Perjodohan.

14 1 0
                                    


Setelah semua orang pulang. Aku membicarakan semuanya dengan papa dan mama. Elvaro telah tertidur di kamarnya.

"Jelaskan!."

"Papa menjodohkanmu dengan Dirga.  Keputusan final papa." Ucap tegas papa yang jelas ku tolak mentah mentah. Aku melihat mama, tapi mama hanya menggeleng.

"Kenapa tidak membicarakannya dengan Niki?. Niki punya hak dalam mengambil keputusan. Ini hidup Niki, dan yang menjalaninya adalah Niki."

"Karna papa tau kamu akan menolak. Kamu tau mamamu terluka karena omongan tetangga. Merek mengatakan kamu kelainan seks menyimpang, tak laku, perawan tua. Dan..." Papa diam tak melanjutnya. Lalu saling memandang dengan mama.

"Dan? Apa?."

"Wanita malam."

Deg.

Apa salahnya? Aku belum menikah di umurku yang 25. Aku yang tak pernah peduli perkataan tetangga, tapi mama yang menjadi pendengar mereka.
"Ma.."

"Mama tau kamu anak baik. Mama tau kamu tidak seperti yang mereka tuduhkan. Tapi jujur mama terluka dengan yang mereka katakan." Ucap mama sambil mengelus surai rambutku.  "Perkataan mereka menjadi jauh lebih parah saat nak Devan menemuimu malam-malam dan diantar oleh bosmu waktu itu."

Sejahat itu mereka melukai hati seorang ibu. Ku peluk mama.

"Maafin Niki mah." Mama hanya menggeleng dengan senyum yang melengkung di bibirnya. Akhirnya aku memutuskan menerimanya.

Aku akan berusaha menyakinkan hatiku untuk mencintai lelaki angkuh bernama Dirga. Yaa lelaki yang dari pertama bertemu sudah ku labeli sebagai lelaki angkuh. Untuk sekarang demikian tapi tidak tau nanti.

*****

Kembali ke masa sekarang.
Surabaya, 31 oktober 2020.

"Boleh ku lanjut di pertemuan selanjutnya?." Tanyaku sambil memiringkan kepalaku. Dr. Roy terkekeh pelan, lalu mengangguk.

"Boleh."

Aku bersiap pergi membereskan barangku. "Sudah pukul 11 malam. Mau ku antar."

"Ti-,"

"Ayoo." Ucapnya tegas tak bisa ku bantah. Akhirnya aku mengangguk.

Jadwal konsultasiku adalah satu minggu 2 kali. Rabu dan sabtu. Dia menawariku makan malam, ingin ku tolak tapi rasanya tak tega.

"Jam segini adikku sudah tidur. Aku tidak suka makan sendirian."

Yaah,, aku yang pada dasarnya selalu tak enakan. Memutuskan menerima ajakannya.

Roy Danendra syaputra. Seorang dokter psikeater, usia 31 tahun. Itu yang ku tau dari perbincangan kami. Hidungnya mancung, bulu mata yang menurutku lebih cantik dari milikku. Dia memakai kacamata kotak berfrem hitam, dengan rambut hitam panjang, dan satu hal lagi yaitu lesung pipinya. Jangan dalam.

Beberapa hari berikutnya tepat di pertemuan kedua kami. Surabaya, 4 November 2020.

"Selamat sore." Sapanya padaku dengan senyum manisnya.
"Sore. Dokter Roy."
"Silahkan duduk. Mau teh?."
"Emm teh.. tanpa gula."
"Okay."

Aku memposisikan dudukku agar nyaman sampai 5 jam kedepan. Tak lama dokter Roy datang dengan dua gelas teh hangat. Pas dengan cuaca hujan yang masih mengguyur kota Surabaya.

"Bagaimana mau berbincang dulu atau langsung bercerita?." Tanya nya memastikan.

"Berbincang dulu. Bagaimana?." Tanyaku ragu. Dia pun mengangguk. "Apa ada cerita hari ini atau hari lalu?."
"Aku menemukan kucing di jalan raya. Bulunya lebat, bulu bergoyang seperti aurora. Indah dan memikat."
"Lalu? Kamu mengadopsinya?." Tanyanya memastikan.

Aku mengangguk antusias. "Ku namai dia, Keno. Lucu kan. Hahhaha.. pagi ini ada burung yang mengetuk jendela kamarku. Burung dengan surai yang panjang, sangat indah."

"Aku juga. Pagi ini ada burung yang terpleset di jalan raya. Lalu tersiram air genangan." Dia tertawa. Apa yang lucu?.

Tapi aku tertawa bukan karena ceritanya, namun karena tawanya yang menular.

"Garing ya. Maaf.."

"Tidak papa. Bagaimana istri anda?." Tanya ku sebagai basa basi.
"Aku belum menikah, jangankan menikah. Pasangan saja tidak punya. Aku terlalu sibuk mendengarkan cerita orang lain.. oh iyaa aku ingin mendengar kelanjutan ceritamu. Bisa bercerita sekarang?."

"Oh baiklah. Sampai mana kemarin?."

"Sampai kamu menyetujuhi perjodohanmu dengan Dirga."

"Baiklah kita mulai 2 hari kemudian. Tepatnya 11 desember 2016."

****

11 Desember 2016.

Entah apa yang ada di fikirannya. Pagi buta dia datang kerumahku dengan pakaian olahraganya lengkap dengan dua handuk kecil berwarna ungu dan biru. Pukul 5 pagi di hari weekend dia membangunkanku yang tengah tertidur nyenyak di dalam selimut tebal nan hangat milikku.

"Oh Tuhan. Kau.. apa yang kau lakukan di sini hah??. Di pagi buta seperti ini?."

Dia mengangkat handuk kecil di kedua tangannya.
"Olahraga sayang."

"Kau.. aku tau aku gemuk. Tapi aku sama sekali tidak suka olahraga, asal kau tau."

"I don't care, dear. Cepat bersiaplah, jangan lupa mandi yaa.. ♡,"

Dia mendorongku masuk kedalam kamar mandiku. Iya kamar mandiku,, berarti dia ada di dalam kamarku. Mama menyuruhnya masuk kamarku untuk membangunkankuu.
"Iya iyaa.. sabar lah sedikit."

Dan akhirnya aku pun mandi dan bersiap dengan baju olahraga yang sudah ku beli sejak masa kuliahku 1 tahun lalu. Karena ada event pertandingan voli antar fakultas dan aku dipaksa untuk itu.

45 menit aku bersiap. Saat aku turun tampaknya papa sedang menggendong Elvaro sambil berbincang dengan calon menantunya. Eh ups!.

"Pagi pa. Pagi El." Ku menciumi pipi gembil makhluk kecil itu dengan gemas. Dia tertawa. Lucu sekalii.

"Pagi juga. Nak Dirga tidak di sapa sekalian." Ucap papa yang terdengar menyindir di telingaku.

"Pagi Dirga."

"Pagi juga, dear. Ayo kita berangkat." Jawabnya.

Cukup jauh tujuan kami. Kota udang. Tepatnya tujuan kami alun-alun kota Sidoarjo. "Kenapa harus ke sini?. Di Surabaya juga ada."

"Aku ingin saja." Jawabnya singkat yang sukses membuatku cengo. Dan sesekali mengumpat..

Dia memimpin pemanasan. Dilanjutkan lari kecil di tempat lalu jogging. Hanya 10 menit berlari, nafasku sudah tersengkal sengkal.
"Hey chubby. Ayoo, kemoon."

"Kemon-kemon Matamu. Haah?." Ucapku sarkas.

Dia datang padaku dan
Plak
"Aw. Sialan." Pekikku kaget saat Dia memukul pelan jidatku.

"Ini mulut kasar sekali sih. Pinginku gigit." Ucapnya sambil menatapku. Tatapannya tajam seperti melihat mangsanya.

"Mesum." Aku pun berlari meninggalkannya. Tapi dia mengejarku, cepat sekali dia larinya. "Aaa jangan mengajarkuuuuuuu."

Dia terus saja mengejarku. Aku pun terpaksa lari kencang hingga aku kelelahan. 7 menit kemudian.
"Ku adukan kamu sama papaku. Papa, Dirga jahat."
"Yang larikan kamu."
"Tapi kan yang ngejar kamu."
"Ah yaudah iya."

Dia berjongkok di depanku dan membelakangiku. "Mo ngapain?."
"Naik kepunggungku."
"Kamu mengejekku yaa. Aku itu berat."
"Nggak kok sayang. Ayoo sini aku kuat kok."
"Beneran ya. Awas aja kalau aku sampek jatuh, aku gak mau ngomong sama kamu."
"Iya iya ayoo."

Aku pun menaiki punggungnya. Mengalungkan tanganku pada lehernya. Tarnyata dia kuat menggendongku hingga parkiran, dapat ku dengar bisik-bisik dari yang sweet hingga yang kritik. Salah satunya yang kuingat.
"Dasar gak sadar diri sama bentuk tubuh."

Lalu Dirga marah.
"Emang situ oke. Badan lurus rata kayak papan tulis hitam. Gini-gini calon istri idaman,, emang situ idaman??."

Jelas aku menahan tawaku. Tapi akhirnya terlepas juga. Aku tertawa terbahak bahak.

Rain In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang