Chapter 8

5.2K 182 5
                                    

💋

Saat ini, Arnold sudah bersiap dengan pakaian kantornya, rapi dalam setelan jas berwarna abu-abu. Hari ini menandakan berakhirnya masa cuti kerjanya setelah pernikahan beberapa hari yang lalu. Ia melirik sekilas bayangan dirinya di cermin, memastikan semuanya tampak sempurna sebelum menuruni tangga untuk sarapan.

"Aku tunggu di bawah," ucap Mita, singkat, tanpa memberikan kesempatan Arnold untuk menanggapi. Wanita itu langsung membalikkan badan dan berjalan keluar kamar.

Sejak peristiwa canggung saat Arnold mengecup sudut bibirnya, Mita merasa ada jarak yang terbentuk. Meskipun mereka telah resmi menjadi suami istri, perasaan aneh yang muncul setelah kejadian itu membuatnya sedikit menjaga jarak dari Arnold. Namun, Arnold tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu; ia selalu menyimpan perasaan dan pikirannya rapat-rapat.

Saat semuanya sudah siap, Arnold mengambil tas kerjanya yang berisi laptop dan dokumen-dokumen penting. Dengan langkah tenang, ia menuruni tangga, berniat bergabung dengan Mita untuk sarapan bersama.

Di meja makan, hanya terdengar suara dentingan sendok yang menyentuh piring, mengisi keheningan di antara mereka berdua. Meski duduk saling berhadapan, baik Arnold maupun Mita tak ada yang mencoba memecah kebisuan dengan memulai percakapan.

Namun, setelah selesai makan, Mita akhirnya memberanikan diri. "Arnold," panggilnya, suaranya terdengar ragu.

Arnold mendongak, alisnya terangkat sedikit, menunggu kelanjutan dari ucapan istrinya.

Mita menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Bolehkah aku kembali bekerja?"

Ia ingat pesan kakeknya agar selalu meminta izin kepada suaminya sebelum mengambil keputusan besar, dan kali ini ia ingin memastikan Arnold setuju. Mita merindukan pekerjaannya sebagai dosen dan suasana kampus yang sudah lama ia tinggalkan.

Arnold terdiam sejenak, tampak berpikir. Ia mengangguk pelan sebelum menjawab, "Terserah kau saja,"

Mendengar jawabannya, mata Mita berbinar. Kegembiraan terpancar jelas dari wajahnya, dan ia merasa begitu lega mendapat izin dari Arnold.

"Benarkah?" tanyanya memastikan, senyum bahagia tak bisa ia sembunyikan.

Arnold mengangguk lagi, sedikit tersenyum tipis.

"Iya, selama kau tidak lupa dengan tanggung jawabmu sebagai istri di rumah ini," tambahnya, dengan nada yang terdengar lebih hangat dari biasanya.

Mita merasa begitu bersemangat. Tanpa disadari, ia berlari kecil memutari meja dan memeluk Arnold erat-erat.

"Terima kasih banyak, Arnold!" serunya antusias.

Arnold agak tersentak, terlihat sedikit risih dengan pelukan mendadak itu.

"Kau membuatku sesak, Mita," gumamnya, menahan tawa.

Mita segera tersadar, dan ia langsung melepas pelukan tersebut, merasa sangat canggung.

"Maaf, aku terlalu bersemangat," ujarnya, membungkuk sedikit dengan senyum malu-malu. Tanpa berkata lagi, Mita buru-buru berlari kembali ke kamar di lantai dua, berusaha mengendalikan kegembiraannya yang meledak-ledak.

Sementara itu, Arnold tersenyum tipis, hanya sebuah garis tipis di bibirnya yang jarang ia tunjukkan. Ia mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar rumah, sementara Mita masih di kamarnya, tersenyum kecil, bersemangat untuk kembali mengajar.

***

Ketika suara mobil Arnold mulai menghilang di kejauhan, Mita bergegas keluar kamar untuk membereskan meja makan. Ia mencuci piring dan peralatan makan lainnya, lalu melanjutkan tugas rumah lainnya. Sambil membersihkan, ia mengambil ponselnya yang sudah lama tidak disentuh. Rasanya ia rindu untuk menghubungi rekan kerjanya di kampus, terutama Dera Ratnasari, teman dekat sekaligus sesama dosen yang selalu ceria.

MY HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang