Prolog

635 61 30
                                    

"Ini ada apa ramai sekali?" tanya seorang paruh baya dengan sosok bersahajanya mampu mengheningkan desus keramaian di tengah kerumunan yang tercipta.

Tampak semua santri menunduk, hanya seorang saja yang berani mendekat dan menjelaskan duduk perkara yang menjadi penyebab keramaian yang ada.

"Maaf, Abah Yai ... tadi kami memergoki Kang Nabil berduaan dengan wanita ini di tepi sungai," ucap seorang laki-laki yang merupakan salah satu seorang ustaz di pesantren Al Fattah, menjelaskan apa adanya yang ia lihat tadi.

Netra Abah Kiai langsung menangkap dua sosok anak manusia yang kini berdiri dengan jarak dekat, menerima tatapan penuh curiga dan menyelidik dari semua para santri.

"Nabil," ucap sang Kiai menyapa sosok laki-laki yang kini bersebelahan dengan seorang perempuan.

"Astaghfirullah Abah Yai, maaf ... ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan. Saya hanya korban tindih dari perempuan ini yang melompati pagar santri putri." Buru-buru Nabil meraih tangan Pak Kiai, kemudian menjelaskan apa yang terjadi.

"Kamu Laura, kan?" tanya Pak Kiai seraya menuding ke arah perempuan itu.
Wanita yang dituding bungkam, ia hanya menundukkan kepala semakin dalam.

"Tadi yang melihat mereka berdua Farhan saja?"

"Saya sama Haris, Bah."

"Ya sudah, ayo masuk ... saya panggil pengurus santriwati dulu," putus Sang Kiai lalu diikuti mereka berempat.

Kerumunan para santri yang lain pun bubar, meski masih terdengar desas desus saling tanya dari mereka. Karena memang apa yang baru saja terjadi, tak ada saksi mata yang secara pasti melihat dari awal kejadian.

Beberapa menit kemudian, bukan hanya tiga laki-laki dan seorang perempuan itu yang berkumpul di ndalem. Abah Yai juga memanggil dua ustazah yang merupakan pengurus pondok putri.

Terungkaplah cerita bahwa Laura yang hanya baru sebulan ini terus membuat ulah. Banyak pelanggaran yang ia lakukan. Usahanya kabur tak hanya malam ini saja. Beberapa kali aksi kaburnya kepergok pihak keamanan.

Abah Yai yang mendengar penjelasan dari ustazah Fathiyah mengangguk-anggukkan kepala.
"Ya sudah kalau gitu, kalian boleh kembali ke asrama masing-masing. Kecuali kamu Laura."

Semuanya tertunduk patuh, langsung menuruti titah sang Kiai--meninggalkan ruang tamu ndhalem.

"Kamu ini maunya apa to, nduk?" Sepeninggal para santri dan ustazah tadi, Kiai langsung melontar pertanyaan itu kepada Laura.

Ibu Nyai yang sedari tadi setia berada di samping Abah Kiai menepuk pelan lengan sang suami saat melihat Laura membeku dan menunduk semakin dalam, seakan takut untuk mengutarakan isi hatinya. "Biar Ummi yang bicara, Mas."

Abah Kiai paham, ia pun mengangguk dan beranjak. Memberi waktu untuk dua wanita itu untuk bicara dari hati ke hati.

---***---

Keesokan harinya, Laura dan Nabil dipanggil ke ndalem. Mama dan Papa Laura telah ada di sana.

"Nak Laura ... Abah dan orang tua kamu sudah musyawarah mengenai semua permasalahan yang ada. Setelah mempertimbangkan jalan keluar yang terbaik atas keinginanmu yang tak mau menetap di pondok lagi, maka orang tua kamu sepakat jika Abah menjodohkan kamu dengan Nabil."

Laura dan Nabil sontak dengan kompaknya mendongak, kaget dengan apa yang Abah Kiai ucapkan barusan. Sesaat keduanya saling pandang, kemudian menatap tak percaya kepada orang-orang yang duduk di kursi itu.

07 Robiul Awwal 1441 H
Selasa, 22 Desember 2020

Assalamu'alaikum sahabat pembaca.
Alhamdulillah aku bawa cerita baru nih.

Gimana prolognya menurut kalian? 😊😊

Semoga cerita ini nantinya memberi manfaat dan pelajaran-pelajaran yang bisa di petik ya.
Doakan bisa lancar sampai tamat. 😊

KETIBAN JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang