Dia.

22 2 0
                                    

'Dia yang hanya dengan tatapan matanya saja mampu membuatku terpaku. ~ Niki candra.

'Siapa gadis ini. Sorot matanya tajam namun penuh kesedihan. Dan entah kenapa hatiku tergerak untuk merengkuhnya. ~ Dirga.

***

Aku berlari menembus derasnya hujan dan melawan dinginnya angin yang secara tiba tiba menyerang tubuhku yang basah kuyup. Kakiku melangkah berlari di bawah guyuran air hujan yang dengan senang hati membasahi tubuhku. Aku ingin berteriak sekuat dan sekeras yang aku bisa.

"Devan sialan." Maki ku di antara hujan.

"Aduh." Keluhku ketika aku menabrak sesuatu yang keras. Lalu mataku melihat kebawah dan menangkap sepasang sepatu fantovel hitam. Terus ku ikuti hingga ku melihat, melihat wajah tampan nan rupawan dengan sepasang bola mata biru yang terkesan dingin dan menenangkan,,tatapannya tajam seakan pedang yang siap menghunus. Seonggok daging yang berdiri angkuh didepanku.

"Pergi dari jalanku"

Suara berat entah mengapa seperti melodi ditelingaku. Dadaku berdebar, debaran apa yang tengah ku rasakan ini. Seakan dia adalah magnet yang menarikku mendekat. Harus kah ku pergi atau tetap maju seraya memandangnya. Namun sekarang yang aku inginkan adalah terus melihatnya. Lagi lagi dia mengintrupsi agar aku menyingkir dari jalannya. Dia berteriak kepadaku membuatku tersadar.

"Apa kau tuli ?. Menyingkirlah." Bentaknya mengagetkanku dari pikiran pikiran yang membayangiku. Aku memberinya ajalan sambil menggerutu.

"Bisa kau pelankan suaramu dan perlu kau tahu, aku tidak tuli. Bisa kau lihatkan jalanan di sini masih luas." Jawabku ketus. Rasa kagumku akan penampakan fisiknya seketika menguap.

Kini hujan semakin mengguyurku dengan deras. Rasa sakit barusan tersingkir oleh rasa jengkel karena pria eh seonggok daging yang angkuh itu. Aku meninggalkannya begitu saja  saat dia akan membuka mulutnya.

"Hei aku belum selesai bicara." Begitu teriaknya memanggilku. Tapi aku adalah Niki candra yang tak peduli dengan hal yang akan membuatku tak enak.

Aku berjalan pulang membawa sesak di dadaku. Aku bersyukur tuhan masih berbaik hati padaku.

Aku mengetuk pintu dan mama membukaknya. Eh ku kira mama ternyata papa.
"Papa?"

"Kenapa baru pulang ? Mana basah begini. Ayo cepat masuk nanti kamu sakit."

Aku meringis seakan tak punya dosa. "Maaf pa tadi ada urusan sedikit."

"Yayaya.. ayo masuk nanti kau kedinginan lalu sakit."

Aku bercanda sedikit dengan papa lalu masuk kamar dan mandi. Saat aku menggosok rambutku, aku teringat ponselku yang masih ada di tas. Dan tasku basah. Ponselku tenggelam dalam kebasahan itu.

Terdengar papa berteriak dari bawah.
"NIKI TURUN MAKANLAH."

Papaku seseorang yang paling perhatian di dunia setelah mama. Aku bergegas turun.

"Pa jangan berteriak."
"Biarkan. Biar princess kita turun."

Aku bergegas turun.
"Aku disini. Ada apa pa?."

"Kita akan makan malam dengan keluarga rekan bisnis papa malam ini." Aku menaikkan alisku sebagai tanda aku bertanya.

"Jangan seperti itu,, segera siap siap." Papa memutar tubuhku dan mendorongku naik lagi kekamar.

"Oky oky. Jangan dorong-dorong doong. Nanti kal-"

"Kelamaan."

Kulihat mama tertawa sambil menggendong adik bayiku. Uuh gemoy.

Singkatnya aku selesai dan kami berangkat. Aku dengan dress sepanjang mata kaki dan lengan yang panjang sepergelangan tangan berwarna biru tua. Rambut ku kuncir kuda seluruhnya. Tak lupa jaket denim kesayanganku yang ku beli dengan gaji pertamaku.

Papa dan mama bercengkrama dengan sepasang suami istri rekan bisnis papa. Dan aku? manjaga adik gemoy.

"Selamat malam,, maaf saya terlambat." Suara berat yang familiar di telingaku.

Deg

Ya, pria tadi yang ku tabrak dan pria yang ku sebut seonggok daging.

"Itu sudah kebiasaanmu kan." Ucap rekan bisnis papa yang ku tau dari perbincangan kami saat di mobil namanya Om Arwan. "Oh iya kenalkan ini putra semata wayang kami namanya Dirga."

Aku duduk diam di kursiku dan tak peduli dengan apa yang hendak dia katakan. Papa menyenggol lenganku untuk memperingatiku bahwa ada tangan yang terulur di depanku. Aku pun menyahut tangan itu.
"Niki." Kataku singkat.

Setelah itu aku kembali duduk dan bermain dengan adikku Elvano. Entahlah aku tak memperdulikannya. Saat makan malam itu aku tak banyak bicara, fisik hatiku lelah untuk semua yabg terjadi hari ini. Pukul 22.00 kami sampai di rumah. Dengan gontai aku naik menuju kamarku di lantai dua.

"Nik, kamu kenapa?? Ada masalah." Tanya mama khawatir.

Aku pun tersenyum dan menjawab "Tidak mah. Hari ini sangat melelahkan untuk Niki."

Bibi datang dengan terburu buru.
"Mbak niki, ada mas devan."

"Suruh dia pergi." Ucapku spontan masih dengan nada biasa tapi serius.

"Tapi mbak.."

"Katakan aku capek."

Bibi Ria menatap mama dan mama hanya menghendikkan bahunya. Aku masuk ke kamar dan menutup pintu  aku berjalan menuju jendela dan melihatnya yang kebetulan menatap ke kaca kamarku. Dia menatapku dan aku pun melihatnya, tangan kananku menarik tirai. Mungkin dia terkejut, tapi aku tidak peduli.

"Niki hari ini sudah cukup. Hati, pikiran dan tubuhmu butuh istirahat. Memikirkam sesuatu yang tak berguna itu seperti menunggu chat centang dua abu abu yang tak kunjung membiru. Penuh dengan ke tidak pastian."

****

7 desember 2016.

Aku berangkat pagi sekali. Karna kemarin aku belum menyelesaikan pekerjaanku yang bila mana harus dipakai hari ini.

"Loh mbak Niki udah mau berangkat aja. Bibi belum selesai masaknya loh."

"Iya bi. Niki sarapan di kantor aja. Nanti bilang sama papa dan mama ya. Bilang Niki pamit berangkat."

"Siap mbak niki."

Aku memberi salam pada bibi langsung menaiki mobil membelah jalan raya kota bandung.  Beberapa kali lampu merah, pagi ini lampu merah begitu banyak. Selalu seperti ini ketika kita sedang buru buru, ya kan?. Telfonku berbunyi.

"Untung aku pakek airpods." Gumamku. "Hallo pak."
"Kamu sudah berangkat."
"Sudah pak. Ini masih kejebak lampu merah."
"Sudah sarapan belom."
"Belum lah pak. Tumben nanyak, wkwkwk."
"Wkwkwk?? Kamu bebek ya." Setelah mengatakan itu dia tertawa. "Ayah.. malah ngeledek sekertarisnya lagi." Itu suara ibu bos. Dia baik loh, aku akrab dengannya. Beberapa kali bertemu secara pribadi, di sengaja dan tidak.
"Iya iya bun. Eh Niki,"
"Iya."
"Ibu bawain sarapan ya." Teriak ibu bos, dari jauh mungkin.
"Pak katakan sama ibu. Boleh yang banyak. Hihihi."
"Makanan aja cepet. Proposal kamu cepet kerjain, mau di pakek nanti."
"Siapa kemarin yang nyuruh saya pulang hayoo." Aku cemberut. Kalau sudah teriak menakutkan oii. Dasar bapak bapak kepala empat.
"Ya udah iya. Berangkat sana, ati ati dijalan."
"Oye pak bos."

Lampu hijau baru saja menyala tapi..

TINT
TINT
TINT.

Bunyi klakson dari kendaraan" ini membuatku pusing padahal ini masih pagi looh. Saat aku melajukan mobil ku ada truk gandeng yang tiba tiba masuk kelintasan jalan raya.

Brak.

Rain In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang