@dearlyminhee
keyword: angst, romance, battle royale au
“Yunseong, andai—andai saja nanti hanya tinggal kita berdua, aku punya permintaan.”
“Kau harus membunuhku.” Setelahnya, Minhee tersenyum getir, “Aku sudah tidak punya siapapun untuk pulang. Pemerintah membunuh keluargaku. Tapi kau, Yunseong, kau masih punya rumah. Kau masih bisa pulang.”
Itu, yang mereka katakan enam jam sebelumnya.
Ada begitu banyak hal yang terjadi. Beberapa hari yang lalu, semuanya masih baik-baik saja. Karyawisata bersama teman sekelas ke Pulau Jeju begitu menyenangkan. Mereka masih berada di dalam bis karyawisata bersama teman-teman sekelas. Mereka masih berbincang mengenai masa depan. Yunseong masih bergurau, berkata bahwa Minhee yang tertidur dengan bibir mengerucut itu lucu. Setelah itu, semuanya tertidur dan kabur. Yang keduanya ingat adalah saat mereka terbangun, mereka sudah berada di dalam suatu bangunan, di sebuah pulau asing. Seorang pria berpakaian militer berdiri di depan mereka semua, mengucapkan selamat bahwa kelas mereka terpilih sebagai kelas kehormatan yang akan melaksanakan program eksperimen pemerintah. Peraturannya sederhana. Mereka hanya harus membunuh satu sama lain hingga hanya ada satu orang yang tersisa. Tidak boleh ada yang mencoba kabur atau kalung besi di leher mereka akan meledak. Mereka terperangkap untuk mati dan pemerintah pun tak akan peduli.
Saat instruktur berkata bahwa keluarganya sudah tewas karena menentang perintah pemerintah, kedua lutut Minhee seakan melemas.
Ia tidak diberi waktu untuk mencerna. Tidak sama sekali. Saat nomor absen dan namanya dipanggil, Minhee hanya menyeret kakinya melangkah bak tubuh tak bernyawa saat menerima tas dan pergi. Berlari pun tak sanggup. Ke mana? Kepada siapa? Bukannya seharusnya ia diam saja dan menunggu siapapun menghabisinya, ya? Sayangnya, takdir tidak memperkenankannya. Yunseong bertemu dengan Minhee beberapa jam kemudian, pemuda itu menggenggam erat tangannya dan menuntunnya untuk berjuang. Melarikan diri dari teman-teman sekelas yang mendadak berubah haus darah. Sesekali mereka melepaskan beberapa tembakan senjata api untuk melindungi diri. Minhee menulikan diri setiap kali pengumuman korban-korban tewas berkumandang di udara. Terus melarikan diri dan bertahan hidup hingga para peserta hanya tersisa mereka berdua. Tepat, enam jam setelah Minhee membisikkan sebuah wasiat, pengumuman mengatakan bahwa hanya tersisa mereka berdua.
Minhee dengan luka-lukanya. Yunseong yang bahunya masih berdarah. Jika mereka tidak segera bertempur, kalung besi di leher yang sedari tadi mulai bip bip bip berisik itu akan meledak dan tidak akan ada pemenang. Hanya ada satu dari mereka yang dapat pulang, dan itu sudah pasti hanya Yunseong. Pemuda itu masih punya keluarga, masih punya masa depan yang cerah dan orang-orang yang menyayanginya. Sementara Minhee sendiri? Ia pulang pun tak akan ada yang menyambutnya di pintu depan.
Pistol di tangannya ia buang jauh. Minhee berlutut seraya memejamkan mata, menyerah, menunggu Yunseong untuk menembak kepalanya. Sesuai dengan wasiatnya. Ia memutuskan untuk menyerah. Lima menit ia memejamkan mata, tidak ada apapun kecuali bunyi kalung leher. Perlahan, Minhee membuka matanya, termangu menyaksikan Yunseong juga membuang senapannya jauh seraya berlutut di hadapannya. Perlahan, jemari Yunseong yang begitu dingin menyapu kedua pipinya, lembut, penuh kasih sayang.
“Pulang ke mana?” Yunseong tersenyum. “Orang rumahku di sini.”
Mendengar hal itu membuat Minhee mendengus.
“... yang bener aja.”
Karena semenjak ia mencintai Yunseong, ia tahu bahwa cintanya hanyalah akan terbalas di angan-angan. Yunseong menganggapnya tak lebih dari seorang sahabat baik. Tak lebih dari seorang teman sekelas yang nyaman saat diajak berbicara. Tak lebih dari itu. Minhee tidak bisa membawa dirinya untuk berharap, tidak di saat ada begitu banyak orang yang memuja Yunseong sepertinya. Seluruhnya gadis-gadis cantik. Sementara ia laki-laki. Cintanya tak mungkin berbalas dan Minhee sudah merelakan itu.
Seharusnya.
Tetapi kenapa—kenapa bisa?
“Serius.” Yunseong menjawab seraya tersenyum simpul. “Kamu inget enggak, puisi cinta yang ada di loker kamu waktu hari Valentine kemarin?”
“Inget. Yang sama coklat itu, bukan?”
“Iya.” Pemuda itu menjawab seraya mengangguk mantap, “Itu sebenernya, puisi buatanku. Coklatnya beli sih tapi.”
Kedua matanya mengerjap. Minhee tidak pernah menduga sebelumnya. Yunseong tidak tampak seperti orang yang akan memberikan seseorang cokelat Valentine ataupun menulis puisi. Seberapa banyak hal yang belum ia ketahui tentang Yunseong? Realitanya sekalipun mereka telah berteman lama, Minhee tetap belum bisa mengenal segala sisi Yunseong. Baru kemarin di arena kematian ini, ia tahu bahwa Yunseong susah terbangun, alergi terhadap serangga tertentu, dan seterusnya. Pemuda itu bagai bawang—tiap kali kau buka sebuah lapisan, akan selalu ada lapisan yang baru terlihat. Akan selalu ada hal-hal yang mengejutkannya.
“Coba bilang lebih awal, Seong. Jadi aku bisa bales pas White Day.”
Setelah menjawab demikian, Minhee tertawa getir. Tawa yang perlahan berubah menjadi isak tangis.
Coba Yunseong bilang lebih awal.
Mungkin, dirinya dan Yunseong akan dapat menyatu menjadi ‘kita’.
Minhee dapat tersenyum lebih lebar. Minhee dapat melonjak kegirangan. Minhee tidak harus menangis seperti ini. Menangisi perih yang terus menjalar di sekujur tubuhnya yang terluka. Menangisi kalung di leher yang terus berbunyi bip bip bip memekakkan telinga, mengingatkan akan nyawanya yang tinggal menghitung detik. Menangisi tiap angan-angan yang tidak akan pernah dapat terwujud. Andai saja—andai saja Minhee dan Yunseong bukan seorang pengecut. Andai saja saat itu ia memberanikan diri menyatakan cintanya. Andai saja saat itu ia lebih mendekatkan diri. Andai saja—andai saja mereka masih punya waktu. Andai saja waktu dapat berhenti, atau berulang, atau kembali ke masa yang jauh. Saat Minhee dan Yunseong baru saling mengenal. Saat hidup mereka berdua masih baik-baik saja. Saat mereka belum terjebak di sini. Dadanya sesak tatkala menyadari ada begitu banyak waktu yang mereka berdua sia-siakan akibat kepengecutan sendiri. Air mata terus mengalir dari kedua pipi Minhee, tak dapat berhenti, tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti.
Hingga ia merasakan bahwa kedua tangannya digenggam erat. Matanya yang masih berkaca-kaca menatap lurus. Menatap Yunseong yang menggenggam tangannya erat. Tangan pemuda itu turut dingin dan gemetar. Kedua matanya pun juga turut berkaca-kaca. Yunseong juga ketakutan, sama seperti Minhee. Takut akan waktu yang semakin menipis. Takut akan malaikat maut yang telah membayang-bayangi mereka berdua, sosok yang masih bertahan, sosok yang ajalnya sebentar lagi akan tiba.
Sebentar lagi. Saat kalung besi di leher mereka meledak.
Genggaman itu pun turut dibalas Minhee. Sudut-sudut bibirnya kaku, tetapi ia masih memaksakan diri untuk tersenyum. Meyakinkan Yunseong bahwa ia baik-baik saja. Tidak sempat lagi berucap, pun tidak sanggup lagi memikirkan kata-kata selain penyesalan. Tidak selagi bunyi bip bip bip itu semakin mengeras.
Dan bunyi itu berubah menjadi biiiiip panjang nan memekakkan telinga.
Dan terdengar ledakan bersamaan dengan nyeri teramat yang mengoyak lehernya.
Sebelum nyawanya pergi, sayup-sayup ia melihat Yunseong yang kalungnya juga meledak. Kedua matanya tertutup. Bibirnya tersenyum, damai, bahagia.
_________________
nama: Rin
username twitter : dearlyminhee
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTOLOGI ORION || HWANGMINI
Fanfictionᴅɪɴɢᴅᴇᴜʟꜰᴇꜱꜱ ꜱʜᴏʀᴛꜰɪᴄ ᴄʜᴀʟʟᴇɴɢᴇ #ꜱᴇᴀꜱᴏɴ01 Selamat Datang di book pertama project Hwangmini Shortfic Challenge. Terimakasih untuk yang sudah ikut berpartisipasi. Selamat membaca 🤗 Regards, Admins 🧡