Dear all,
Kita ketemu lagi di behind the scene HINGGA HATI LELAH MENUNGGU—sesuatu yang udah jadi semacam kewajiban tiap kali saya berhasil menamatkan satu cerita—dan pengen ngasih tahu soal proses pembuatan cerita ini.
Jadi seperti saya bilang di prelude, cerita ini sudah ada di kepala saya selama bertahun-tahun. Dari awal idenya terbentuk pun, saya pengen banget menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan tulisan saya yang lain. Sempat ketakutan karena rentang waktu yang saya ambil, saya akhirnya memutuskan buat mengeksekussi ide tanpa mengurangi banyak dari niat awalnya.
Kenapa saya ambil delapan tahun? Karena menurut saya, mencintai seseorang selama itu tanpa mengungkapkannya butuh kekuatan mental yang luar biasa. Saya sendiri nggak akan mampu. Dan karena saya pengen juga masukkin lagunya Tulus yang Sewindu, sih, hahahaha—I'm a big fan!—jadilah saya ngambil dari 2010-2018.
Dengan cerita ini, saya juga pengen belajar buat menggunakan diksi dan kata-kata yang sebelumnya nggak akan masuk di tulisan saya. Ada seorang teman yang sempat berkomentar bahwa pilihan kata saya monoton dan kurang bervariasi, hingga saya pun merasa perlu bereksperimen dengan menyelipkan banyak kata-kata yang sebelumnya nggak saya tahu. Selain itu, saya pun belajar untuk sebisa mungkin mengurangi repetisi dan menulis cerita ini memberi saya kebiasaan untuk seminim mungkin menggunakan kata-kata yang sama.
Kalau kalian perhatikan, dari awal nggak ada sama sekali dialog Aku. Semua ucapan dia selalu saya tulis dengan narasi—kecuali di bagian saat dia mengungkapkan perasaan ke Anom karena buat saya, itu momen yang sangat pas untuk meletakkan satu-satunya dialog yang diucapkan Aku. Mungkin ada yang bertanya kenapa saya memutuskan seperti itu.
Jawabannya sederhana: karena saya ingin fokus ceritanya bukan ke aku atau bagaimana dia berbicara, tetapi ke lawan bicaranya, terutama Anom (dan Lelo, Cal, serta Joey). Saya pernah menggunakan trik seperti ini di MIDNIGHT IN DECEMBER, di mana saya ingin pembaca fokus ke lawan bicara karakter utama dibanding karakter utamanya itu sendiri. Buat saya, ini adalah gaya paling pas untuk menceritakan kisah Aku. Selain itu, fakta bahwa dia nggak bisa mengungkapkan perasaan kepada Anom selama delapan tahun pun terasa pas dengan nggak adanya kalimat langsung yang diucapkan Aku.
Kemudian kenapa tidak ada nama yang saya berikan kepada Aku? Lagi-lagi, saya nggak pengen Aku jadi fokus cerita meskipun saya menggunakan first point of view. Dengan membuat Aku tanpa nama, saya berharap siapa pun nanti yang baca akan lebih ingat dengan nama Anom, yang memang menjadi pusat cerita HINGGA HATI LELAH MENUNGGU. Jadi keputusan ini memang sengaja saya ambil untuk memberikan efek seperti itu.
Tantangan terbesar dalam menulis cerita ini adalah riset tentang tempat-tempat yang disebutkan. Kenapa? Karena saya jelas nggak mau asal-asalan menyebut satu tempat, tapi ternyata tempat tersebut belum dibuka saat adegannya ditulis. Jadi saya menghabiskan cukup banyak waktu mencari tempat-tempat yang memang sudah ada ketika satu adegan terjadi. Buat saya, penting buat memberikan informasi yang benar sekalipun sifatnya nggak terlalu krusial.
Saya pun sempat kehilangan motivasi karena merasa kemampuan saya menulis cerita dengan diksi seperti ini nggak cukup mahir. Makanya sempat ada jeda lama saya nggak ngurusin Anom dan Aku. Saya kemudian sadar bahwa bisa atau nggak, ini adalah gaya yang telah saya lepas buat cerita ini hingga nggak ada pilihan selain meneruskannya.
Mengabaikan diksi yang berat, saya melanjutkan cerita ini dengan banyak pengulangan kata dan susuan kalimat seadanya. Baru ketika saya menyuntingnya, semua itu saya ganti dengan susuan kalimat dan diksi yang sesuai dengan niat. Berhasilkah saya? Hanya kalian yang bisa menjawab.
HINGGA HATI LELAH MENUNGGU mungkin cerita terakhir saya menggunakan diksi seperti ini, hahahaha. Saya ngerasa nggak kuat kalau harus nulis cerita dengan gaya bahasa yang sama. Namun saya merasa bersyukur telah berhasil menyelesaikan cerita ini dengan baik, terlepas dari banyaknya tantangan.
Oh ya, yang saya perhatikan juga, pembaca cerita ini nggak sebanyak cerita saya yang lain. Saya menduga alasannya karena telah membocorkan ending-nya di awal, hingga bagi banyak pembaca, itu adalah mood killer dan lantas nggak mau baca karena berbagai alasan. Saya paham kok, karena saya pun bukan penggemar sad ending, tapi saya percaya bahwa cerita ini harus berakhir seperti ini.
Saya sama sekali nggak keberatan dengan jumlah pembaca yang nggak banyak, after all, I've never wanted to please anyone else but myself when I write. Jadi menyelesaikan cerita ini jauh memberi saya kepuasan batin dibanding jumlah pembaca/vote yang sedikit. It was still a fun ride.
Saya mau ngucapin terima kasih banyak buat semuanya yang tetep mau baca cerita ini meskipun di awal sudah saya peringatkan bahwa ceritanya nggak punya happy ending. Semua komentar serta vote yang kalian berikan sungguh sangat saya hargai. Terima kasih juga karena masih mau membaca tulisan seorang Abiyasha. Semoga kalian menikmati perjalanan Aku dan Anom selama delapan tahun.
Cerita ini masih jauh dari sempurna dan kekurangannya pun masih berceceran, jadi setiap masukan serta kritik yang membangun, saya selalu terima dengan tangan terbuka.
See you all in another story! And thank you so much, again and again.
Shimbalaiê,
Abi
P.S: Ini bocoran cerita saya selanjutnya. Ditunggu, ya? Lagi-lagi, ini akan jadi cerita yang berbeda dari HINGGA HATI LELAH MENUNGGU. Saya pun memutuskan untuk mencoba genre yang selama ini berusaha saya hindari karena nggak pede. Let me know what you think about the cover and the title. Saya belum tahu pasti kapan akan mulai tayang di Wattpad, tapi yang pasti tahun ini juga. I can't wait to delve myself into this story!
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGA HATI LELAH MENUNGGU
General FictionAnom. Dia datang dengan gamblang, merayapi hatiku, lantas memalangnya. Sejak itu, aku lupa rasanya mencintai pria selain dirinya. Anom menghidupkan perasaan yang telah lama kupercaya mati. Tidak berlebihan menyebutnya sebagai cinta terbesar dalam h...