Hanum melempar ingatannya pada masa lalu, mengobrak abrik memori kehidupannya sebagai Hanum kecil.
Saat itu, Hanum masih berumur delapan tahun, ketika Harviz lahir ke dunia. Dia tinggal bersama sang ibu di rumah yang cukup megah, ayahnya yakni Rifandi memang selalu ditugaskan ke luar kota.
Bahkan saat Harviz lahir pun, Rifandi tidak ada di samping istrinya. Hanum hanya tahu bahwa sang ayah bekerja untuk negara. Sebagai prajurit, kepentingan negara adalah prioritas utama dari apapun termasuk keluarga.
"Hanum sayang, nanti papa kamu pulang loh! Kita bisa main bareng sama papa." Ujar Riyani kepada putri sulungnya sambil menyusui Harviz yang tampak hampir terlelap.
"Beneran ma? Horee! Hanum sudah kangen banget sama papa!" Sahut Hanum kegirangan.
Tidak lama setelah perbincangan itu, Rifandi benar-benar tiba di rumah. Semua menyambut penuh suka cita, apalagi momen itu menjadi momen pertama bagi Rifandi bertemu dengan anak laki-lakinya.
Menjelang malam, Hanum kecil terbangun dari tidur pulasnya, saat suara isak tangis sang ibu cukup menginterupsi. Dia sedikit membuka mata tanpa merubah posisi.
Dia tetap bergelung di dalam selimut tebal, tatapannya fokus pada Riyani yang menangis tersedu, di bawah kakinya tampak Rifandi memohon pada sang istri sambil berkali-kali mengungkapkan kata maaf.
Hanum kecil berusaha tidak memikirkan apapun, meski otaknya terus bertanya-tanya 'ada apa?'
Hampir sebulan setelah kejadian itu, Rifandi memboyong keluarganya pindah dari rumah megah yang mereka tempati sejak lama. Dia membeli sebuah rumah sederhana, dengan alasan agar lebih dekat dengan tempat dinasnya.
Keluarga kecil itu tampak tidak ingin mempermasalahkan. Hanum yang polos juga tidak ingin mencampuri urusan kedua orang tuanya. Toh, apapun pilihan yang diambil dia akan tetap ikut kemanapun Riyani dan Rifandi pergi.
Bertahun-tahun tinggal di sana hingga Hanum beranjak remaja, dia perlahan mulai mengerti kenapa Rifandi membeli rumah sederhana.
Selain karena jarak rumah dan tempat dinas lebih dekat, Nyatanya kepulangan Rifandi beberapa tahun silam memang atas kemauan dirinya sendiri. Dia mengajukan permintaan pindah tugas walau masa tugasnya di Surabaya belum berakhir.
Alhasil, permintaannya dikabulkan. Tapi tidak dengan posisi yang saat itu dia miliki. Di tempat baru, Rifandi ditempatkan pada posisi bawah. Pada akhirnya dia memulai semua dari awal. Hal itu berpengaruh juga pada gaji dan tunjangan-tunjangan yang dia dapat.
Sepertinya bukan masalah untuk Rifandi. Selama dia bisa kembali berkumpul bersama keluarga saja sudah lebih dari cukup.
Hanya sebatas itu yang Hanum tahu. Berbeda dengan Rifandi yang tampak hidup damai di rumah barunya, Hanum justru lebih sering mendapati Riyani menangis tengah malam di sela-sela sholatnya.
"Apa mama tidak bahagia saat kondisi keluarga menjadi seperti ini? Apa mama kecewa karena kemampuan finansial papa tidak sebaik dulu?"
"Ah tidak! Bahkan mama wanita yang sangat sederhana. Meski dia lahir di tengah keluarga berada, tapi mama tidak segila itu pada uang dan harta." Pikir Hanum saat itu.
Pernah sekali Hanum memberanikan diri mendekati Riyani yang sedang berdoa sambil menangis. Sang mama tampak terkejut saat Hanum tiba-tiba datang dan bertanya kenapa dirinya menangis.
"Mama merasa bahagia, setiap hari kita diberi kesehatan, kebahagiaan dan kesempatan berkumpul bersama. Saking bersyukurnya, mama sampai tidak bisa menahan tangis." Jelasnya membuat Hanum tertegun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Karma [Terbit]
ChickLitTERSEDIA DALAM VERSI PDF Definisi terbaik dari istilah 'Jodoh' itu apa? Jika menikah = Bertemu jodoh, Seharusnya aku tidak menjadi janda dua kali! Aku tahu, Baik buruknya perbuatan manusia akan selalu menemukan balasan. Tapi mengapa balasan yang ak...