Rait's Present
...
Segalanya nampak baru, berbeda. Terasa asing namun indah. Hamparan hijau menyejukkan mata yang terpampang jelas di hadapannya. Pohon-pohon menjulang tinggi dengan sulur-sulur akar yang merambat dan lumut-lumut hijau yang tumbuh pada batang-batang pohon dengan dedaunan lebat itu nampak begitu indah.
Asing.
Tanah yang dipijaknya pun terasa asing. Tanah yang dipenuhi rerumputan dan beberapa semak belukar berduri dan bunga-bunga liar. Segala aromanya bercampur. Tanah, lumut, dedaunan, batang pohon dan segalanya. Aroma hutan. Menyejukkan dan penuh misteri.
Haechan menatap sekitarnya. Masihlah takjub. Berbeda dengan milik suku air di mana pohon kelapa menjadi pemandangan biasa, berada di mana-mana. Hutan ini sungguhlah berbeda.
Mark berjalan di depannya. Memimpin. Sudah terhitung beberapa jam mereka meninggalkan Suku Air. Bulan telah berganti dengan Sang Surya yang kini bersinar menemani. Nyatanya sinar itu tak mengganggu, terhalang oleh dedaunan yang menaungi keduanya.
"Haechan, ingin istirahat sebentar?" Mark menghentikan langkahnya, berbalik menatap Haechan dan disambut oleh anggukan oleh lawan bicaranya. Keduanya memilih beristirahat di bawah salah satu pohon rindang. Tanahnya beralaskan rerumputan yang terasa nyaman saat diduduki.
Mark mengambil kantong miliknya dan meletakkan benda itu di hadapannya. Haechan pun melakukan hal yang sama. Berusaha mengistirahatkan bahunya yang telah menenteng kantong itu berjam-jam. Sebelumnya, setelah perdebatan panjang antar keduanya, Mark akhirnya menyerah dan membiarkan Haechan membawa kantong miliknya sendiri dengan dalih merasa kehilangan harga dirinya sebab Mark seolah meragukan kekuatannya sebagai seorang lelaki.
Mark merogoh kantong miliknya. Mengeluarkan dua buah gelas yang terbuat dari kayu dan meletakkannya di atas rerumputan. Jari-jarinya bergerak perlahan, tak begitu lama sampai gumpalan air tercipta di atasnya. Gumpalan air itu diarahkannya ke dalam gelas-gelas itu. Lepas setelah gelas-gelas itu terisi, Mark mengambil salah satunya dan menyodorkannya pada Haechan yang tengah bersandar pada batang pohon sembari memejamkan kedua matanya.
"Minumlah. Kau pasti haus." Haechan membuka kedua matanya, berusaha menegakkan tubuhnya dan mengambil gelas dari Mark.
"Terimakasih." Mark hanya tersenyum sekilas mendengar ucapan terimakasih dari Haechan dan meminum air miliknya.
"Mark." Panggilan itu sontak kembali membuat Mark menoleh. Menatap Haechan dengan pandangan bertanya.
Haechan meletakkan gelas itu perlahan dan menatap Mark dengan tatapan yang serius. "Mengapa Kau tau kalau aku meninggalkan Suku? Kau mempunyai mata-mata?"
Pandangan menyelidik itu sontak membuat Mark terkikik geli. "Ya. Air disekitasmu selalu menjadi mata-mata. Nenek juga telah mengizinkanku pergi menemanimu setelah aku mendengarkan percakapan kalian lewat air di udara. Maaf karena aku seolah terdengar seperti seorang penguntit, namun Nenek telah mengizinkanku melakukannya setelah kau sering bertingkah aneh."
"Malam itu. Saat Nenek menawarkan dirimu untuk meninggalkan Suku, Aku benar-benar tak bisa tidur semalaman. Hal yang terus aku pikirkan adalah pergi ikut bersamamu. Aku sampai rela membangunkan Ibu, Ayah dan Lind untuk meminta izin. Tentu saja mereka selalu mengizinkanku walaupun Ibu tersenyum pilu dan Ayah bergurau kalau Suku akan kehilangan salah satu bakal calon Pelindung yang hebat. Lind juga hanya tersenyum menatapku, menitip pesan agar selalu menjagamu."
Haechan hanya menatap Mark dalam diam. Dirinya kemudian menunduk. Memperhatikan rerumputan dan kakinya yang beralaskan sendal kayu. Dirinya kemudian menatap ke arah langit. Cahaya mentari yang berhasil meloloskan diri dari dedaunan itu mengenai matanya membuat pupilnya mengecil, berusaha menetralisir jumlah cahaya yang masuk ke dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HORIZON : Markhyuck ✔
Fanfiction[TELAH DIBUKUKAN] [LENGKAP DI PDF] Harusnya Haechan menyadari bahwa sedari awal eksistensinya adalah sebuah pertanyaan besar. Terlihat jelas dari perbedaan sepenuhnya antara dia dan mereka. Fisik maupun aura. Lantas, siapa dirinya?