Pulang Pada Papa

37.4K 2.3K 15
                                    

"Kak Hanum!" Aku tersenyum dari arah gerbang.

"Pa! Kak Hanum pulang!" Teriak Harviz sembari berlari ke arahku untuk membuka gembok.

"Kakak apa kabar?" Sambar Harviz sambil memelukku erat.

"Baik Viz, kamu sehat, kan?" Harviz mengangguk cepat.

"Lama banget kakak enggak pulang!" Ujarnya. Aku terdiam, mengingat sejak awal menikah sampai bercerai dengan Romi, aku memang belum pernah pulang ke rumah papa. Bahkan saat menikah dulu, Romi merencanakan membuat semua acara di Malang. Sedangkan papa dan Harviz datang ke sana tepat di hari H.

"Kakak kangen banget sama kamu!" Ucapku sendu. Harviz membawaku masuk ke dalam rumah. Sampai di ruang tamu, tatapan dingin papa langsung menyambutku. Dia hanya melirikku sekilas, lalu kembali fokus pada korannya.

"Papa apa kabar?" Tanyaku sambil mendekat ke arah sofa yang papa duduki.

"Sangat baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Ujarnya dingin. Aku meraih jemari papa saat dia meletakkan korannya di meja.

"Maaf pa, Hanum bikin papa kecewa lagi." Air mataku lolos. Harviz sudah beranjak ke dalam kamarnya saat menyadari suasana di ruang tamu berubah tegang.

"Maaf sudah membuat papa malu," Lanjutku. Papa tertawa sumbang lalu melepaskan tanganku.

"Kamu terlalu bodoh menilai, tapi sangat angkuh mengambil keputusan!" Aku langsung terdiam.

"Kegagalan bukan suatu hal yang memalukan! Tapi jika berulangkali terjadi, maka perlu dipertanyakan apa yang salah dari pilihanmu!" Ujarnya tegas.

"Pa..."

"Papa membawa kamu kembali ke sini bukan untuk menyalahkan atau menggurui. Kamu berhak pulang karena kami rumah kamu satu-satunya."

"Meski begitu, papa masih siap menunggu mantan suamimu itu untuk mengembalikan kamu pada papa sesuai kewajibannya!" Aku mengerjap pelan, sedikit sulit mencerna makna kata-kata papa.

"Sana istirahat! Kamu belum lupa jalan kamarmu, kan?" Tidak ingin berlama-lama dalam situasi canggung, aku mengangguk pelan lalu beranjak menuju kamar.

Kamar mungil yang sudah sangat lama tidak ku masuki semenjak merantau dan menikah. Di ruangan ini, semua akan bersaksi atas segala keluh kesah yang mungkin setiap hari ku utarakan.

Aku memilih duduk di sisi ranjang, mengamati keadaan ruangan yang tidak berubah. Tetap terjaga dan terawat dengan baik meski jarang ditempati.

Aku tidak ingin terlalu memikirkan respon papa yang tampak tidak peduli padaku. Karena sejak mama meninggal, papa memang berubah menjadi sosok yang pendiam dan dingin.

Di rumah ini, papa dan Harviz kompak bekerja sama dalam membagi tugas mengurus rumah. Di samping kegiatan sekolahnya, Harviz tidak pernah sungkan ikut bersih-bersih rumah meskipun cowok.

Kondisi perekonomian keluarga kami memang cukup sulit. Papa merupakan pensiunan anggota TNI, sebagian besar hartanya sudah banyak dijual untuk biaya pengobatan mama sebelum meninggal.

Hutang papa juga cukup banyak. Hasil pensiunan yang diterima setiap bulan digunakan untuk biaya hidup sehari-hari dan sisanya untuk membayar hutang.

Sedangkan Harviz baru saja lulus SMA beberapa bulan lalu. Saat ini tengah butuh biaya besar untuk mendaftar kuliah. Papa bertekad menyekolahkan Harviz sampai ke jenjang perguruan tinggi.

Sebagai anak laki-laki satu-satunya, papa ingin Harviz memiliki masa depan yang baik. Tentunya agar bisa menjaga aku dan papa di hari tua kelak.

Setelah ini, aku bertekad akan menggantikan peran mama yang sudah lama hilang. Aku tidak ingin larut dalam masa lalu buruk yang menyakitkan. Aku juga ingin memperbaiki kondisi ekonomi sekaligus membantu papa melunasi hutang-hutangnya.

Bukan Salah Karma [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang