36 | nyawa juned terancam
ZANE baru sempat membaca file yang dikirim Karen setelah makan malam, setelah seharian penuh memeriksa laporan keuangan dari Iis, yang grafiknya makin hari makin bikin perut mulas.
Sabrina sudah mengerjakan target kerjanya hari ini, dan Zane juga sudah mengeceknya sekilas, meski akhir-akhir ini perempuan itu terlihat hampir mati bosan dan tidak bergairah melakukan apapun.
Setidaknya berkat yoga yang dilakukannya kemarin sore, hari ini moodnya agak membaik.
Bahkan tadi sore Zane sempat melihatnya duduk berlama-lama di depan cermin—karena Zane jelas tidak punya meja rias—dan memakai masker wajah untuk mengurangi rasa bosan, sementara Zane memang hampir tidak meninggalkan balkon seharian.
"Ren, ini pos-pos pemenuhannya udah koordinasi sama Iis?" tanya Zane pada Karen lewat telepon, sambil menggulirkan layar laptopnya perlahan.
"Belum." Karen menyahut di seberang. "Itu gue ngambil pos yang sama kayak projectnya Sabrina. Karena gue anggap kelasnya sama."
"Iya, sih." Zane berdehem. "Tapi coba tanya Iis dulu. Kali aja ada partner lain yang bisa jadi alternatif, dengan kualitas yang sama tapi harga lebih miring."
Karen terdiam. Mungkin sedang berpikir.
Zane buru-buru menambahkan, "Besok aja nggak pa-pa. Ini gue bilang sekarang biar nggak lupa. Punya Sabrina belum gue cek detail, sih, progressnya. Sebagian emang udah nggak bisa diganti karena udah deal sama kliennya. Kalo punya lo kan belum, jadi masih bisa diutak-atik lagi."
"Oke, besok gue kasih liat Mbak Iis."
"Sama konsep backupnya kok gue cari belum ada, Ren?"
"Nah, itu jujur gue bingung, Bos. Besok gue coba tanya Mbak Iis, deh. Soalnya Bang Jeff nggak ngasih slot tamu buat pihak mempelai wanita. Padahal jumlah tamu kan ngaruh ke semua pos."
"Iya, lo tanya Iis aja."
Kecuali calonnya rempong, kemungkinan besar Jeff akan menurut saja pada apapun yang dikonsepkan Karen, termasuk slot yang disediakan untuk undangan tambahan bagi pihak wanita.
Zane mendesah, kemudian mematikan ponselnya.
"Bang, geser."
Tiba-tiba Sabrina sudah ada di sebelahnya. Nampak baru selesai mandi.
Rambutnya seperti biasa, tidak disisir. Kaos tanpa lengan dan legging membungkus tubuhnya—memang akhir-akhir ini dia hanya memakai pakaian-pakaian olahraga yang mudah kering walau hanya dicuci dengan tangan dan tidak terperas sempurna, jadi meski sebenarnya kelihatan seksi, Zane sudah terbiasa.
Wangi vanilla menyeruak hidung Zane ketika perempuan itu duduk, dan dengan kasar menggeser posisinya ke tengah swing bed. Wangi yang sudah familier pula. Indera penciumannya sudah beradaptasi dengan baik.
"Apa sih, Sab, nempel-nempel!" Zane ngedumel, menggeser sedikit tubuhnya agar tercipta jarak.
Sabrina menoleh ke Zane sekilas, lalu ikut memperhatikan konsep buatan Karen di layar laptop. "Gue pengen lihat juga. Gabut. Laptop lo pake, HP lo pake."
"Kan buat kerja. Biasanya juga kalo nggak dipake gue pinjemin ke elo dua-duanya."
Sabrina cemberut, menyandarkan dagunya di bahu Zane, membuat tengkuk lelaki itu tiba-tiba meremang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]
Humor[CHAPTER MASIH LENGKAP, EXTRA CHAPTER TERSEDIA DI KARYAKARSA] Sembari menunggu jadwal wisuda, Sabrina memutuskan menerima tawaran bekerja sementara di Event Planner startup milik seniornya di kampus. Tentu saja, dia nggak berharap banyak. Berurusan...