Nestapa kian memenuhi relung hatiku
Menggerogoti jiwa dan ragaku.
Mendapati diriku yang tak ada apa-apanya.
Aku; diriku.
Kekecewaan tiada berujung.
...
Semilir angin pantai berhembus membelai wajah lelaki berkulit tan dengan surai sekelam malam itu. Tiada pernah bosan rasanya. Walau sudah 18 tahun merasakan hal yang sama, angin pantai dan matahari terbenam di pesisir pantai suku air tidak pernah sekalipun membuat dirinya bosan. Dia selalu merindu perasaan nyaman ini.
"Haechan..."
Suara berat lembut itu menyapa pendengarannya. Dirinya -Haechan- menolehkan iris senada warna surainya dan mendapati seorang lelaki jangkung tengah berjalan ke arahnya.
Lelaki itu memiliki iris senada langit cerah dengan surai hitam kebiruan yang dipotong pendek. Berbeda dengan dirinya, lelaki itu memiliki kulit yang cerah tidak seperti warna khas orang pesisir pantai yang selalu tersiram sinar sang surya.
"Kenapa kau belum pulang, Chan? Nenek mencarimu sedari tadi."
Haechan hanya mengedikan bahu sebagai jawaban. Dia ogah pulang ke rumahnya sekarang. Dirinya bersikukuh menetap disini. Masih dalam mode marah pada neneknya.
"Jangan kekanak-kanakan begini. Nenek khawatir padamu."
Lelaki itu kembali meyakinkan dirinya agar pulang namun Haechan tetaplah Haechan yang keras kepala. Dia memilih abai perkataan laki-laki itu. Lebih memilih untuk tetap tinggal dan duduk sembari menatap indahnya matahari terbenam.
"Jangan paksa aku, Mark. Aku tak suka."
Mark mengela napas dan mengambil tempat di samping Haechan.
"Sebenarnya kau itu kenapa sih? Apalagi yang menjadi tema marahmu pada nenek kali ini?"
Haechan tetap konsisten untuk diam. Sebenarnya, dibandingkan marah pada neneknya, dia sedang kecewa pada dirinya sendiri dan menyalahkan sekitar sebagai alasan.
Sedang nelangsa.
Haechan kesal betul pada potensi dirinya yang amat sangat rendah dibandingkan teman-teman sebayanya -termasuk Mark.
"Aku yakin kau paham betul alasan marahku, Mark."
Sekali lagi Haechan mendengar helaan napas dari Mark yang tengah duduk di sampingnya.
"Alasan marahmu tidak berbobot sama sekali. Seharusnya kau bersabar dan berlatih lebih giat lagi. Mungkin sedikit lagi elemen air akan bertengger pada kemampuanmu."
Haechan memutar bola matanya bosan. "Ya, ya. Katakan itu pada dirimu yang delapan tahun lalu telah menguasai elemen air semudah membalikkan telapak tangan dan sekarang merupakan bakal calon penjaga gelombang dasar bawah laut dan perbatasan. Hebat sekali, Tuan Jenius. Aku disini sedang cemburu asal kau tau."
Mark agak tercengang kemudian tertawa dan mengacak rambut Haechan -bukan sekedar mengacak, namun sesekali menoyor.
Haechan menenggelamkan wajahnya dibalik kaki dan tangannya. Haechan cemburu. Dia cemburu dengan kemampuan luar biasa Mark -dan juga fisiknya.
Tiga tahun lalu Mark menjadi satu-satunya remaja yang berhasil mengontrol gelombang pasang akibat gempa bawah laut bersama dengan para penjaga yang usianya rata-rata diatas kepala dua. Dia bahkan mendapatkan elemen airnya pada usia sepuluh. Dan lihatlah fisiknya. Tingginya kini menyentuh 184 cm pada usia ke delapan belasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HORIZON : Markhyuck ✔
Fanfiction[TELAH DIBUKUKAN] [LENGKAP DI PDF] Harusnya Haechan menyadari bahwa sedari awal eksistensinya adalah sebuah pertanyaan besar. Terlihat jelas dari perbedaan sepenuhnya antara dia dan mereka. Fisik maupun aura. Lantas, siapa dirinya?