4 SEPTEMBER

274 41 35
                                    

"Lo jadi nganter Anom ke bandara?"

Tanpa mengalihkan pandangan dari bubur yang sedang aku siapkan di mangkuk, Joey memperoleh anggukan sebagai jawaban.

Dua hari ini, rumah Joey menjadi persinggahan sepulang dari kantor karena dia mengeluh tidak enak badan dan ingin ditemani. Membawa tas dafel berisi pakaian untuk empat hari, Joey menunjukkan sifat layaknya anak kecil yang terlampau manja. Dengan sabar, aku melayani suasana hatinya yang kerap berubah.

Kemarin demamnya masih cukup tinggi, tetapi pagi ini, suhu tubuh Joey sudah mendekati normal meski tenaganya masih belum pulih. Perih di tenggorokan saat menelan makanan membuat Joey lebih uring-uringan hingga pilihan yang dimilikinya hanya satu yaitu bubur—yang terbukti menjadi makanan yang paling dia benci.

Hampir dua bulan, waktu istirahat Joey sering tumpang-tindih akibat koleksi terbaru yang sedang disiapkannya. Lelah sering menaungi wajahnya, bergandengan tangan dengan temperamen yang timbul-tenggelam. Imbas dari semuanya adalah frekuensi pertemuan kami menyusut. Joey terlampau takut frustasi dan emosinya lepas kendali saat bersamaku. Dia menghindarkanku dari sasaran pelampiasan.

Tiga hari lalu, wajahnya menegurku lewat video call berbalut lesu. Tanpa menunggu persetujuannya, aku bergegas melarikannya ke dokter. Kondisi lemahnya patut aku syukuri karena jika kondisinya prima, Joey akan berontak diseret ke rumah sakit. Dia meracau, tapi tenaganya tidak cukup kuat menghentikan niatku. Tifus menjadi ketakutanku, tetapi beruntung dia cuma kelelahan dan memerlukan istirahat.

Seperti Cal dan Lelo, niat memberitahu Anom tentang Joey dan sebaliknya, aku pendam sedalam mungkin. Namun pertemuan tidak sengaja di Kota Kasablanka, menyembunyikan mereka dari satu sama lain tidak lagi memungkinkan. Ada tumpukan gelisah yang berdiam menunggu waktu saat rentetan pertanyaan tentang Anom ditembakkan Joey. Tersudut oleh nihilnya pilihan, aku mengungkapkan segalanya—kecuali perasaanku terhadap Anom—agar curiga enyah dalam diri Joey.

Sempat terlingkar argumen ketika Joey tidak mampu mencerna alasanku agar kami merahasiakan hubungan dari Anom. Lega menyeruak begitu dia menapis jalan lain yang berbeda dengan Lelo dulu. Joey bukanlah manusia yang malu akan seksualitasnya, tetapi dia pun enggan menggaungkan di depan setiap orang yang ditemuinya. Maka kami pun sepakat bersikap lebih hati-hati di hadapan Anom.

Ada ragu yang tebersit bahwa sikap menerima Joey memiliki tanggal kadaluarsa. Dengan cemas, aku menyongsong saat kesabarannya mencapai batas. Namun ketakutan itu tidak terwujud. Joey memahami dekatnya hubunganku dengan Anom hingga tidak sekali pun dia berusaha menyemai batas di antara kami. Dengan senang hati, dia bahkan menghabiskan waktu denganku mencari mantel yang pantas dikenakan Anom saat musim dingin tiba.

Pengertian yang ditebar Joey menyadarkanku betapa berbedanya dia dengan pria-pria lain yang sempat singgah di hati. Sekuat mungkin, aku menjaga kepercayaan yang diberikan Joey tanpa ada niat meloncati palang yang tertancap.

Joey berkeinginan mengantar Anom ke bandara bersamaku, tetapi dia tahu diri bahwa kondisinya terlalu lemah untuk bepergian. Meski keberatan, aku meyakinkan tidak ada pertunjukkan spektakuler yang akan dilewatkannya.

Menyajikan bubur ayam—yang aku kukus dengan tambahan wortel dan bayam—di hadapan Joey, dia memberiku erangan sebagai sambutan. Tataran jengkelnya bahkan diikuti dengan serangkaian kalimat dalam bahasa Jerman yang tidak aku pahami.

Duduk di samping Joey demi menemaninya sarapan, dia terlihat begitu menggemaskan. Aku meremas pundaknya dengan lembut.

"Gue beneran nggak tahu di mana enaknya makanan bernama bubur ini." Memainkan sendok tanpa berniat menyuapkannya, dia menambahkan, "Kalau nanti lo sakit, gue bakal jadi orang pertama yang bahagia karena bisa maksa lo makan-makanan nggak jelas begini."

HINGGA HATI LELAH MENUNGGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang