26 MEI

947 112 43
                                    

Aku mengingat tanggal ini karena untuk pertama kali, Anom berhasil meloloskan kata 'iya' dari mulutku atas permintaannya siang itu.

Konsekuensi mengantarnya pada malam lebih dari dua minggu lalu mendekatkan hatiku pada ladang ranjau. Sapaan dan percakapan basa-basi yang muncul atas nama kebetulan bergeser menjadi rutinitas di kantin. Obrolan yang sebelumnya hanya berputar pada Coustiche dan Jakarta, merambah ke hobi, makanan favorit, genre musik, dan cerita tentang traveling. Dua kali Anom menyambangi ruanganku, dan dengan santai mengajakku istirahat, tidak mengacuhkan-atau tidak memperhatikan-responku yang tidak didapatnya dalam hitungan detik. Kebersamaannya dan Pak Marteen di kantor-jika ada-lolos dari pengamatanku. Namun gambaran mereka saling berhadapan di malam aku lembur bersama Anom masih lekat dalam ingatan.

Aku mengenal satu kesukaan Anom saat kami duduk berseberangan dengan makan siang masing-masing yang telah tandas: dia menggemari sambal kacang. Mengamati Anom menyiramkan saus berwarna cokelat keruh dalam jumlah besar sempat membuatku berhenti mengunyah. Tanpa menunjukkan keingintahuanku, Anom bercerita dia tergila-gila dengan saus yang menjadi khas beberapa makanan Indonesia itu.

"Aku bisa tahan nggak makan sambel dalam seminggu, Mas, tapi sambal kacang? Aku bisa edan kalau nggak ada. Dan rasa sambal ini pas! Kacangnya pasti dipanggang, bukan digoreng. Asemnya juga dikit banget dan itu bagus. Bumbu ini pasti diulek, bukan diblender. Bedanya kerasa kalau bumbunya diblender."

Mendapati cerocosnya tentang sesederhana racikan sambal kacang, sulit bagiku tidak menyunggingkan senyum. Tangan Anom bergerak selaras dengan binar pada matanya. Anom lantas menerangkan kebiasaannya meminta sang Ibu menyiapkan sambal kacang untuk dia bawa ke Jakarta setiap pulang kampung. Dia berjanji akan menyisakan satu bungkus untukku.

Anom kemudian mengutarakan sebuah ajakan yang selalu aku tolak jika orang lain yang mengucapkannya.

"Aku tadi diajak karaokean sepulang kerja sama Mbak Fe. Yang pertama dulu aku ikut karena masih baru dan sungkan buat nolak. Kali ini aku iyain karena tahu bakalan seru. Ikut kan, Mas?"

Aku berhenti diajak ke T-Rex-tempat karaoke favorit karyawan Coustiche di Grand Indonesia—karena balasanku telah mereka prediksi. Aku berjeda, merapikan kotak makan-aku membawa warna biru muda pagi itu-memasukkan ke tas, sebelum menatap Anom yang baru menghabiskan isi botol minumnya.

Kemalasanku ikut ke T-Rex disebabkan oleh satu hal. Setelah mendapat giliran menyanyi satu-dua lagu dengan suara sumbang, ruang karaoke itu tidak lagi dianggap menarik. Mereka membiarkan suara asli penyanyi menggema keras, sedangkan mereka akan berbicara satu sama lain dengan leluasa tanpa batasan dinding Coustiche. Membuang uang sebagai sebuah pelepasan penat mungkin dianggap remeh bagi sebagian orang, tetapi geramku akan mencapai ubun-ubun.

Namun demi Anom, kusingkirkan kejengkelan atas kebiasaan rekan-rekan kantor dan memberinya anggukan.

***

Andai tahu Pak Marteen akan berada di T-Rex bersama kami, aku pasti dengan segera menciptakan alasan mangkir. Sayangnya kesempatan menghindar tidak cukup banyak. Meninggalkan kantor beramai-ramai, aku memutuskan berdiskusi dengan Dian mengenai tenggat proyeksi finansial Coustiche untuk kuartal kedua tahun ini. Sesekali pandanganku beralih kepada Anom dan Pak Marteen yang berbaur dengan staf lain, bersikap layaknya dua staf yang tidak memiliki hubungan di luar Coustiche. Dorongan membalikkan langkah, mengarang kejadian yang mesti kulakukan, sangatlah hebat. Namun kakiku tetap mengayun ke depan.

Memasuki ruang karaoke, kehebohan menyelimuti kami. Setiap orang berlomba mencari lagu favorit demi menunjukkan ketidakmerduan suara mereka. Karena tahu giliranku pasti datang, aku berpura-pura sibuk dengan Blackberry di tangan.

HINGGA HATI LELAH MENUNGGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang