Ch. 3 - Perjalanan Pertama Hana

21 1 0
                                    

Author pov

Setelah memutuskan untuk pergi dari desa Vyartha, Hana mempersiapkan segala hal selama setahun ini. Ia memanen banyak makanan pokok dan kebutuhan lainnya untuk sang ayah. Ia ingin membantu ayahnya dikala ia pergi, sehingga ayah tak perlu bercocok tanam lagi. Bahkan persediaan air pun ia siapkan untuk jangka waktu lama. Persiapan musim dingin pun telah ia perkirakan, sehingga ia menyiapkan banyak potongan kayu untuk api unggun. Sampai-sampai ayahnya pun berdecak heran sekaligus kagum pada putrinya itu.

"Woaah, walaupun kamu anak perempuan, kamu mengerjakan semua pekerjaan laki-laki dengan baik. Semua persediaan ini akan sangat membantu ayah", ucapnya dengan bangga. Hana hanya tersenyum tulus menatap ayahnya yang terlihat bahagia. Saat ini, walau perbekalan untuknya pergi sudah matang, namun hatinya masih belum siap. Esok adalah hari keberangkatannya, namun terasa berat kaki ini melangkah meninggalkan ayah sendirian.

"Hana, perjuanganmu selama satu tahun ini, jangan kamu sia-siakan hanya karna ayah". Seolah tahu isi hati Hana, Friedrick menepuk punggungnya dan menguatkannya agar semangat untuk pergi berpetualang. Ia hanya diam. Merenungi keputusannya itu. Apa ini sudah benar? pikirnya.

"Bukankah kamu ingin mencari obat penawar untuk ayah?" Pertanyaan Friedrick seketika menyayat hati gadis itu. Ya! Semua ini demi ayah. Aku harus melakukannya, imbuhnya. Ia bertekad, tapi hati seorang anak yang mencintai ayahnya itu selembut bulu sutra. Hana merasa tak kuat. Ia mulai memecahkan suasana dengan suara tangisannya. Friedrick memeluk putrinya. Malam itu penuh dengan kesedihan.

Keesokan harinya, Hana yang sudah kembali ceria dan bersemangat, membuatkan sarapan terakhirnya bersama ayah sekaligus membuat bekal perjalanannya untuk beberapa hari kedepan. Mereka menyantap sarapan di pagi itu dengan semangat.

"Baju sudah, makanan sudah, uang sudah, selimut sudah, buku diary-ku, sudah. Minuman sudah, obat-obatan darurat sudah, dan alat-alat makan seperti pisau kecil bersama sendok dan garpu sudah". Gumam Hana sembari mengecek kembali isi tas ranselnya. Takut ada yang tertinggal.

Gadis itu siap berpetualang. Mengenakan baju berwarna mocca, dan celana hitam ketat, tak lupa sepatu bootsnya yang berwarna coklat terang. Ia juga mengenakan sebuah hoodie berwarna merah maroon yang cukup terlihat kebesaran di tubuh kurus Hana. Kini ia telah siap.

"Apakah semua sudah kamu bawa?" Tanya Friedrick.

"Sudah yah, aman", balas Hana dengan semangat dan mengancungkan jempolnya. Friedrick tertawa kecil dan mendekati putrinya itu.

"Coba menunduk sedikit", perintahnya. Hana hanya menuruti. Friedrick memasangkan sebuah liontin dengan simbol berbentuk matahari.

"Apa ini yah?"

"Sebuah jimat pelindung".

"Jimat? Liontin secantik ini merupakan jimat?" Hana merasa heran.

"Yah, mungkin suatu saat kamu akan memerlukannya", ujar Friedrick tersenyum tulus.

"Hmmm baiklah, terima kasih, yah". Hana hanya menerima pemberian ayah tercintanya itu. Liontin itu sangat cantik. Tak peduli akan kegunaannya. Ia suka ini.

"Ah dan jangan lupa, ini!". Friedrick memberikan Hana sebuah peta Kerajaan Tola.

"Bagaimana ayah bisa memiliki ini?".

"Apakah kamu lupa? Ayah dulu tinggal di ibukota? Kamu terlalu meremehkan ayah". Aku tertawa seketika.

"Dan satu lagi. Soal penyihir hitam. Penyihir itu hanya ada satu di Kerajaan ini. Banyak penyihir lain yang mengaku sebagai penyihir hitam untuk mencuri uang. Ia sangat sulit ditemukan karena ia bisa merubah bentuk fisiknya menjadi orang lain. Satu-satunya hal yang membedakan dirinya yaitu pusaka sihir miliknya".

" Pusaka sihir? Apa itu?" Ia menggaruk telinganya yang tidak gatal. Pertama kali dalam hidupnya mendengar kata yang tergolong aneh itu, menurutnya.

"Alat sihir yang akan mengeluarkan kekuatan sejatimu. Alat sihir miliknya adalah sebuah pensil".

"Apa? Pensil? Bagaimana bisa?" Sekilas Hana berfikir, yang benar saja. Sihir hanyalah khayalan, atau mungkin bualan seseorang. Mungkin ia tak percaya sihir, tapi ia percaya dengan Friedrick.

"Itu bukan pensil biasa. Itu pusaka sihir. Pensil takdir. Ia bisa menuliskan apapun yang dia inginkan dalam sebuah buku, dan itu akan jadi kenyataan. Soal kutukan pada ayah, ia mengutuknya lewat tulisan miliknya", jelas Friedrick panjang lebar.

"Wahh ia benar-benar curang". Hana geram dengan kekuatannya itu. Sangat mudah digunakan tapi bisa menghancurkan kehidupan orang lain.

"Baik, itu saja pesan dari ayah, semoga sukses nak", Friedrick memeluk gadisnya itu dan mengecup keningnya sesaat. Hana perlahan melepaskan pelukan dan genggaman hangat Friedrick. Jujur, ia tak rela. Namun ia harus, semua demi ayah. Tekadnya yang kuat membuatnya berani.

Hana melewati jalan setapak didepan rumah dan ladangnya. Sesekali ia menoleh ke belakang dan terlihat ayahnya yang menunggu kepergiannya disertai dengan lambaian tangan pria paruh baya itu. Semakin jauh dan jauh. Pandangan Hana akan ayahnya mulai kabur menghilang. Begitu pula Friedrick. Walau dengan santai ia mengizinkan putrinya pergi, ia tetap merasa khawatir. Semoga Tuhan selalu melindunginya. Doa yang selalu Friedrick curahkan untuk Hana.

A Little Red Hooded Wolf GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang