BEFORE THE WEDDING

411 43 54
                                    


Pandanganku masih tertancap pada kubah katedral St. Paul's yang seperti mengolokku dari jauh. Berada di London sejak dua hari lalu, tugas sebagai best man langsung menyita tiap menitku.

Mengunci partikel berisikan cemburu dan marah dengan lekat, aku datang ke London menyeret beban yang jauh lebih berat dari koper. Lelo dengan senang hati menawarkan diri untuk menguatkan mentalku saat Anom dan Phillip mengucap janji di Barbican Conservatory. Aku perlu kehadirannya sekadar mengingatkan peranku pada acara pernikahan Anom. Tentu saja Lelo memberi lebih dari yang aku minta.

Joey bersemangat ingin menemani saat aku memberitahunya tentang kabar pernikahan Anom. Bahkan dia telah mengosongkan jadwal selama satu minggu supaya menghabiskannya di London bersamaku. Namun setelah tali cinta di antara kami lepas, tidak ada siapa pun yang bisa aku ajak kecuali Lelo. Meski berkali-kali minta maaf karena harus menggandengnya ke acara yang membuat lukaku menganga, Lelo menanggapinya dengan ringan dan mengajukan pertanyaan apakah dia perlu membawa obat merah dan perban.

Bersama dengan tiga teman Anom yang dikenalnya saat tinggal di Inggris dan empat teman Phillip—yang ditunjuk sebagai groomsmen, termasuk Andrew yang punya peran sama sepertiku sebagai best man—kami berdiskusi tentang semua hal yang berhubungan dengan pernikahan bahkan saat fisikku masih terperangkap di Jakarta.

Ketika akhirnya bertemu mereka, canggung yang harusnya menyelinap di antara kami meleleh dengan cepat. Kami layaknya sekumpulan teman lama yang telah bertahun-tahun tidak saling bersua. Rencana menukar acara stag do ini—Anom menghabiskan waktu dengan teman-teman Phillip dan begitu juga sebaliknya—disambut antusias oleh Anom dan Phillip, yang setuju bahwa ide ini sangat brilian.

Phillip kami bawa ke The Terrace yang merupakan tempat favorit Anom di London selepas menghabiskan siang dengan bermain rafting di Hertfordshire. Rombongan Andrew mengajak Anom menyusuri sungai Thames dengan speedboat tour yang dilanjutkan dengan menonton pertunjukan musikal favorit Phillip, Everybody's Talking about Jamie di Apollo Theatre. Kami sepakat menjadikan Bussey Rooftop Bar sebagai titik temu untuk menghabiskan sisa malam.

Jika punya kekuatan super, aku pasti akan melewatkan hari ini karena menghabiskan waktu bersama Phillip tanpa kehadiran Anom bukanlah sesuatu yang membuat hatiku berbinar. Sekalipun Will, Henry, dan Patrick berhasil mengurangi perasaan tidak nyamanku hingga yang aku pentaskan hanyalah antusiasme yang sama, ada lubang besar yang menganga, yang tidak bisa ditutup oleh apa atau siapa pun.

Tawa mereka berempat berhasil membawaku kembali ke meja yang kami pesan dan berusaha menyelinap di antara obrolan mereka.

"Ok, what else do you want to know about Anom? I'm pretty sure you've known everything about him by now."

Ingin rasanya menanggapi ucapan Will dengan cepat, tapi aku menahannya. Seratus persen aku yakin ada yang masih belum diketahui Phillip, hanya saja aku malas mengajukan diri tanpa diminta.

Phillip mengalihkan pandangannya ke arahku dengan senyum yang sangat aku benci. Demi Anom, aku seperti menantangnya beradu dalam pacuan untuk memperebutkan tempat mengenai siapa yang paling mengenal Anom.

"Aku rasa tidak ada yang tahu Anom lebih banyak daripada kamu," ucapnya ke arahku. "And I trust him because compared to all of us, he has known Anom the longest."

Sekarang perhatian Will, Henry, dan Patrick terpusat kepadaku. Tanganku memainkan gelas berisi bir yang masih setengah sebelum menghela napas.

Alih-alih mengungkapkan tentang sifat Anom, aku mencomot satu kejadian dari ingatan demi memuaskan  mereka. Aku percaya Phillip belum tahu tentang cerita ini karena Anom paling segan mengumbar kebaikan demi mendapat pujian.

HINGGA HATI LELAH MENUNGGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang