Semenjak mengurungkan kebohongan agar tidak perlu menyeret langkah ke kantor, Blackberry-ku tanpa jeda memporakporandakan konsentrasi. Label paling sempurna pagi ini adalah tergesa-gesa. Diawali dengan bangun satu jam lebih telat dari hari lainnya, waktu memburuku seperti kilat. Ketika terpaksa berhenti karena lampu merah, aku menilik ponsel dan melihat nama Fe terpampang pada layar. Mengerutkan kening, aku menyisipkan kembali ponsel ke dalam tas tanpa ada niat menghubunginya. Seumur-umur, belum pernah Fe menelepon sepagi ini sekalipun itu berhubungan dengan pekerjaan. Meremehkan hal tidak biasa itu, aku memilih bersenandung bersama lagu-lagu yang diputar di radio. Jika saja tahu alasan dering Blackberry tanpa henti itu, aku pasti sudah mengumpat lampu lalu lintas yang menundaku sampai di kantor.Setelah sukses menemukan parkir, aku memandang pantulan pada kaca spion. Di dalam kotak makan siang—aku memilih warna oranye pucat yang mewakili keceriaan perasaan—aku memasak lebih karena ingin berbagi makan siang dengan Anom. Entah kapan bermula, aku mulai melakukannya setiap Kamis sebelum kejadian spotan tersebut berubah menjadi kebiasaan, kecuali Pak Marteen sedang di Jakarta. Bersiul penuh antisipasi sekaligus menyusun topik percakapan untuk nanti, dengan riang aku memasuki Coustiche.
Anggi dan Intan memberikan sapaan selamat pagi seperti tidak ada tenaga. Mereka gemar menggodaku dengan gurauan yang selalu sukses menimbulkan senyum di bibir. Kalimat yang aku lontarkan demi memancing reaksi mereka ditanggapi dengan senyum lemah. Berpikir mereka sedang tidak dalam suasana hati yang bagus, aku hanya menyambar surat kabar dan berjalan menuju pantri. Sesampainya di sana, beberapa staf Coustiche yang tidak biasa mengisi pantri berdiri dengan wajah tertekuk.
"Lo kenapa nggak angkat telepon?"
Ucapan bernada tuduhan itu disemprotkan Fe bahkan ketika kakiku belum menyeberangi pintu. Mengutarakan alasan yang tersaji di pikiran tanpa menimbang lebih dalam, aku menghampiri mesin kopi dan mengisinya setengah. Sikap mereka yang terlihat berbeda memantik keingintahuanku. Aku menyuarakannya dalam bentuk satu pertanyaan sederhana.
"Pak Marteen kecelakaan tadi malam. Kondisinya kritis."
Aku dengan tenang menyendokkan gula dan mengaduknya. Aku menutupi panik dengan menyesap kopi perlahan. Meski mengetahui kondisi Anom menjadi satu-satunya hal yang aku pedulikan, pertanyaan datar tentang Pak Marteen adalah pilihan bijak. Pembicaraan mereka tidak lagi bisa aku tangkap karena otakku sibuk menyodorkan kemungkinan demi kemungkinan perihal Anom. Alih-alih ikut mengutarakan pendapat, aku beranjak dari pantri-tanpa mengacuhkan keberatan yang diajukan Fe—membawa gelas berisi kopi ke meja kerja. Jika ada satu saja manusia di Coustiche yang memperhatikan rutinitas pagiku, dia dengan pasti akan menaikkan alis mengetahui kopiku tidak tandas di pantri.
Menyalakan komputer, logikaku berpacu dengan aksi yang bisa aku lakukan seorang diri tanpa melibatkan orang kantor. Menghubungi Anom ada dalam urutan akhir karena tubuh dan mentalnya pasti telah penuh oleh cemas. Panggilan dariku hanya akan menggandakan kekhawatirannya. Memejamkan mata, aku mengisi paru-paru dengan sekali tarikan napas dan mengembuskannya pelan.
Hanya dalam hitungan detik, ponselku bergetar. Nama Anom tertera di sana, dan dengan gesit aku meletakkannya di telinga.
"Aku yakin berita soal Marteen sudah tersebar di kantor," buka Anom. "Maaf aku nggak kasih kabar tadi malam karena nggak mau ganggu istirahat kamu, Mas. Juga karena semuanya masih bikin aku panik. Semuanya terjadi begitu ... cepat." Hatiku tercabik mendengar suara Anom menampung kesedihan yang teramat hebat dan tertahankan. "Ke sini nanti ya, Mas? Aku butuh temen."
Setelah menjelaskan ada beberapa hal yang harus selesai lebih dulu, aku berjanji ke Anom akan menyusulnya ke rumah sakit. Sesaat sesudah sambungan terputus, aku mengetuk pelipis dengan buku jari berkali-kali karena kebodohan yang menguasai. Menelan sesal karena kebohongan yang terucap, aku mendesak pikiran untuk menghujaniku dengan produktivitas. Namun keputusasaan Anom terus bergaung hingga perlu waktu sedikit lebih lama menemukan fokusku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGA HATI LELAH MENUNGGU
General FictionAnom. Dia datang dengan gamblang, merayapi hatiku, lantas memalangnya. Sejak itu, aku lupa rasanya mencintai pria selain dirinya. Anom menghidupkan perasaan yang telah lama kupercaya mati. Tidak berlebihan menyebutnya sebagai cinta terbesar dalam h...