Hana.
"Terima kasih, Eli", ujar Hana tersenyum hangat.
" Ya", jawabnya singkat sambil berlalu begitu saja tidak peduli dengan Hana. Terlihat jelas dari sikap Eli, bahwa dia tidak menyukai Hana, apalagi menjadi partner kerja Ossi.
Hana mengagumi kamar barunya itu, terkesan mewah walau berukuran minimalis. Semuanya bernuansa biru, warna kesukaannya. Mulai dari dinding, hingga warna seprai mendominasi dengan warna biru langit. Bagaimana mereka bisa tau selera Hana? Atau hanya sebuah kebetulan? Yang pasti Hana ingin segera membasuh tubuhnya yang lengket itu dan merebahkan diri di kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Red Hooded Wolf Girl
Manusia SerigalaHana, seorang gadis yang tinggal bersama ayahnya di pelosok desa yang tertinggal, bersama orang-orang yang terbuang. Mereka hidup damai selama bertahun-tahun hingga ayahnya yang sedang sakit parah, menceritakan sedikit tentang masa lalunya. Umurnya...