56 | jablay, jablay, deh!

219K 25.1K 2.8K
                                    




56| jablay, jablay deh!



SELESAI makan, Zane langsung naik lagi ke lantai tiga, meninggalkan Sabrina—yang kontan jadi melongo saking herannya—sendirian di ruang tamu.

Segitu bucinnya kah Zane padanya? Sampai-sampai menuruti permintaannya begitu saja? Tanpa jual mahal sedikitpun?

Wow.

Daebak.

Kalau begini, sih, nggak perlu menunggu lama, gayung akan segera bersambut.

Sabrina lalu bergidik, geli pada dirinya sendiri. Kalau lagi jatuh cinta, ternyata otaknya bisa sangat menjijikkan.

Perempuan itu segera beranjak ke pantry untuk mencuci mangkuk bekas makan bakso mereka berdua, membuat kopi—yang tentu saja dia ambil dari stoples milik Zane—dan mengambil cemilan secukupnya, kemudian kembali ke ruang tamu, menghadap laptopnya lagi.

Malam ini dia akan serius bekerja.

Bos boleh saja naksir padanya, tapi itu jelas tidak akan membuatnya jadi bermalas-malasan, apalagi dengan bonus besar menanti.

Saking seriusnya tekad Sabrina untuk lembur, dia sampai menghabiskan dua cangkir kopi supaya matanya tetap melek memeriksa semua file yang dia punya, memberi judul pada tabel-tabel gundul, membuat flowchart, serta menambahkan catatan kaki untuk Timothy di setiap bagian yang dirasa perlu.

Sialnya, saat sedang duduk di depan laptop, matanya tetap mengantuk. Giliran sudah selesai dan berniat tidur, barulah kafeinnya bereaksi, membuatnya melek selebar-lebarnya.

Belum lagi perutnya juga jadi terasa tidak nyaman. Kembung. Sebentar-sebentar harus ke kamar mandi pula, dan baru terhenti setelah semua yang diminumnya tadi kembali dikeluarkan, mungkin sekitar enam kali buang air kecil.

Setelah lelah dengan drama kopi dan tidak juga mengantuk, perempuan itu pilih naik.

Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa mana saja. Tapi dia juga penasaran, ingin tahu Zane tidur di mana.

Bukannya ingin mengganggu, apalagi modus. Dia hanya ingin melihatnya saja. Ingin tahu dia bisa tidur nyenyak atau tidak.

Sabrina melangkah pelan agar tidak berisik.

Tidak ada lampu menyala di lantai tiga. Namun tidak terlalu gelap karena ada sedikit cahaya dari dari lantai dua yang masuk lewat tangga.

Zane tidur di salah satu sofa di depan ruangannya.

Selimutnya yang masih terbungkus tas laundry dia letakkan di meja, untuk dipinjamkan pada Sabrina.

Sabrina duduk di sofa seberang meja.

Diam, memandang sosok di depannya.

Rasanya aneh.

Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan menyukai seniornya yang satu ini.

Dulu waktu kuliah, meski beberapa teman dekatnya ada yang menyukai Zane, Sabrina melabelinya dengan titel 'cowok biasa'.

Pernah punya teman cowok yang tidak mencolok dalam hal apapun? Posisinya selalu aman, berada di tengah-tengah. Bukan yang paling diunggulkan, serta bukan yang paling payah. Seolah cuma diciptakan untuk meramaikan suasana. Tidak penting. Figuran. Nah, seperti itulah Zane di mata Sabrina.

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang