Extra Chapter : Tak lagi sama

45.2K 4.9K 3.7K
                                    

Pindah ke rumah yang lebih besar nggak selamanya lebih menyenangkan. Lebih bikin capek baru iya.

Entah, ini efek tinggal serumah bertahun-tahun bareng Renjun atau emang kepribadian yang tumbuh sebagai seorang ibu, gua jadi suka bersih-bersih rumah. Selalu gak tahan lihat rumah berantakan.

Nggak pagi, nggak siang, nggak malam, gua pasti sibuk banget. Meskipun dirumah aja tapi gua yakin gua lebih capek daripada Renjun yang kerja setiap hari.

Seperti sekarang, udah jam setengah delapan malam gua masih harus ribet di dapur buat siapin makan malam. Nyuci beberapa peralatan masak yang selesai digunakan dan bikin teh herbal buat Renjun minum sepulang kerja nanti.

Tapi, tentu saja yang gua lakukan nggak semulus yang tertulis di kalimat tersebut. Di tengah sibuknya ngupas kentang, gua mendengar suara tangisan dari salah satu kamar di rumah ini.

Menghela napas, gua meletakkan pisau dan mematikan kompor buat ngecek ada apa disana.

Beberapa detik setelah membuka pintu gua lihat anak laki-laki gua nangis dan langsung lari melu kaki gua. "Ibu, jiejie matahin stik drum Junjun!" Adunya dengan suara merancau karena dia masih nangis. (Jiejie = kakak cewek)

Gua gendong Junjun yang lagi nangis kemudian jalan menuju ke arah anak perempuan yang kini sibuk mewarnai. Anak perempuan gua sepanjang hari cuman tau mewarnai, belajar baca tulis mandarin dan belajar berhitung. Dia udah hapal semua huruf alpabet di usianya yang ke tiga tahun ini. Sedikit berbeda dengan Junjun yang cuman mau main, main dan main.

"Bener, Jiejie patahin stik drumnya Junjun?"

"Junjun berisik Ibu, Nana kan lagi belajar." Ucapnya dengan raut takut tapi tetap membela diri. Melihat mata lebarnya yang menyiratkan rasa bersalah sekaligus perasaan kesal, gua gemes sendiri.

"Jiejie minta maaf ke Junjun."

"不要" (buyao = tidak mau.) Dengan kedua tangan berkacak pinggang, Nana menggeleng.

"Kenapa?"

"Adek yang salah. Kenapa kakak yang minta maaf?"

"Yaudah, Junjun minta maaf ke Nana Jiejie."

"不要." Junjun menggeleng dengan tegas juga. Pipinya yang kelihatan kayak bakpao dan sedikit kemerahan karena anak itu sekarang lagi marah bikin gua nggak tahan buat nggak gigit benda empuk itu.

"Sekarang apa? Kamu yang nakal. Kamu yang berisik padahal tau kalau Kakak lagi belajar."

Junjun yang tadi udah berhenti nangis sekarang nangis lagi. Huft, jadi ibu dari anak kembar memang sangat melelahkan. Terlebih Nana dan Junjun punya sikap yang bertolak belakang. Nana lebih mirip Ayahnya sementara Junjun sangat berkebalikan. Mau gimanapun, setiap hari yang gua denger hanyalah suara ribut Nana dan Junjun. Yang satu belajar berhitung yang satu main drum. Yang satu sibuk mewarnai yang satu sibuk memainkan tuts tuts piano. Super melelahkan.

Pintu rumah kami terbuka. Gua keluar sedikit dari kamar kedua anak ini untuk melihat siapa yang datang walau sebenarnya udah tau kalau itu Renjun. Ngelihat gua kewalahan dia senyum kemudian jalan menuju kamar anak kembar kita.

"Ayah!! Ibu marahin kita." Junjun merentangkan kedua tangannya minta digendong Renjun padahal udah gua gendong. Renjun dengan senyuman sok baik yang mencuri hati anak-anak langsung ambil Junjun dari gendongan gua.

"Iya, yah. Ibu galak." Nana yang tadi diam nggak berkutik di depan buku gambarnya lari meluk kaki Renjun. Dua anak itu sekarang udah ada di gendongan Ayahnya.

"Jangan salahin Ibu kalo ibu cepet tua karena kalian. Udah main sama Ayah. Ibu masak dulu." Gua keluar dari ruangan ini. Membiarkan dua anak itu dilerai sama Ayahnya.

When I Love You | Renjun [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang