JUNI

546 72 28
                                    

Kondisi Pak Marteen yang masih terjebak dalam koma menjadikan rumah sakit persinggahan rutin setiap tugas di kantor purna. Bersama Anom—jika kebetulan kami tidak lembur—aku acap kali menunggui Pak Marteen. Mataku tidak jarang mendapati Anom memegang tangan Pak Marteen sembari menceritakan kembali kisah mereka yang tidak berhak aku dengar. Menyaksikan Anom masih terus merentik. Harapannya pun seperti telah patah. Keluarga Pak Marteen bergantian mengunjungi Indonesia jika terdapat dokumen-dokumen yang perlu ditandangani serta berharap penantian dalam ketidakpastian mereka segera berlalu. Ada diskusi mengevakuasi Pak Marteen ke negara asalnya, tetapi keputusan itu terhalang kondisinya yang belum stabil.

Malam ini, aku sedikit memaksa Anom singgah di apartemen untuk makan malam. Sejak sampai, dia lebih sering diam. Selepas makan, kami duduk di atas bean bag, tetapi hanya sunyi yang berpesta di antara kami sementara aku hanya mampu menelan ludah menyadari tatapan Anom begitu hampa. Hasrat mencengkeram lembut tangannya tak ubahnya kerah yang terlalu mencekik. Semua susuan kata yang telah berbaris rapi di ujung mulut terasa salah. Alih-alih, aku pun memilih diam demi menghindar dari ucapan yang tak pantas.

"Keluarga Marteen sempet kepikiran untuk melakukan eutanasia."

Dari semua tindakan yang mungkin diambil, eutanasia adalah satu yang jaraknya ratusan ribu cahaya dari perkiraaanku. Puluhan rasa ingin tahu berbalut pertanyaan yang tidak mungkin kuajukan merangsek maju. Bibirku lebih sering terkunci jika bersama Anom, kecuali ada pertanyaan yang diajukannya. Dia tahu aku di sampingnya sebagai penyangga moral dan tempatnya menumpahkan segala resah.

Pertanyaan yang lolos dari bibirku adalah tentang legalitas eutanasia di Indonesia.

Anom mengedikkan bahu. "Aku nggak tahu, Mas. Liat kondisi Marteen yang nggak ada perubahan, rasanya aku lebih rela melihatnya dibebaskan dari rasa sakitnya. Aku lelah. Aku cuma ingin bisa tidur nyenyak, Mas."

Sorot riang dan optimis yang selalu melekat padanya semakin redup dari hari ke hari. Aku merindu suara tawanya, senyumnya yang penuh, bukan senyum yang dipaksakan atas nama rikuh. Keputusan akhir mengenai Pak Marteen—apa pun itu—akan meninggalkan bekas yang sulit dihilangkan dari batin Anom.

"Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan, Mas?"

Dengan jelas, aku mengingatkannya bahwa pertanyaan itu tidak pantas aku jawab. Aku mengatakan tidak ingin mempengaruhi pendapatnya sekalipun Anom mengatakan keluarga Pak Marteen cukup terbuka menerima masukan darinya. Namun dalam situasi ini, aku hanyalah manusia yang berdiri di tepian, tidak punya kuasa melangkah maju melewati batas.

"Aku akan tetap kehilangan dia, nggak peduli keputusan akhirnya seperti apa."

Alih-alih mengarahkan tanganku untuk menggengam jemari Anom, aku meremas pundaknya pelan. Aku menahan diri agar setiap jengkal benteng yang telah terbangun rapat untuk menutupi perasaanku terhadap Anom tidak rebah perlahan. Aku ingin Anom menganggapku kakak laki-laki yang tidak pernah dimilikinya. Sakitnya memang tak terbantahkan, tetapi menyaksikan Anom menjalani hari-harinya dengan beban yang digandar selama lebih dari sebulan ini lebih meremukkan hati.

Menawarkan lagi parfait blueberry dan lemon curd—yang ditanggapinya dengan gelengan—aku langsung meraih salah satu kotak makan berwarna oranye dari dalam rak, dan memenuhi isinya dengan sisa spaghetti dan bakso sisa makan malam kami agar dibawanya pulang. Tak jarang aku meninggalkan Anom sendirian, membiarkannya mengembara dalam lamunan. Menunda waktu untuk menemani Anom, aku mencuci piring makan dan sendok meski pekerjaan itu bisa diselesaikan nanti. Anom sudah sering berkunjung ke apartemen hingga dia bisa melakukan apa saja yang membuatnya nyaman.

Selesai merapikan meja makan dan dapur, aku mengurangi isi botol anggur merah yang tersisa setengah dan menuangnya ke dalam gelas. Tanpa disadari, aku lebih sering mengakhiri malam dengan satu gelas Chiraz atau Bordeaux. Membiarkan cairan merah pekat itu menyatu dengan darahku memberi rasa tenang.

HINGGA HATI LELAH MENUNGGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang