Salju yang membumi sepanjang malam, masih menimbus permukaan tanah dengan angkuh. Tatapanku terpatri pada patung tentara Uni Soviet setinggi dua belas meter yang sedang menggendong anak perempuan. Ujung pedang di tangan kanannya menghadap simbol swastika yang patah karena injakan kakinya. Sedari tadi, aku berusaha membayangkan gambaran yang melintas di pikiran Yakov Belopolsky hingga mampu mendesain patung dengan makna sedalam ini.
Mengeluarkan tangan dari mantel, aku mengecek jam tangan sebelum menggosokkan kedua telapak dan menempelkannya di pipi, berharap hangatnya bisa merambati wajahku.
Berada di Treptower Park pada awal bulan Desember bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan manusia normal, terlebih setelah badai salju. Meskipun begitu, aku mendepak ego yang berkomplot dengan ragu dan cemas demi satu baris kata yang telah menyikut benak selama dua tahun. Matahari yang memancarkan panas dengan telak dikalahkan dingin yang menggigit.
"Hey."
Aku menoleh. Senyum Joey terpasang, sementara kakinya terayun mendekatiku.
Selama ini, video dirinya yang masih tersimpan di memori ponsel berperan sebagai penawar rindu. Wajah dan suaranya berkelebat kuat ketika kedua kakiku telah menginjak sofa dan Chiswell Street masih dipenuhi riuh di bawahku. Tanpa kehadiran fisiknya, Joey menuntunku kembali pada kebersamaan kami, dan mengakhiri hidup karena Anom sungguhlah keputusan bodoh. Aku turun dari sofa dan melampiaskannya pada sebotol Cabernet Sauvignon.
Mantel merah tua Joey terlihat kontras dengan putih yang mengelilingi kami, menjadikan wajah Joey tampak pucat. Rambutnya yang dibiarkan menutupi telinga, dipermainkan lirih oleh angin yang berembus. Meski terik gagal menghalau suhu yang semakin merendah, melihat Joey yang tampak riang cukup menyelimuti hatiku dengan nyaman.
Perkembangan karir Joey dengan mudah aku lacak ketika dia masih di Indonesia, karena hanya itu satu-satunya yang mampu ditunaikan oleh pecundang sepertiku. Setelah memutuskan pindah ke Jerman dan menjual usaha yang dirintisnya dari nol, jalanku menguntit hidupnya ikut tertutup.
Urusan kantor menerbangkanku ke Berlin. Mustahil bagiku memboroskan kesempatan bersemuka dengannya, terlepas dari statusnya saat ini. Keberanian yang sebelumnya absen, mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Mengiriminya pesan melalui surel adalah satu-satunya titian yang harus aku sebrangi. Namun ketika membaca namanya pada kotak masuk dan membaca balasan Joey, kebencian yang dulu dilecutkan kepadaku telah aus. Ada senoktah harap bahwa maaf sudah diberikannya padaku dalam diam.
Begitu jarak di antara kami tidak signifikan, Joey mengulurkan tangannya untuk mengusap lenganku yang tertutup mantel. "Gue seneng lo ngajakin ketemuan. Lo apa kabar? Baik kan?" tanyanya dengan suara yang telah lama tidak menyapa telingaku.
Pernikahan Anom menyandera sebagian besar porsi pikiranku hingga Joey hanya sesekali mampir. Tidak tersisa waktu mengasihani diri sendiri atau berkubang dalam penyesalan. Seperti biasa, Anom merupakan prioritas meskipun aku telah menyakiti perasaan Joey.
Meninggalkan Inggris dengan menggelandang serpihan hati, kehilangan Joey menyiratkan sunyi dengan terang. Aku menyimpan asa menghubunginya karena luka yang aku sebabkan masih terlalu basah dan perih yang mengikutiku dari London bukanlah alasan yang tepat menggapai maaf dari Joey.
Selangkah demi selangkah, aku mulai memunguti bagian terkecil dari kepingan hati yang tercecer dan menyatukannya meski dalam prosesnya aku meringis kesakitan. Bertemu dengan Joey dan meminta maaf dengan segala ketulusan yang pantas didapatnya dariku adalah bagian dari proses yang tidak bisa ditawar. Maksud menjadikan Joey pelampiasan sama sekali tidak tebersit dalam benak.
Terlepas dari segala yang berhubungan dengan Anom, aku memastikan Joey bahwa kabarku baik.
"Never been better," jawab Joey dengan penuh senyum begitu aku mengajukan pertanyaan yang sama.
Dengan mantap, aku menyampaikan maaf yang pertama karena mengingkari permintaannya agar kami tidak saling sapa jika berpapasan. Menggandeng ingatan Joey ketika dia keluar dari apartemen dengan menenteng marah dan sakit hati serta reaksiku saat itu, aku menumpahkan alasan utama ingin berjumpa dengannya. Ampun yang keluar dari mulutnya tidak lagi aku kejar. Aku hanya ingin melanjutkan hidup tanpa menggiring koper penuh dengan rasa bersalah.
"Lo tahu gue paling nggak tahan buat berkata kasar kalau lagi marah meski lo pantes ngedapetinnya."
Gelakku tidak bisa ditahan karena Joey mengucapkan kalimat terakhir tanpa menyisipkan benci yang aku harapkan. Aku mengucapkan terima kasih, dan kami berbagi senyum tipis.
Tanpa menunggu lebih lama, aku menambahkan alasan mengiriminya surel dengan pengakuan tanpa aling-aling bahwa aku sangat merindukannya. Menyibak semua tirai yang tertutup rapat saat kami masih bersama, aku mengakui kebodohan karena gagal menyadari cinta yang pernah dia berikan sungguh luar biasa. Aku dibutakan oleh fantasi tentang Anom hingga mengabaikan semesta telah mengirimkan dirinya sebagai pengingat, tapi itu pun tidak cukup ampuh membangunkanku dari mimpi. Setelah menyaksikan Anom mengucap janji sehidup semati dengan Phillip dan kenyataan yang mengoyakku dari tidur, satu per satu sesal tertimbun dalam pikiranku. Tidak ada malu saat mengakui bahwa dia telah menyelamatkanku dari keputusan ceroboh meski fisiknya tidak menyaksikanku dari Chiswell Street.
Diam yang dipilih Joey sangat aku hargai. Lapang mulai mengisi dada sebelum aku mengungkapkan remah yang masih tersisa hingga habis tanpa bekas. Aku membuang napas lega karena menuang segala rasa di hadapannya, tidak ada lagi rahasia. Meski relevansinya kecil, aku menambahkan bahwa mengungkapkan semuanya telah membuka kesempatan untuk belajar mencintai seseorang dengan layak dan benar.
Joey tersenyum begitu bibirku terkatup. "Thank you for saying all of that." Dia menunduk sebelum memberiku kesempatan menatap matanya yang masih sangat ekspresif. "Asal lo tahu, keputusan gue buat ninggalin Indonesia karena gue seratus persen yakin itu cara paling ampuh buat ngelupain lo. And it worked ... for a while." Joey menelan ludah sebelum dia melanjukannya dengan berkata, "Berada jauh dari Indonesia bukan hal baru, tetapi lari dari sakit hati karena cowok nggak pernah jadi cara gue buat moving on. Begitu yakin bahwa ngelupain lo itu sesuatu yang mustahil, gue mulai bertanya apakah salah satu superpower lo itu termasuk bikin orang keinget terus sekalipun sakit yang lo sebabin nggak gampang diobatin."
Lidahku kelu mendengar pengakuan Joey. Dengan terang-terangan, aku meminta Joey menyematkan kekuatan sehebat itu pada orang lain karena aku jauh dari pantas untuk mendapatkannya.
"Lo sekarang nggak ada di posisi yang berhak nolak karena itu yang gue rasain," tandasnya jenaka. "Nggak peduli lagi jalan sama siapa, ngehapus bayangan lo itu hal yang musthail. Gue harus berdamai dengan fakta bahwa gue nggak akan pernah bisa ngusir lo dari otak gue." Joey lantas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel sembari mendekatkan tubuhnya. Dengan pelan, dia berujar, "Gue akhirnya tahu gimana rasanya ada di posisi lo saat kita masih barengan. You were with me, but your heart belonged to Anom. Now, we're even."
Niatku agar Joey mengulangi kalimatnya pupus karena tanpa mendengarnya dua kali, tidak ada yang abu-abu dari ucapannya.
Terkungkung dalam gelembung sunyi, tidak ada pilihan bagi kami selain bicara melalui pandangan. Masih banyak yang belum diungkapkan Joey, tetapi aku bisa dengan mudah membaca kalimat yang berjejer rapi lengkap dengan koma dan titik melalui sepasang matanya.
Aku memang tidak menangkap maaf dalam tatapannya, tetapi ada hal penting lainnya yang sudah saatnya dibebaskan. Joey dengan jelas memintanya dariku.
Satu keping pun berhasil aku pungut, dan kali ini aku berjanji akan menggenggamnya dengan erat.
***FIN***
Dear all,
Akhirnyaaa ... saya berhasil nyelesain juga cerita ini. Fiuh!
Saya sempat ragu buat masukin bab ini karena ending bab sebelumnya menurut saya sudah sangat pas. Namun saya mikir bahwa bab penutup ini sangat diperlukan dan karena saya paling anti mematikan karakter dalam sebuah cerita (karena yakin ada banyak banget cara untuk membuat pembaca merasa larut dalam kesedihan tanpa melibatkan kematian). Mungkin banyak yang nggak nyangka bakal ada adegan ini, but there you have it.
Menurut kalian, apa yang akan terjadi setelah kata tamat? Apakah Joey dan Aku kembali bersama? Atau kata maaf yang terucap dari Aku cukup untuk membuatnya melanjutkan hidup tanpa harus berhubungan lagi dengan Joey? Let me know what you think.
Song - Moving On and Getting Over by John Mayer
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGA HATI LELAH MENUNGGU
Ficción GeneralAnom. Dia datang dengan gamblang, merayapi hatiku, lantas memalangnya. Sejak itu, aku lupa rasanya mencintai pria selain dirinya. Anom menghidupkan perasaan yang telah lama kupercaya mati. Tidak berlebihan menyebutnya sebagai cinta terbesar dalam h...