Chapter 23

4.2K 135 3
                                    

💋💋💋

Malam itu, Arnold duduk termenung di balkon kamarnya, ditemani sejuknya angin malam yang menggoyangkan dedaunan pohon di luar. Pikirannya terus berkelana ke masa lalu—kepada seorang gadis kecil yang pernah memenuhi hidupnya dengan tawa dan canda. Namun, sekarang, bayangan gadis itu hanya meninggalkan sesak yang tak terungkapkan. Dia merasa perasaannya tak mungkin dimengerti oleh siapa pun, kecuali orang terdekat yang mungkin mengetahui rahasia masa lalunya.

Suara pintu balkon yang terbuka membuyarkan lamunannya. Mita, istrinya, menghampirinya dengan raut khawatir.

“Kenapa kau di sini? Angin malam terlalu dingin untukmu,” ucapnya lembut sambil mendekati Arnold.

Arnold hanya menoleh, tanpa kata. Mita tetap menghampirinya, berdiri di samping pria yang tengah terdiam itu, lalu ikut menatap langit malam yang dipenuhi bintang.

“Ayo masuk, sudah malam,” kata Mita, mencoba membujuk Arnold.

Namun, alih-alih menanggapi, Arnold malah tiba-tiba menarik Mita ke dalam pelukan erat. Tubuh Mita menegang, namun segera luluh oleh kehangatan yang Arnold berikan.

“Ada apa?” tanyanya dengan suara rendah, tangannya perlahan mengusap punggung Arnold.

Alih-alih menjawab, Arnold semakin erat memeluknya, menenggelamkan wajahnya di leher Mita seolah menemukan ketenangan dalam kehadiran wanita itu. Sesaat Mita mengernyit, tak paham apa yang terjadi, tetapi memutuskan tak akan bertanya lebih jauh.

"Ayo tidur, sudah malam,” bujuk Mita lembut.

Arnold akhirnya melepas pelukannya, dan tanpa berkata-kata, mereka masuk ke kamar, larut dalam keheningan yang penuh makna.

Keesokan paginya, kehidupan berlanjut seperti biasa. Mereka sarapan bersama, saling bercanda, lalu masing-masing berangkat kerja. Arnold, yang memiliki posisi penting di perusahaan keluarganya, berpamitan terlebih dahulu. Sementara Mita, seorang dosen, masih menyiapkan berkas-berkas yang perlu dibawanya.

“Hati-hati, ya,” ujar Mita sambil melambai, memperhatikan Arnold yang perlahan menjauh dengan mobilnya. Dia tersenyum sendiri melihat bayangan mobil suaminya yang hilang di balik gerbang. Baru saja berbalik, mendadak ia disambut oleh sahabatnya, Dera.

“Wajahmu kok memerah begitu?” goda Dera dengan ekspresi jahil. Mita segera menutupi wajahnya, malu sekaligus geli.

“Kau ini! Jangan mengejekku,” balas Mita dengan tawa kecil. Dera tertawa, mereka berdua masuk diiringi obrolan random dari Dera tentunya.

***

Hari-hari berlalu tanpa halangan, hingga suatu hari Arnold menjemput Mita dari kampus. Para mahasiswi yang melihat Arnold langsung berbisik-bisik, menggoda sesama teman mereka.

“Wah, siapa lelaki tampan itu? Apakah suami dari ibu Mita?” salah satu dari mereka berbisik.

Yang lain segera menimpali, “Calon suami impianku banget, deh!”

Mita hanya mendengar celotehan itu sambil tersenyum tipis.

“Ada-ada saja kalian ini!” pikirnya dalam hati.

Di perjalanan pulang, Arnold berkata tiba-tiba, “Kita mampir ke kantorku dulu, ya. Ada dokumen yang ketinggalan,"

“Oh, oke,” jawab Mita santai.

Sesampainya di kantor Arnold, mereka menuju ruang kerjanya, dan Mita memutuskan pergi ke toilet sementara Arnold mencari dokumen di mejanya. Ketika selesai dan keluar dari ruangannya, tiba-tiba seorang wanita menghampiri dan langsung memeluk Arnold.

Arnold terkejut, berusaha melepaskan diri, tapi segera mengenali suara wanita yang memeluknya.

“Sharon?"

“Arnold, aku sangat merindukanmu,” bisik Sharon yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Arnold terpaku. Dalam hatinya, ada konflik antara nostalgia yang samar dan rasa canggung yang tak tertahankan.

Tak jauh dari situ, Mita melihat pemandangan itu. Dia berdiri terpaku, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Sharon,” gumamnya pelan. Mita mengenal Sharon—dia adalah mahasiswi kesayangannya di kampus. Namun, dia tak pernah menduga Sharon memiliki hubungan dekat dengan suaminya.

Dengan langkah berat, Mita mendekati mereka yang belum menyadari kehadirannya.

"Hai,"

Sharon langsung melepas pelukannya dan tersenyum pada Mita, “Bu Mita! Anda ada di sini juga?”

Mita tersenyum tipis. Biasanya, ia akan sangat senang menyambut sapa ramah mahasiswinya. Namun kali ini ada sesuatu yang menahan senyumannya, perasaan yang berbeda dan berat, seperti ada beban di hatinya.

“Kau kenal?” Arnold menatap Sharon dengan heran.

Sharon mengangguk antusias. “Iya! Bu Mita itu dosen favoritku di kampus. Banyak sekali yang suka cara beliau mengajar!”

“Oh,” jawab Arnold dengan nada tak terduga. Mendengar pujian Sharon tentang Mita, ekspresinya menjadi datar. Seolah memikirkan sesuatu yang jauh di luar konteks percakapan.

Namun, Mita sudah tidak tertarik mendengar obrolan mereka lebih lanjut. Ia merasakan hatinya terusik, namun berusaha keras menjaga ketenangannya.

“Ayo pulang,” katanya singkat tanpa sedikit pun menatap Arnold. Ucapannya terdengar datar, dan hal itu tidak luput dari perhatian Arnold.

Arnold menatap Mita dengan pandangan bingung, menyadari ada ketegangan yang ia sendiri tak mengerti. Di saat yang bersamaan, Sharon menatapnya dengan raut memelas.

"Arnold, aku masih ingin berbicara denganmu. Bukankah kita punya banyak hal yang perlu kita bicarakan?”

Arnold terdiam beberapa saat, kebingungan yang jelas tergambar di wajahnya. Antara ingin menghormati permintaan Sharon atau segera mengikuti Mita. Namun, melihat ekspresi wajah Sharon yang memohon, akhirnya ia mengambil keputusan.

“Kau pulanglah dengan taksi, Mita. Biar aku pesankan untukmu,” jawab Arnold, akhirnya menutup percakapan. Nada suaranya mantap, seakan memilih pilihan yang benar.

Mita, yang masih terkejut dengan jawaban suaminya, hanya mengangguk dengan ekspresi terluka. Perlahan, ia mundur, kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.

Di perjalanan pulang Mita berusaha menenangkan pikirannya. Perasaan sesak mulai hadir, perlahan kedua matanya buram karena air mata yang hendak turun. Ia kira Arnold akan berubah setelah beberapa kesalahpahaman yang sering mereka lewati. Tapi, nyatanya semua itu tidak mudah.

***
Tuesday, August 4, 2020 - Wednesday, October 9, 2024

MY HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang