09

135 33 15
                                    

■■■

Citra

[Citra] Dhik sorry hari ini aku ngga bisa jalan, 
Ngga boleh izin latihan nari :((

[Dhika ganteng] Oke besok-besok aja kalo waktunya pas :(

Aku baru saja mendapat balasan dari Dhika saat Jani kembali masuk ke kamarku, nggak masuk sih hanya kepalanya muncul di balik pintu. "Apa Jan?" Tanyaku begitu melihatnya.

"Dicariin tuh di luar," jawabnya seraya menunjuk ruang tamu dengan telunjuknya. 

"Siapa?" 

"Nggak tau, cek sendiri aja. Lumayan ganteng tuh" 

"Bukan anak kelas?" 

"Kalo anak kelas atau anak fakultas paling nggak aku pernah lihat lah Cit. Tapi ya ngga tau deng kan ada ribuan orang. Dah sana temuin aku mau keluar" Setelah mengatakan itu Jani langsung menghilang. 

Aku nggak tau siapa dia. Ketika mengecek ponsel nggak ada yang mengabariku kalau mau datang ke kosan. Seingatku orang yang sering menemuiku akhir-akhir ini hanya Dhika dan mas Lingga. Untuk saat ini Dhika nggak mungkin karena Jani bilang ia tak mengenalnya dan lagi Dhika selo sore nanti bukan siang ini. Mungkin Mas Lingga, toh sepertinya Jani juga tidak mengenalnya tapi ngapain mas Lingga kesini? 

Pintu kamar kubiarkan terbuka lalu aku keluar di sofa warna merah itu duduk seorang laki-laki berpakaian santai hanya mengenakan celana jins, kaos panjang, dan sendal gunung. Aku berhenti sebentar sebelum mendekat ke arahnya. Jujur aku enggan menemuinya. Untuk apa? 

"Citra, sorry aku nggak ngabarin dulu," ucapnya ketika menyadari kehadiranku. Aku diam lantas duduk di sofa depannya. 

"Citra ada yang perlu aku omongin, kamu ada waktu nggak?" 

"Nggak ada Yov, aku mau siap-siap buat latihan" ucapku berbohong.

"Please Cit, kasih aku waktu setengah jam buat ngomong" 

Aku menghela napas. Aku nggak mau ngomong sama Yovi. Nggak ada yang perlu diomongin lagi. Toh kita sudah berakhir. Lagipula aku hampir mengubur kenangan kami.. 

"Please Cit" ucapnya seraya memohon. 

"Oke, langsung ngomong aja" 

Belum sampai Yovi ngomong, aku mendengar suara dari perutnya. Ia meringis menyadari itu, sementara aku beralih ke jendela mengecek apa Ibu Marni penjual ayam geprek di depan sudah buka. Sayangnya belum.

"Diabaikan aja Cit, perutku"

"Kamu belum makan dari kapan?"

"Aku udah makan tadi pagi" 

"Nggak usah bohong. Kamu cari makan dulu, lain kali aja ngomongnya"

"Terakhir makan nasi kemarin sore. Aku perlu ngomong sekarang" 

"Udah lah Yov, aku nggak mau sakit maagmu kambuh disini. Aku nggak mau ngurusin kamu" 

"Oke, kalo gitu ayo ke foodcourt kita omongin semua sambil makan" 

Aku menghela napas mau tidak mau aku menuruti keinginannya karena kalau tidak ia akan tetap kukuh dengan kemauannya. Lagi-lagi disaat semua sudah berakhir lama aku masih mengkhawatirkan orang itu.  Kami ke foodcourt dengan motor sendiri-sendiri. Aku bisa membayangkan kalau kami berboncengan pasti sangat canggung dan membuat kesalahpahaman.

Aku duduk di salah satu meja bundar di sudut joglo, sementara Yovi memesan makanan. Selama ia memesan aku mengedarkan pandangan ke meja-meja di sekitarku.

"Nggak ada orang yang kukenal"

Aku merasa agak lega karena rasanya apa yang aku lakukan ini tidak benar. Kalau ada yang mengenal kami lalu ada rumor yang beredar pasti bikin nggak nyaman.

Tak berapa lama Yovi datang dengan nomer pesanan warna biru tua dengan tulisan angka warna kuning begitu mencolok begitu khas dengan kedai mas roket. Ia duduk di depanku lantas ia terdiam. Aku pun juga belum membuka suara. Suasana diantara kami cukup canggung untung ada suara obrolan dari pengunjung foodcourt yang mengisi keheningan kami.

Yovi menghela napas lalu ia menatapku "Aku mau minta maaf Cit, maaf buat apa yang terjadi beberapa bulan lalu" Yovi mulai berbicara ketika ia duduk tepat di depanku. Aku diam menunggu ia melanjutkan omongannya.

"Aku salah banget sering lebih mentingin sahabatku, bahkan nggak cerita kalau aku mengantarnya atau menjemputnya karena aku kira itu hal biasa dan nggak nyakitin kamu. Tapi aku salah" 

"Semua udah berlalu aku udah nggak mikirin itu"

Ibu-ibu paruh baya mengantarkan pesanan Yovi, jadi obrolan kami terpotong. Si Ibu menyajikan dua nasi bakar dan dua es susu coklat. Aku menatap Yovi, ia langsung paham apa maksudku. 

"Aku udah terlanjur pesen Citra, anggep ucapan terimakasih karena kamu mau ngomong sama aku sekarang"

"Kenapa sih Yov? Kenapa kamu perlu melakukan ini?"

Yovi tak memberi tanggapan sementara aku sudah terlanjur kesal. Mungkin ini hanya hal biasa bagi orang lain tapi ini menyebalkan bagiku. 

"Kamu nemuin aku gini pacarmu tau nggak?"

Yovi masih diam. Aku langsung tahu jawabannya. Dia masih sama saja. 

"Jangan kaya gini terus kalo kamu nggak mau pacarmu pergi. Apa dia nggak kesel kamu ketemu mantan tanpa sepengetahuannya?" 

Yovi menghela napas "Aku nanti bakal ngomong,"

"Kamu ngga usah khawatir, aku nggak ada masalah setelah kita putus. Kalau udah aku mau balik" ucapku lalu bersiap meninggalkannya. 

"Citra tunggu…" matanya menatapku dengan memohon "maksudku, aku pengen kita temenan lagi. Sebelum pacaran dulu kita temen, apa nggak bisa sekarang kita temenan lagi?"

Aku menghena napas "Untuk saat ini aku nggak bisa Yov." 

Aku meninggalkan Yovi tanpa menyentuh makanan yang ia belikan. Ia bisa membungkus dan membawa makanannya pulang. Aku berjalan ke parkiran yang agak jauh sialnya ditengah perjalanan aku melihat hal yang membuatku semakin kesal. Meskipun aku seharusnya tidak merasa kesal. 

Mereka bedua tertawa setelah perempuan itu memukul kepala orang di depannya dengan kertas yang digulung. Lagi-lagi aku sadar aku nggak boleh kesal tapi aku kesal. Cepat-cepat aku pergi setidaknya dengan tidak melihat adegan tersebut aku bisa sedikit agak tenang.

■■■

Remedy | Hwang Hyunjin - Lee Chaeyeon |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang