12. Jingga dan Merah

2.7K 627 116
                                    

Maafkan atas segala typo dan kekurangan 🙏

...

Rait's Present

...

Derit kereta berbunyi membelah hutan lebat. Hijaunya sungguh menyegarkan, meninggalkan putihnya salju yang sebelumnya begitu familiar. Bau tanah bercampur air –lumpur, tercium begitu kuat. Kentara bahwa tak lama sebelumnya terjadi hujan. Haechan yang kini telah terbebas dari mantel-mantel tebal itu memilih mendudukan diri dekat dengan kursi kemudi guna mempermudah dirinya untuk bercakap-cakap dengan Jungwoo.

Suhu telah meninggi semenjak mereka meninggalkan Suku Es. Sebuah kelegaan luar biasa untuk Haechan sebab dirinya tidak tahan dingin dan sebuah siksaan kecil untuk Jeno yang kini bertugas membekukan bingkisan-bingkisan agar tidak basi. Jungwoo tidak terlalu bermasalah dengan suhu yang hangat, berbeda dengan Jeno. Mark sendiri hanya berdiam diri sembari memandang hutan sekitar tanpa ada niatan untuk ikut serta dalam percakapan antara Jungwoo dan Haechan yang semakin intens.

"Jungwoo, kau bilang Jeno adalah adik angkatmu. Bagaimana bisa?"

Jungwoo menoleh sekilas. Menatap Haechan yang memandang penasaran ke arahnya. "Mengapa tidak tanya Jenonya saja?"

Haechan mendengus pelan. Menatap Jeno yang tengah terdiam sambil memfokuskan diri membekukan bingkisan-bingkisan. "Dia tidak terlihat baik-baik saja. Dia seperti tengah menahan diri untuk buang air."

"Jangan kira aku tidak dengan ya, Haechan." Dan tentu saja Jeno menyahut tak terima. Jungwoo yang masih berfokus pada tali pacu hanya bisa terkekeh mendengar adik angkatnya yang menggerutu tak jelas. Selalu seperti ini. Seperti sebelum-sebelumnya saat dirinya mengajak Jeno bepergian keluar suku, anak itu akan berakhir dalam kondisi hati yang buruk. Namun lucunya Jeno akan tetap memaksakan diri ikut serta sekalipun dirinya tau hal apa yang akan terjadi padanya kedepan.

"Dia tengah kepanasan. Jeno masih belum terlalu terbiasa dengan suhu yang tinggi." Haechan mengangguk sekilas. Namun dirinya masih setia menatap Jungwoo dengan dahi berkerut.

"Lalu pertanyaanku tadi bagaimana?"

"Ah, soal adik angkat?" Haechan mengangguk dengan antusias.

"Kedua orang tua Jeno meninggal saat dia masih kecil karena kecelakaan saat suku kami masih bercocok tanam di luar suku. Saat itu hujan deras dan mereka terjatuh bersama kereta dan hasil panen di jurang. Ada beberapa warga yang merenggang nyawa karena peristiwa itu, terutama kedua orang tua Jeno. Untung saja saat itu Jeno tidak diajak ikut. Kedua orang tuaku yang bersahabat dekat dengan orang tua Jeno memutuskan untuk mengadopsi Jeno."

Pancaran mata Haechan seketika meredup. Rasa penasarannya berganti penyesalan. Tahu begini dia memilih untuk mati penasaran saja daripada bertanya hal sesensitif ini. "Maaf."

Dan hanya gumaman kecil itu yang terdengar darinya. Jungwoo melepaskan tangan kirinya dari tali pacu guna menepuk pelan bahu Haechan. "Heii... bukan masalah besar. Lagipula hal ini sudah lama sekali terjadi. Jeno tidak akan sedih jika kita membahasnya. Iyakan, adikku?"

Jeno dari ujung sana mengangguk sekilas sebagai jawaban. Mark yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara Jungwoo dan Haechan memutuskan untuk ikut mendekat dan duduk di samping Haechan. Ada satu pertanyaan yang sebenarnya sedari tadi berkeliaran dikepalnya meminta untuk segera dibebaskan. "Mengapa kau kelihatan biasa saja dengan suhu ini sementara Jeno terlihat agak tersiksa? Bukannya kalian senang bepergian dan dilatih untuk menahan panas sejak kecil?"

Memang di saat Mark membantu Jungwoo memberi makan rusa dini hari tadi, Jungwoo sempat berbagi cerita mengenai sukunya yang senang bepergian keluar dan selalu mengenakan pakaian tebal serta tinggal dalam iglo guna membiasakan diri dengan suhu tinggi. Dirinya juga sempat bercerita bahwa Ia dan Jeno juga tak luput melakukan hal yang sama. Kadang pergi bergerombol dengan penduduk lainnya, kadang hanya pergi berduaan saja.

HORIZON : Markhyuck ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang