Hari pertama bagi Hanz untuk menuju ke jenjang yang lebih serius. Hari ini Hanz dan seluruh siswa kelas duabelas, sedang mengikuti try out. Hanz sama sekali tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi yang namanya segal ujian, ia percaya akan keberuntungan yang selalu berpihak padanya dan ia percaya bahwa semuanya akan mengalir seperti air.
"Hanz!" panggil guru Hanz yang baru saja mengoreksi hasil pekerjaan Hanz.
Sistem try out di sekolahnya memang pada hari mengerjakan adalah hari dimana kita dapat mengetahui nilai yang kita dapatkan pula.
"Kamu ketahuan banget, ya!" lanjut guru Hanz lagi.
Hanz mengernyitkan dahi. Ketahuan apa dia? Perasaan dia tidak menyontek sejak tadi, jangankan menyontek, untuk melirik ke arah jam tangan saja tidak sempat ia lakukan.
"Saya tidak menyontek, Pak!" ucap Hanz yang membuat beberapa siswa tampak cemas, mungkin merekalah yang menyontek.
Guru Hanz mendecak sambil menggelengkan kepalanya. "Saya tidak bilang kalau kamu menyontek. Saya mau bilang, kamu ketahuan ngasalnya! Nilai kamu nol!" ucap guru Hanz yang membuat seisi kelas memasang ekspresi bingung.
Pikir mereka, Hanz yang biasanya juara kelas saja dapat nol, bagaimana dengan nasib mereka? Semua siswa berbisik-bisik dengan siswa lainnya, mereka menerka-nerka berapa nilai yang akan mereka dapatkan, bahkan ada yang tidak bisa menahan diri dan merasa bahwa sebentar lagi ia ingin pingsan.
"Diam semua!!!" Teriak guru tersebut. "Apa yang kalian lakukan selama ini? Main-main? Ujian sudah di depan mata loh, tapi kenapa kalian masih santai saja? Kalian anggap apa ujian ini? Mau kalian, lulus dengan nilai nol atau tidak lulus karena kalian masih sayang dengan sekolah ini?" lanjut guru tersebut sambil memukul meja dengan gulungan lembar jawaban dari siswa-siswinya itu.
Semuanya hanya bisa tertunduk. Ada siswa yang memang merasa bersalah kepada diri sendiri serta merasa bersalah karena telah mengecewakan gurunya, tapi ada pula yang hanya berakting agar tidak disorot oleh gurunya.
Ujian hari ini berlalu dengan sangat gagal dan membuat beberapa siswa malah stres untuk menghadapi ujian berikutnya. Apa mereka harus belajar lebih keras lagi? Tapi tentu saja itu tidak berlaku bagi Hanz. Ia masih tetap santai saja seperti biasanya. Bahkan disaat diberi waktu istirahat, Hanz berlalu menuju kantin, sedangkan teman-temannya yang lain sibuk mengasah otaknya.
Ketika Hanz berada di kantin, Hanz melihat Uli sedang duduk sendiri di sana dan Hanz pun berinisiatif untuk menemaninya. Hanz duduk tepat di hadapan Uli. Uli awalnya tidak sadar, namun karena ada suara kecil yang mengganggu konsentrasinya dalam bermain ponsel, ia langsung mendongakkan kepalanya dan menemukan Hanz sudah di hadapannya.
"Ngapain sih lo di sini?" tanya Uli dengan kesal.
"Ini meja lo bayar?" tanya Hanz sambil menaikkan sebelah alisnya.
Uli hanya bisa menghela napas dan kembali memainkan ponselnya.
"Ada Abang kelas, disapa kali, jangan dianggurin," ucap Hanz yang sama sekali tidak diperdulikan oleh Uli.
Dari arah belakang Uli, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang bisa Uli kenali tanpa melihat parasnya.
"Hanz, lo udah punya cewek? Wah, kurang ajar lo enggak ngasi tahu gue!" ucap seseorang itu.
Hanz dan Uli pun langsung menolehkan kepala. Benar saja, itu adalah Hansen. Idola Uli sejak masa orientasi. Uli cukup kaget karena Hansen tampak akrab dengan Hanz, bahkan tidak memanggilnya dengan embel-embel 'Kak' ataupun 'Bang'.
Hansen mengambil posisi duduk di samping Hanz, dan itu artinya bahwa Hansen juga berhadapan dengan Uli.
"Loh? Lo temennya Ellen, kan?" tanya Hansen ketika melihat wajah Uli.
Uli menganggukkan kepala. Ia tidak tahu bahwa Hansen dan Ellen sedekat itu, tapi setelah Uli berpikir lagi, mungkin saja kalau mereka dekat karena mereka satu angkatan.
"Hanz, lo pacaran enggak bilang-bilang!" ucap Hansen kemudian.
"Siapa yang pacaran, sih!" balas Hanz dengan kesal sambil melepas tangan Hansen yang sejak tadi merangkulnya.
"Lo berdualah! Eh, lo kelas sepuluh, kan? Lo panggil gue Adik ipar, gapapa kok!" ucap Hansen lagi.
Adik ipar? Maksud Hansen apa? Pikir Uli.
"Gue bukan pacar dia!" ucap Uli sambil menunjuk ke arah Hanz. Hanz hanya diam, tidak selera berbicara kalau ada Hansen di dekatnya.
"Lah, lo ditolak, Hanz!" ucap Hansen dengan girang sambil tertawa dengan asiknya hingga tidak sadar kalau Hanz sudah menyiapkan saus cabe dan memasukkan saus cabe tersebut ke dalam mulut Hansen.
Hansen pun menghentikan gelak tawanya dan terbatuk-batuk. "Hanz, kurang ajar lo sama Adek sendiri!" ucap Hansen sambil mengelap-elap mulutnya yang terasa panas.
Adek? Pikir Uli dalam hati. Apa benar Hanz dan Hansen merupakan saudara? Tapi kalau Uli lihat-lihat lagi, mereka memang punya kemiripan dalam wajah dan nama.
Tapi Uli tidak bisa semudah itu percaya. Bisa saja mereka sudah lama berteman, dan biasanya orang yang sudah berteman lama akan terlihat mirip.
Namun, tak lama setelah Uli beradu opini dengan dirinya sendiri, Hanny datang sambil membawa makanan yang mereka pesan tadi daan berkata, "Bang Hanz sama Bang Hansen ngapain di sini?"
Uli meembulatkan matanya. Ia hampir tidak percaya bahwaa Hanny mengenali dua laki-laki itu. Iyalah, kalau Hansen pasti Hanny mengenalinya karena Hansen lumayan sering menjadi topik pembicaraan gadis-gadis di sekolahnya, tapi Hanz? Hanz hampir tidak ada yang mengenalinya selain siswa aangkatannya. Kenapa Hannya bisa kenal?
Hanny duduk di samping Uli. Tidak hanya Uli yang terkejut, tapi Hanz juga terkejut ketika mengetahui bahwa Hanny adalah temannya Uli.
"Nih, Abang lo rese' banget!" ucap Hansen yang terdengar seperti anak kecil yang sedang mengadu dengan Ibunya.
"Apaan, sih. Dimana-mana berantem aja. Pasti Bang Hansen kan yang cari gara-gara duluan?" balas Hanny.
"Enggak, Hanny. Gue enggak nyari gara-gara, gue cuma buat gara-gara aja," ucap Hansen yang disambut decak kesal oleh Hanny.
Mereka tidak sadar bahwa Uli dan Hanz hanya bisa terdiam sejak tadi. Uli bingung haruskan ia bertanya untuk memperjelas hubungan ketiga manusia itu, atau diam saja seperti tidak tahu apa-apa.
"Hanny, Bang Hanz kesayangan lo udah pacaran, nih! Lo enggak disayang lagi sama dia!" ucap Hansen sambil menampilkan wajah mengejek kepada Hanny. Tapi Hanny tentu saja tidak bertingkah seperti anak kecil yang marah ketika diejek begitu saja.
"Apaan, sih. Udah tahu, kali!" jawab Hanny yang membuat Uli dan Hanz menolehkan kepala ke arahnya.
"Kita enggak pacaran, Hanny!" ucap Uli dan Hanz secara bersamaan yang membuat Hanny membulatkan kedua matanya sambil tersenyum.
"Kok barengan?" Hanny tertawa menyaksikan hal tersebut. Mereka tampak canggung.
Entahlah, selanjutnya apa yang harus mereka jelaskan kepada Hanny. Kalau Hansen tidak perlu lah, dijelaskan juga percuma, otaknya tidak akan bisa menerima penjelasan.
---TBC---
Maaf ya ga update beberapa waktu lalu karena aku update Ella Es Mia
Kalian juga boleh loh mampir di Ella Es Mia
Uli udah tau nih hubungan keluarga Han, yang lain bakal tau juga ga ya?
Jangan bosen bosen ya buat nungguin updatean nya hehe
bantu aku dengan dukung cerita ini
vote, comment and share
KAMU SEDANG MEMBACA
Han's Family
Teen FictionCover by @Candylnd Cerita tentang sebuah keluarga yang dimana semua nama anggota keluarganya diawali dari nama 'Han' (kecuali Ibunya). Dalam cerita ini akan mengarah pada kehidupan remaja dengan menceritakan segala masalah masalah yang akan dilewati...