Rait's Present
...
Malam yang gelisah. Bahkan untuk memejamkan mata sekalipun terasa sulit baginya. Dihantui oleh berbagai perasaan tak mengenakan, Haechan hanya dapat terduduk di kasurnya dengan menenggelamkan wajah pada lututnya yang ditekuk.
Tiga jam setelah Mark dan Lind memutuskan meninggalkan rumahnya dengan dia yang masih berusaha meredam tangisan -walau hatinya tetaplah menagis tersedu-sedu hingga sekarang. Setelah 18 tahun kehidupan tanpa ada bayang-bayang sosok yang mengantarkannya menuju kehidupan. Orang terkasih yang bahkan tak sempat diketahui bagaimana rupanya. Kedua orang tuanya.
Delapan belas tahun sudah Ia menyimpan berbagai rasa penasaran dan setelahnya pula rasa itu terjawab oleh nestapa. Hati kecil Haechan tidaklah serta-merta menerima. Dia memang mengetahui bahwa kedua Orang Tuanya telah tiada. Namun bukanlah kejadian menyayat hati nan tragis seperti itu yang merenggut keduanya.
Perasaannya tak tertahankan. Baik karena kedua Orang Tuanya maupun dirinya. Jikalau ibunya adalah pengendali air -dan merupakan yang terhebat pada masanya- lalu bagaimana dengan dirinya? Apakah kekuatan Ayahnya lah yang bertengger dalam dirinya? Siapa sebenarnya Ayahnya?
Sekelebat ingatan merasuki otaknya. Memaksanya mengingat kembali dengan apa yang telah ia pelajari selama ini. Tentang kehidupan. Tentang kekuatan seluruh suku. Namun dia ingat sekali gurunya hanya menyebutkan lima suku. Air, es, penyembuh, cahaya, bumi dan api.
Lantas bagaimana dengan Ayahnya?
Suku Sang Horizon itu apa?
Siapapun bantu dia. Berikanlah dia jawaban atas kerisauan hatinya selama ini.
...
Seluruh harinya terasa berbeda. Lebih berbeda dari apa yang terjadi setelah Tsunami itu. Dirinya menjadi pribadi yang lebih tertutup. Seolah seluruh semangatnya menguap, mengudara, menghilang diterpa angin.
Haechan tidak lagi memperdulikan latihannya. Tidak lagi memperdulikan Mark dan Lind yang berusaha menyemangatinya. Tidak lagi memperdulikan Yava yang selalu mengkhawatirkannya. Dia tau ini adalah hal teregois yang pernah dia lakukan. Lantas bagaimana dia harus bersikap atas segalanya?
Hingga saat itu. Malam itu, Yava menawarkan hal yang selama ini tak pernah sekalipun melintas di kepalanya. Neneknya berkata sembari memegang kedua tangannya dan tersenyum amat sangat manis. Namun dapat Haechan liat dengan jelas gurat kesedihan yang terpancar di sana.
"Haechan, Cucuku tersayang. Nenek paham dengan rasa sakitmu, kita berdua sama-sama kehilangan orang yang amat sangat berharga di kehidupan kita. Nenek juga mengetahui gundah-gulanamu selama ini. Kau mempertanyakan dirimu, bukan? Kau ingin mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya, bukan?"
Haechan hanya mengangguk perlahan dengan matanya yang tetap memandang lekat wajah lembut di hadapannya. "Ingin sekali, Nek. Ingin sekali sampai rasanya aku ingin berteriak."
Senyuman itu tak pernah sekalipun pudar dalam wajah Neneknya. Sesekali wanita tua itu mengusap punggung tangan Cucunya. "Jika kau ingin, pergilah. Tinggalkan suku ini dan carilah jawaban. Nenek menyadari bahwa kau takkan pernah menemukan jawaban apapun di sini. Pergilah, Cucuku tersayang. Temukanlah jati dirimu."
Sekali lagi kristal bening menghiasi pipi Haechan. Dirinya menatap tak percaya Yava. Dan gelengan kepala Haechan berikan kepada neneknya sebagai jawaban. "Aku tak ingin meninggalkan Nenek sendiri, tidak untuk kedua kalinya nenek ditinggalkan sendiri. Tidak apa. Bukan masalah besar jika Aku tidak mengetahui siapa diriku yang sebenarnya. Asalkan tidak meninggalkan nenek sendiri. Asalkan Aku bisa menjaga Nenek sepenuh hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
HORIZON : Markhyuck ✔
Fanfiction[TELAH DIBUKUKAN] [LENGKAP DI PDF] Harusnya Haechan menyadari bahwa sedari awal eksistensinya adalah sebuah pertanyaan besar. Terlihat jelas dari perbedaan sepenuhnya antara dia dan mereka. Fisik maupun aura. Lantas, siapa dirinya?