"Happy birthday, gorgeous!"
Suara itu mewajibkan aku membuka mata. Ketika wajah Joey menggantung begitu dekat, aku tertawa kecil menyadari senyumnya terlihat begitu lebar. Kantuk masih menyelimuti hingga otakku masih belum berfungsi maksimal.
"You're getting older, huh?" ujarnya lantas menghujani wajah dan leherku dengan kecupan, membuatku tidak mampu menahan geli.
Joey menahan tubuhku dengan kedua lengannya sebelum pandangan kami saling terkunci. Melirik jam di atas nakas yang baru menunjukkan pukul tujuh pagi, aku bertanya ke Joey sejak kapan dia sampai di apartemen.
"Gue baru aja nyampe. Lo libur kan hari ini?"
Aku mengangguk karena kantor memberikan hari libur bagi siapa pun yang sedang merayakan ulang tahun. Semalam aku tertidur saat membaca Levels of Life karya Julian Barnes hingga saat terbangun lepas tengah malam, aku hanya mematikan lampu dan langsung menuju tempat tidur.
Mengalungkan lengan pada leher Joey, aku mendaratkan ciuman singkat diikuti ucapan terima karena telah memprakarsai awal hariku dengan ucapan ulang tahun. Aku menggoda Joe dengan menanyakan salah satu rencananya adalah menawanku di tempat tidur.
"Gue sih mau-mau aja olahraga pagi-pagi, tapi itu nanti. Gue punya kejutan buat lo."
Eranganku terdengar lantang karena Joey tahu kejutan tidak pernah bisa aku sambut dengan antusias.
"Gue janji ini bukan kejutan besar."
Usahaku menahan Joey di tempat tidur gagal hingga dengan malas—dan terpaksa—aku menurut saat dia menarikku bangkit. Tepat saat kami berdiri di depan pintu, dia memosisikan diri di belakang tubuhku.
"Gue bakal nutup mata lo. Dan nggak usah protes atau banyak tanya!"
Dengan gesit, Joey menggunakan kain demi menggelapkan pandanganku sementara tanganku gatal ingin melepaskannya. Jantungku sudah berdegup semakin tidak beraturan membayangkan apa pun yang disiapkan Joey.
Telingaku menangkap suara pintu yang dibuka sebelum tangan Joey menggandengku keluar kamar. Tinggal di apartemen ini lebih dari delapan tahun, aku hafal ke mana Joey membawaku. Dugaan yang menggelora dalam benak adalah Joey memasak makanan favoritku mengingat dia paling benci berurusan dengan dapur. Meski kesabaran semakin menipis, aku berusaha menyenangkan hati Joey dengan tidak banyak bicara.
"Oke, sekarang lo boleh buka mata."
Tanganku dengan kilat membuka kain penutup dan menyadari Joey membuka semua tirai di apartemen hingga ruang tengah bermandikan matahari pagi. Aku mengerjap. Begitu mampu beradaptasi, aku terkesiap menemukan meja makan telah penuh oleh makanan. Namun bukan itu yang membuatku terpana.
Aku menoleh dan mendapati senyum Joey terlampau lebar.
"Gue bikin sendiri cake-nya, jadi maklumin kalau kurang rapi. Gue dibantuin temen gue yang lebih jago. Yang lain-lain ... gue beli karena ogah banget ngabisin seharia—"
Tanpa memberi Joey kesempatan menuntaskan kalimat, aku menciumnya. Kali ini lebih panjang dan dalam.
"You still leave me breathless every time you kiss me like that," katanya seraya menggandeng tanganku agar mendekati meja.
Tatapanku enggan beralih dari kue dua tingkat yang dilapisi strawberry frosting—karena warna merah dan tumpukan stroberi di bagian paling atas—dengan chocolate drip dilengkapi lilin yang sudah dinyalakan. Ada kartu bertuliskan Happy Birthday to The Guy Who Drives Me Crazy yang diletakkan Joey di sebelah kue.
Selain itu, ada dua piring yang telah ditata Joey dengan kopi yang masih mengeluarkan uap, satu keranjang kecil berisi Danish pastry ditambah buah-buahan yang telah diletakkannya di atas mangkuk. Aku hanya bisa menelan ludah sambil meremas tangan Joey lebih erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGA HATI LELAH MENUNGGU
General FictionAnom. Dia datang dengan gamblang, merayapi hatiku, lantas memalangnya. Sejak itu, aku lupa rasanya mencintai pria selain dirinya. Anom menghidupkan perasaan yang telah lama kupercaya mati. Tidak berlebihan menyebutnya sebagai cinta terbesar dalam h...