Selepas makan malam bersama keluarga, Laura dan Nabil langsung pamit ke kamar. Mengingat keduanya tadi menghabiskan waktu di luar rumah, membuat Kayra dan Ridwan paham jika mereka pasti kecapekan.
Nabil pun langsung merebahkan diri di kasur setibanya di kamar. Memejamkan kedua matanya, seraya menempelkan lengannya di sana.
Laura yang melihat Nabil tak seperti biasanya, menghela napas cukup dalam. Pasti Mas Nabil capek gara-gara nyariin aku tadi, ucapnya dalam hati seraya memandang sendu ke arah sang suami. Begitu terlihat jika gadis itu kini merasa bersalah.
Usai melipat dan meletakkan mukena beserta sajadah di lemari. Laura pun beringsut menaiki kasur dengan tatapan yang sama sekali tak lepas dari sang suami.
Merasakan gerakan pada kasur yang ditiduri, Nabil pun menyingkirkan lengannya lalu membuka mata.
"Maafin Laura ya, Mas," ucap Laura mendahului Nabil yang akan bersuara.
Kening Nabil pun mengerut, menatap Laura dengan kebingungan. "Minta maaf?"
"Iya. Kan, gara-gara aku Mas Nabil sekarang kecapekan."
"Kamu nggak salah, Ra. Dan itu udah kewajibanku nyariin kamu sampai ketemu."
Bibir Laura mengulas senyum, bangga dengan sosok Nabil yang selalu saja begitu. Tulus melaksanakan kewajibannya seakan tak mengenal kata berkeluh kesah bagaimana pun keadaannya.
"Kepalanya pusing ya, Mas? Atau Mau aku pijitin."
Nabil kembali menoleh, ia sedikit terkejut dengan penawaran Laura. "Emang kamu bisa mijitin?"
"Emm, baru dua kali, sih. Belajar mijitin Mama kemarin-kemarin. Kata Mama pijitan aku enak."
"Serius? Boleh juga." Nabil pun bangkit. Lalu duduk membelakangi sang istri.
Laura pun mulai memijiti leher Nabil lalu pundaknya secara bergantian. "Emm beneran, Ra. Pijitan kamu memang enak."
"Alhamdulillah," ucap Laura semringah. Sangat senang, akhirnya ia bisa menyenangkan sang suami. Anggap saja ini permintaan maafku untukmu, Mas, ucap Laura dalam hati, tangannya semakin semangat memijiti sang suami.
"Mas."
"Hmm," jawab Nabil singkat, karena dirinya kini sedang menikmati pijitan Laura yang seakan bisa mengurangi pegal di kepalanya.
"Menurut Mas Nabil. Cinta dalam sebuah pernikahan itu penting nggak, sih?" Pertanyaan Laura berhasil membuat Nabil terpaku.
"Mas," ucap Laura lagi, karena Nabil tak kunjung menjawab. Meski kini lehernya mulai mengendor kembali setelah sedikit tegang saat mendengar pertanyaan dirinya.
"Emm. Ya-ya penting, Ra," jawab Nabil gugup, membuat Laura terkekeh.
Mendengar kekehan Laura, Nabil pun menoleh. "Ada yang lucu, Ra?"
"Hehehe nggak ada, sih, Mas. Aku lagi pengin ketawa aja lihat muka tegang Mas Nabil barusan."
Nabil pun menatap ke depan, ia baru sadar jika Laura bisa melihat mimik wajahnya dari cermin yang tak jauh dari keberadaannya saat ini.
"Santai aja, Mas. Aku nggak akan mempertanyakan soal rasa yang terpatri dalam hati Mas sekarang. Aku tak berhak dan sadar diri. Siapalah aku, wanita yang jauh dari kriteria salihah. Wanita urakan, tak punya akhlak, bodoh pula. Wanita yang pasti tak ada sedikit pun masuk dalam kriteria bakal istri idaman Mas Nabil di masa depan."
"Hush, kamu ngomong apaan, sih, Ra."
"Ngomong kenyataan, dong, Mas. Hehe." Laura terkekeh. Namun, Nabil bisa tahu jika kekehan itu terkesan dipaksakan.
Maafin aku, Ra. Yang belum mencintai kamu, batin Nabil dengan pandangan intens ke arah Laura lewat cermin di depannya.
"Setiap manusia punya kesempatan berubah, Ra. Semangat, dong. Bukannya sekarang kamu menempuh proses menjadi wanita muslimah yang lebih baik."
"Mas Nabil nggak akan bosen bimbing Laura sampai kapan pun, kan?"
Tangan Nabil pun meraih kedua tangan Laura yang berada di pundaknya. Ia memutar tubuhnya agar berhadapan dengan sang istri. Keduanya saling bertukar pandang. Nabil pun tersenyum lalu berucap. "Insya Allah, Ra. Aku akan berusaha semampu yang aku bisa."
Bibir Laura tersenyum merekah, sangat bahagia dengan jawaban Nabil. Setidaknya saat ini ia merasa lega, karena terbukti memang suaminya menerima dirinya apa adanya.
.
.
.
.
BersambungPenasaran?
Yuk Order Novelnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIBAN JODOH
EspiritualKetiban jodoh? Jomblo mana yang tak suka? Hampir semua jomblowan-jomblowati pasti mengharapkan segera bersatu dengan tulang rusuknya. Namun, bagaimana jika nasib perjodohan, jika keduanya berbanding terbalik hampir dalam setiap hal? Hanya satu yang...