Prolog

101 12 6
                                    

Kita tidak pernah tahu, kapan waktu takdir akan berakhir.

Kita tidak tahu kalau akan dipisahkan dengan kematian atau perpisahan semata.

Maka sebelum itu terjadi, perlakukanlah orang-orang di sekitarmu dengan baik.

Jangan menunda untuk memperlihatkan kasih sayangmu.

Jangan biarkan penyesalan membunuhmu secara perlahan.

Karena aku pernah mengalami dan rasanya terlalu sulit untuk disembuhkan dengan kata 'Pengikhlasan' juga kalimat 'Semua yang terjadi adalah takdir'.

Tetap saja, kata-kata itu tidak bisa mengurangi atau menyembuhkan luka, dan penyesalan, lalu membiarkan waktu terlewati begitu saja.

Dedaunan kering berwarna oranye kecokelatan yang tak terhitung jumlahnya tampak berterbangan dan saling bergesekan hingga menimbulkan suara riuh. Hembusan angin kencang berlatarkan awan cerah mampu membuyarkan suasana mencekam saat berada di Tempat Pemakaman Umum. Beriringan dengan langkah seorang perempuan berpenampilan serba putih dengan kacamata hitam besar yang bertengger di atas pangkal hidungnya.

Perempuan itu terkesiap saat netranya menangkap sosok laki-laki misterius meninggalkan makam seseorang yang hendak perempuan bertubuh tinggi ini datangi. Laki-laki itu tampak tergesa-gesa sambil menarik topinya ke bawah untuk menutupi wajahnya, sesekali ia memerhatikan sekitar, tepat seperti maling yang sedang ketakutan.

Hanya ada satu pertanyaan yang melintasi pikiran perempuan itu, siapakah laki-laki yang baru saja berziarah ke makam mantan kekasihnya? Dibalik kacamata, netranya memicing curiga.

Sedetik kemudian, ia menggeleng pelan untuk mengusir kegelisahannya dan kembali melangkah. Sesampainya, ia langsung membungkukkan sedikit badannya sambil menaruh sebuket bunga mawar putih di depan batu nisan yang bertuliskan sederet nama, Erlan Abimayu Pradhika.

"Assalamualaikum." Seulas senyum terbit dibibirnya secara perlahan tanpa mengalihkan tatapan dari batu nisan seraya berjongkok.

"Aku mampir sebentar aja, ya."

Tangan kanannya mulai mengusap-usap guratan nama tersebut dengan tatapan sendu. Perasaannya mendadak kacau, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Rasa bersalah dan menyesal kembali mencuat dari dalam hatinya.

Chiara mulai merapalkan doa-doa untuk mendiang mantannya dengan mata tertutup. Setelah itu, ia kembali menatap batu nisan tersebut.

"Kamu tau gak? Kadang, aku masih gak nyangka kalau kamu udah gak ada." Perempuan itu tersenyum getir seraya melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di atas makam.

"Dulu, aku paling takut kalo harus ke TPU sendiri, eh sekarang masih sama. Masih merinding dari awal masuk sini." Ia kembali tertawa paksa.

Senyumnya kian melebar. "Erlan, kamu harus tau kalau seorang Chiara udah bisa lebih mandiri jauh dari sebelumnnya. Kalau kamu ada di sini, pasti kamu bakalan bangga liat aku sekarang." Ia yang mencairkan suasana, ia pula yang meredupkan kebahagiaan saat mengutarakan perasaannya di depan makam Erlan.

Benar, bagi Chiara, laki-laki itu masih menjadi sosok yang begitu ia sayangi. Munafik jika terus membohongi perasaan dan dirinya sendiri, bahkan seisi dunia hanya mengetahui bahwa dirinya telah merelakan kepergian laki-laki itu. Padahal, tidak sama sekali.

"Aku masih belum sanggup buat relain kepergian kamu." Suaranya terdengar bergetar dan begitu lirih.

Kepalanya menunduk bersamaan dengan sederet tetes air mata yang jatuh membasahi tanah. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat untuk menahan rasa sesak yang menggumpal didadanya. Perempuan itu memejamkan mata sambil menggigit bibir bawah agar isakan tangisnya tidak keluar hingga berlarut-larut seperti yang lalu.

Lantas, Chiara segera menghapus air mata yang membasahi pipinya dan mulai berdiri pelan-pelan. Ia menatap batu nisan tersebut dengan mata memerah, ingin berpamitan namun bibir terasa kelu. Ingin menetap, tetapi rasanya berat. Ingin memutar waktu, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa.

"Aku pamit ya. Mungkin kedepannya aku bakalan jarang ke sini." Seusai berpamitan, ia mulai beranjak dari sana.

Akan tetapi, baru beberapa langkah ia kembali menatap dalam batu nisan tersebut. Air matanya kembali meluncur bebas. Chiara memakai kacamatanya, kemudian melangkah pergi dengan harapan dapat melepaskan semua perasaannya.

Ia hanya perlu menatap ke depan, tanpa harus kembali menoleh ke masa lalunya yang menyakitkan. Karena dengan begitulah ia bisa melanjutkan kehidupannya dan berdamai dengan dirinya sendiri secara perlahan.

🕊🕊🕊

🕊🕊🕊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🕊🕊🕊

Charmolypi 2 : CarapherneliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang