Kemacetan terjadi dimana-mana. Orang-orang dengan berbagai kesibukannya terlihat sibuk menunggu kendaraan kembali berjalan normal. Ada pula yang sudah emosi sampai menekan klakson berkali-kali.
Hari ini aku akan ikut bersama Roy untuk mengantar orang tuanya yang akan Umroh. Kak Alan kakaknya Roy juga ikut mengantar.
Kecanggungan tercipta selama perjalanan. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Sebenarnya aku sangat tidak ingin ikut mengingat aku dan Roy bukan keluarga. Belum lagi rumor-rumor yang kupastikan sebentar lagi akan bertambah. Keluarga Roy juga mungkin saja salah paham dengan adanya aku.
Aku melakukannya karena Roy memaksa. Sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku tidak bisa. Tapi Roy dengan keras kepalanya mengatakan tidak ingin mengantar orang tuanya jika aku tidak ikut. Akh, laki-laki ini.
Pikiranku juga teralihkan pada perubahan Natalie padaku. Sikapnya sedikit berubah sejak kejadian di rumahnya. Aku tidak tahu salahku apa. Natalie memang masih sama. Selalu baik padaku tapi ada perubahan sikap untukku. Sikapnya yang sedikit dingin dan tak banyak bicara membuatku tak enak hati.
Aku tidak suka berada dalam keadaan itu. Sahabatku itu sangat baik, dan aku cukup kehilangannya. Kalau mungkin dia tersinggung karena sikapku akan lebih baik jika dia menyampaikannya sendiri tidak dengan diam seperti ini.
Kutatapi kedua makhluk yang saling bertukar cerita dengan sedikit ejekan khas saudara didepanku. Tiba-tiba saja aku merindukan bang Abil. Walaupun menjengkelkan tapi tetap saja sikapnya yang kadang seperti orang yang tidak ada akhlak ketika bersamaku membuatku rindu.
Seberapapun menjengkelkannya aku yakin seorang kakak pasti sangat menyayangi adiknya. Seberapa seringpun saudara saling bertengkar dan saling mengejek satu sama lain. Ada ikatan darah yang selalu akan mengakrabkan mereka kembali.
"Kita sudah sampai" Karena terlalu sibuk dengan fikiranku sendiri sampai aku bahkan tidak menyadari kami ternyata sudah sampai dibandara.
Tempat dimana orang-orang datang dan pergi. Tempat yang mungkin menjadi titik awal mimpi banyak orang dimulai. Tempat dimana perjalanan dimulai dan diakhiri.
Terakhir kali aku menginjakan kaki ditempat ini saat mengantarkan bang Abil. Aku pernah menangis sejadi-jadinya ditempat ini. Tempat yang juga sempat membuatku kecewa karena ketinggalan dia. Laki-laki yang sampai sekarang masih nenempati tempat yang spesial dihatiku. Laki-laki yang mungkin tidak akan tahu tentang perasaanku. Laki-laki yang diam-diam sering kuadukan kepada Tuhanku disepertiga malam karena telah lancang merebut hatiku tanpa berniat mengembalikannya.
Tanpa kusadari air mataku mengalir begitu saja. Dadaku sesak bukan main menahan sedih. Sedikit ngilu membayangkan kehilangan apa yang belum sempat kudapatkan. Apa yang belum sempat kuutarakan.
"Kamu nangis? " Pertanyaan Roy membuyarkan lamunanku begitu saja. Lamunan tentang masa lalu itu terhenti begitu saja.
"Nggak kok" Hanya itu yang kukatakan dengan memberikan senyum padanya.
Orang tua Roy sudah dipanggil. Keberangkatan mereka sebentar lagi. Kulihat Roy dan keluarganya memeluk orang tua Roy. Ada yang memberikan senyuman, merekam adegan itu, ada juga yang menangis persis seperti yang kulakukan dulu. Akh, kenangan itu aku sama sekali tidak ingin mengingatnya lagi.
"Sa, dipanggilin Umi" Kalimat Roy membuatku mendekat kepada orang yang berstatus sebagai orang tua Roy. Uminya memelukku kubalas pelukan itu sambil tersenyum kepadanya
"Nduk, Jagain Roy selama Umi dan Abinya pergi ya" Permintaannya membuatku menatapnya. Ternyata beliau juga menatapku. Tatapannya menyiratkan permohonan. Sebenarnya aku tidak suka seperti ini. Inilah yang kutakutkan keluarganya mulai salah paham dengan kehadiranku.
Kuberikan senyum padanya. Senyum yang aku sendiri tidak tahu arti dari senyuman itu apa.
Samar-samar kudengar komentar keluarga Roy tentang ku dan laki-laki itu.
"Cantik yah"
"Serasi banget. Roy pasti beruntung banget"
"Kok baper ya"
"Ya Allah Cocoknya"
"Liat deh Roy sampe gak ngedipin mata liatnya" Kutatap laki-laki itu sekilas benar saja ia tengah menatapku.
Kalau boleh aku ingin segera pergi. Rasanya menyesal telah kembali ketempat ini. Aku hanya memberikan senyum untuk menanggapi semua komentar mereka.
Tak sengaja aku dan Roy saling menatap. Pandangan kami terkunci sama lain segera kuputuskan kontak mata yang baru saja terjadi.
Samar kulihat ada sosok yang menatapku dengan mata sembab. Perempuan yang kurindukan. Natalie. Kenapa dia menangis?
❤
Kejadian di bandara kemarin masih membuat fikiranku terkunci. Aku sama sekali tidak mengerti tentang semuanya.
Ada apa ini? Ada apa dengan Natalie sebanarnya? Aku sungguh ingin memperbaiki apa yang masih bisa kuperbaiki. Sahabatku pasti ada masalah. Tapi apa?
Aku tidak suka dengan diriku yang seolah menutup diri dengan sahabatku. Natalie aku merindukanmu.
Kudapati Riska yang baru saja datang diantar oleh supir pribadinya. Ya, seudah sejak kemarin lusa Riska tidak lagi menginap dirumahku. Kepulangan ibunya dipercepat. Itu jelas membuat Riska bahagia.
"Ris" Teriakku dari dalam parkiran. Ini masih pagi dan aku sudah tak sabar untuk bertemu sahabatku. Riska dan Natalie.
Riska datang dengan senyum manisnya. Memelukku erat seperti kami tidak pernah bertemu sebelumnya.
"Ini ada oleh-oleh dari Mama" Jelasnya menyodorkan kotak berwarna pink kalem kepadaku. Cantik aku menyukainya. Kotak hadiah itu ukurannya sangat mungil dan ada pita-pita diatasnya. Aku belum tahu isinya apa. Tapi sepertinya jika dilihat dari kotaknya saja pasti ini cantik. Dan mungkin mahal. Mengingat Riska yang terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan
Kuucapkan terimah kasih padanya. Sebagai tanda terima "Itu untuk siapa? " Tanyaku. Ada sebuah kotak lagi ditangannya warnanya polkadot. Kesukaan Natalie. Akh, gadis itu aku benar-benar merindukannya.
"Oh ini Untuk Natalie" Jelasnya. Senyum di wajahnya tidak berkurang sama sekali. Tanda kalu dia sedang bahagia-bahagianya.
Kulihat Natalie datang dari arah berlawanan. Aku berlari sekuat yang kubisa. Aku merindukannya. Karena terlalu bersemangat, aku tidak melihat batu yang ada di depanku. Aku tersandung.
Samar kudengar suara Riska meneriaki namaku. Juga Natalie yang tengah menatapku. Dan suara kaki yang sepertinya berlari kearahku. Pandanganku buram, gelap. Aku pingsan.
Vote ⭐

KAMU SEDANG MEMBACA
Sajadah Ikhlas
Non-FictionSebuah kisah yang menceritakan sebuah patah, dan kekuatan...