Hari ini Budi memberikan tugas kelompok pada murid-muridnya. Tapi karena waktu pelajaran yang hampir habis, Budi menyuruh mereka untuk mengerjakannya di luar jam pelajaran.
"Kita akan mengerjakannya di mana, aru?" tanya Yao pada teman sekelompoknya—Alfred, Arthur, dan Ivan. Kelas Pak Budi baru saja selesai.
"Bagaimana kalau di coffe shop-ku saja?" tawar Arthur. Semua setuju. Mereka berempat pun berangkat ke sana.
—Time skip dibawakan oleh Flying Mint Bunny—
Akhirnya mereka sampai di coffe shop milik Arthur. Tempat itu cukup luas dan ramai pengunjung. Interiornya berbau klasik dengan berbagai ornamen khas dari Inggris. Ada juga beberapa spot foto yang instagramable. Tempat ini terasa seperti di London.
Arthur menuntun teman-temannya ke sebuah meja yang dikelilingi oleh sofa panjang. Meja itu memang dirancang untuk diduduki oleh orang banyak.
"Kalian ingin minum apa? Biar aku yang traktir," ucap Arthur.
"Woah, thanks dude!" ucap Alfred sambil selonjoran di sofa seakan tempat itu adalah rumahnya sendiri . "Aku ingin americano, by the way."
"Aiyaa, aku lebih suka teh daripada kopi ...," kata Yao.
"Menu teh juga ada. Mau?" tawar Arthur.
"Boleh, aru!"
Arthur menoleh pada Ivan. "Kau ingin apa?"
"Vodka–"
"–tidak ada minuman berakohol di sini."
"Kalau begitu latte saja."
"Baiklah, aku akan kembali dalam beberapa menit." Arthur pun bangkit berdiri dan pergi menyiapkan pesanan mereka. Sambil menunggu, Alfred dan Yao membuat video tik tok dan Ivan bermain tetris di konsol.
Setelah beberapa menit, Arthur kembali dengan nampan di tangan. Di atasnya terdapat secangkir americano, latte, dan teh chamomile. Ia menaruh cangkir-cangkir itu di atas meja.
"Hmm! It's so good!" pekik Alfred setelah menyeruput kopinya.
Yao menyeruput tehnya. "Enak, aru. Tapi tidak seenak buatanku." Ia menggumamkan kalimat terakhirnya.
"Aku ingin vodka," gumam Ivan, tapi ia tetap meminum latte-nya.
"Jadi bagaimana? Apa kalian menikmatinya?" Ketiga temannya itu mengangguk sambil masih meminum minuman masing-masing. Arthur tersenyum bangga.
"Aku masih ada menu spesial. Apa kalian mau?"
"Sure, dude!"
"Boleh saja, aru."
"Apa itu vodka?"
"Sudah kubilang tidak ada minuman berakohol!"
Arthur pun pergi lagi ke dapur, lalu kembali sambil membawa sebuah piring berisi makanan. Ia menaruhnya di meja. "Ini adalah scone Inggris buatanku. Silakan dimakan."
Makanan yang Arthur sebut scone itu ... tidak terlihat seperti makanan. Teksturnya keras dan permukaannya gosong. Baunya juga tidak menggugah selera. Entah itu makanan manusia atau bukan.
"Eww, that's gross! Is it even human food?" Alfred memandang jijik makanan di depannya.
"Of course, it bloody is!" kesal Arthur.
"Kalau kalian tidak makan ini, aku akan menagih minuman kalian! Asal kalian tahu, menu di sini harganya mahal!""Aiyaa! Kau curang!" protes Yao tak terima.
"Heh, terserah aku! Aku bosnya di sini!" Arthur menyeringai jahat.
"Whatever, dude. I'll pay instead–" Alfred membuka dompetnya, dan hanya mendapati seekor kupu-kupu keluar dari sana. Kosong, tidak ada uang sepeser pun. Alfred baru ingat, ia sudah menghabiskan uangnya untuk jajan di McD. Sekarang dia bokek.
Alfred menepuk pundak pemuda asal Cina di sampingnya. "Hey, dude. Boleh traktir aku dulu? Nanti aku ganti!"
"Tidak mau, aru! Kau pikir uang tumbuh dari pohon?!" tolak Yao. Alfred cemberut. 'Dasar orang tua pelit!'
"Kenyataanya, kertas memang berasal dari pohon, jadi tidak salah menyebut uang itu tumbuh dari pohon," timpal Ivan sambil masih menyeruput minumannya.
"Terserah, aru! Pokoknya aku tidak akan membayar apapun!" Yao terus menolak mengeluarkan uang sepeser pun. Dia juga tak terima ditipu oleh Arthur seperti ini.
"Kalau kau tidak mau bayar ...." Arthur mendorong scone itu mendekati mereka. "... maka kau harus habiskan ini!"
Karena tak mau rugi, Yao langsung menyetujuinya. Alfred tak memiliki pilihan lain karena dia tidak punya uang dan tidak bisa meminjam uang pada siapapun, kecuali ....
"Maaf Arthur, tapi aku akan membayarnya." Ivan tersenyum sambil mengeluarkan dompetnya yang berisi banyak uang kertas berwarna merah. "Katakan saja berapa harganya, да?"
"Ivan, dude! Terima ka–"
"Kalian bayar sendiri, да?" tanya Ivan yang lebih terdengar seperti perintah. Alfred yang awalnya pede akan ditraktir langsung pundung seketika.
"Silakan kalian berdua, habiskan!" Pria Inggris kembali memasang seringai.
Alfred dan Yao masing-masing mengambil satu buah scone. Mereka menelan ludah terlebih dahulu dan berdoa agar diberi keselamatan. Lalu mereka pun mulai memakan makanan asing itu.
Tak berapa lama, lidah mereka mati rasa dan keduanya pingsan.
"Kamu memberikannya karena kurang laku, да?" tanya Ivan dengan senyum polos tak berdosa.
"J-jangan bicara begitu, dong!" Arthur pundung.
Akhirnya hanya Ivan dan Arthur yang mengerjakan tugas dari Pak Budi, sedangkan nama Alfred dan Yao dicoret dari kelompok.
Sementara itu, di tempat lain ....
Budi sedang membereskan barang-barangnya dan hendak pulang menuju rumah. Namun, ia merasa ada seseorang yang memanggilnya. Ia celingak-celinguk mencari sang pemilik suara, tapi tak menemukan siapa-siapa.
Sampai akhirnya sang pemilik suara menepuk pundak Budi. Sekarang Budi dapat melihatnya dengan jelas.
"Oh, Alfred?"
"M-maaf. Tapi saya Matthew, Pak ...," gumam pemuda asal Kanada itu.
Budi tertawa malu. "Oh, m-maaf! Kamu mirip sekali dengan Alfred, sih!"
Matthew tersenyum. "Tidak apa-apa. Saya sudah biasa ...," gumamnya lagi.
"Jadi, ada apa?" tanya Budi tanpa basa-basi. Sekarang ini ia ingin cepat pulang dan rebahan di kasur.
Matthew berkata dengan suara pelan, "A-anu, m-maaf, Pak. Tapi bisakah saya mengerjakan tugas kelompok yang bapak berikan... sendirian saja ....?"
Budi menaruh tas ranselnya di punggung. "Kenapa? Kamu belum dapat kelompok?"
"S-Sudah. Tapi sepertinya mereka lupa dengan saya ...."
"Oh. Ya sudah, Alfred. Kamu boleh kerjakan sendiri."
"... m-maaf, Pak. Saya Matthew ...."
A/N:
Yes, author balik lagi setelah setengah tahun lebih gak ada kabarAku bakal usahain buat sering update cerita ini~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Internasional Hetalia
Fanfic"Pak Budi yakin mau mengajar di sini?" "Saya yakin, Bu! Saya akan mengajar dengan sepenuh hati!" "Dari ketiga guru yang pernah mengajar di sini, tidak ada satupun yang bertahan lebih dari satu bulan, lho. Dua diantaranya terkena depresi, dan satu la...