Tiga bulan sudah Hanum menikmati masa cuti lahirannya. Hari ini, dia akan kembali beraktivitas di kantor seperti biasa.
Pagi-pagi sekali, perempuan itu telah mempersiapkan diri. Membereskan rumah, membuat sarapan untuk keluarga dan yang paling utama menyiapkan segala keperluan Zaki.
Dia sudah memompa ASInya banyak-banyak, agar putranya tidak kekurangan asupan selama ditinggal. Mengingat Zaki memang cukup kuat minum dan dia akan menangis kalau sedikit saja merasa kehausan.
"Viz, nanti kakak pulangnya naik ojek saja, kalau enggak pesan taksi. Katanya kamu cuma masuk setengah hari? Tolong langsung pulang ya, takutnya papa kerepotan ngurus Zaki." Pinta Hanum sesaat setelah sampai di depan kantor. Setiap pagi, Harviz akan mengantar kakaknya terlebih dahulu sebelum pergi kuliah.
"Tenang saja kak, selesai kuliah Harviz langsung pulang ke rumah." Jawabnya sembari berpamitan keluar dari gedung kantor sang kakak.
"Hati-hati di jalan!"
"Siap bos!"
Sebenarnya, cukup berat meninggalkan Zaki di rumah. Apalagi hanya dijaga oleh Rifandi. Tapi Tika sempat bilang, bahwa dia akan sering berkunjung ke rumah untuk membantu Rifandi mengasuh cucunya.
Tika memang memiliki jam kerja yang tidak terlalu padat. Dia bisa keluar masuk rumah sakit kapan saja. Hanum percaya Zaki pasti terurus. Hanya saja, perasaan ibu mana yang tidak merasa berat jika dihadapkan pada kondisi seperti Hanum sekarang.
Wanita yang saat ini resmi berstatus janda itu memilih mendongakkan kepala agar air matanya tidak menetes. Dia harus kuat dan tegar, anaknya butuh masa depan yang baik. Maka dari itu Hanum bertekad untuk bekerja keras demi Zaki.
"Hanum!!" Dia menoleh saat mendapati Rendi melambaikan tangan ke arahnya.
"Mas Rendi?" Ujar Hanum sembari mendekat.
"Apa kabar lo?" Hanum tersenyum.
"Baik mas, mas Rendi gimana?"
"Gue sih baik-baik saja, kerjaan kantor yang agak kelabakan selama nggak ada lo di samping gue!" Hanum terkekeh, dia tahu Rendi sangat suka menggodanya.
"Tenang saja, nanti Hanum bantu beresin!"
"Ngomong-ngomong, jahitan lo udah kuat kan dipakai buat ngantor lagi?" Celetuk Rendi sambil berjalan beriringan ke dalam ruangan mereka.
"Kuat lah mas! Jangankan buat ngantor, tiap hari juga Hanum pakai buat nyuci sama angkat-angkat jemuran." Gurau Hanum.
"Wah gila sih! Gue takutnya robek lagi." Lawak Rendi membuat Hanum geleng-geleng kepala.
"Mas Rendi ada-ada saja. Ya neggak mungkin lah."
"Sori ya, waktu itu gue sama bos Bagas nggak sempat pamitan."
"Hanum paham kok mas, harusnya Hanum yang minta maaf karena membuat mas Rendi sama pak Bagas jadi tahu permasalahan keluarga Hanum." Hanum sedikit menunduk, merasa tidak enak hati membicarakan kejadian beberapa bulan lalu saat Romi datang.
"Tapi menurut gue, kebangetan sih tuh mantan suami lo. Harusnya dia nggak sampai mencampakkan Zaki begitu saja. Apalagi nggak mau namanya dipakai buat akte kelahiran Zaki. Lo tulis nama gue saja di aktenya dia. Ikhlas gue, serius."
"Jangan gitu dong, mas. Jadi nggak enak nih dengernya." Seru Hanum sambil tertawa kecil.
"Bercanda kali Han, tapi kalau mau serius juga boleh sih."
"Udah, ah, kebanyakan bercanda malah enggak jadi kerja loh!" Keduanya duduk di meja masing-masing.
"Hanum, duh gue sampai belum jengukin lo sama si Zaki, gimana anak lo? Udah bisa ngapain?" Cerca Dewi teman satu divisi Hanum yang tiba-tiba datang.
"Baik Wi, udah bisa nangis sama minum susu."
"Yeee, itu mah dari lahir juga udah bisa!" Seru Dewi.
"Kemarin gue ke sana, anaknya lucu benget parah, pinter juga! Saking pinternya dia sudah bisa minta adek!" Sambar Rendi membuat Dewi langsung memukul bahu laki-laki itu.
"Sembarangan kalau ngomong." Timpalnya.
"Tangan lo kaya beton! Keras banget, elah!" Ejek Rendi sembari mengambil ponsel.
"Update story! 'Abis dipukul bawang merah!'" Hanum sontak tertawa terbahak-bahak, sedangkan Dewi tampak tidak menghiraukan.
"Permisi," Keseruan ketiganya terjeda saat seorang perempaun masuk menghampiri barisan meja sekretaris.
"Iya mbak, ada yang bisa dibantu?" Ujar Dewi.
"Bagas ada di ruangannya?" Tanya perempuan berambut panjang itu.
Wajahnya yang cantik, ditambah tubuh yang tinggi dan terkesan seksi membuat perempuan itu terlihat sangat mempesona. Bahkan Hanum saja sampai tertegun melihatnya.
"Ada mbak, sudah datang sejak pagi tadi." Jawab Dewi.
Perempuan tadi tersenyum lalu mengangguk.
"Saya langsung ke ruangannya saja kalau begitu, mari..." Hanum dan Dewi mengangguk, Rendi yang sejak tadi fokus dengan ponselnya tidak terlalu memperdulikan siapa yang baru saja datang.
"Pak Bagas dari jam berapa di sini, tumben pagi banget." Tanya Hanum, karena setahu dia biasanya bosnya akan datang setelah jam masuk karyawan. Antara pukul sembilan atau sepuluh, saat Hanum melirik ke arah jam tangannya, jarum pendek itu baru menunjukkan angka delapan.
"Semalam enggak pulang sih, tidur di kantor dia." Sahut Rendi.
"Wah yang bener Ren, eh tapi itu tadi siapa? Pacar barunya pak Bagas ya?? Aduh patah deh hati Dewi!" Gerutu Dewi. Rendi meletakkan ponselnya, lalu mengusap wajahnya pelan.
"Setahu gue sih, pacarnya bos Bagas bukan yang itu." Ujar Rendi.
"Terus yang mana? Cantikan gue apa pacarnya?" Cerca Dewi ingin mencoba membandingkan. Rendi menatap ke arah Hanum yang sejak tadi diam, tatapannya jahil seperti biasa, membuat Hanum was-was.
Jangan sampai mas Rendi ngomong macam-macam! Sekilas, itu yang bisa ditangkap Rendi dari maksud tatapan Hanum saat mata mereka tidak sengaja bertemu. Rendi sontak terkekeh pelan.
"Nggak tahu! Lagian ngapain sih lo pagi-pagi kepo di sini, bukannya kerja!"
"Yahh Ren, besok kabari ya kalau pak Bagas sudah putus sama pacarnya." Rendi mendengus.
"Balik sana ke meja lo, gue sama Hanum mau berduaan saja nih! Enggak peka banget kalau kehadiran lo ganggu banget dari tadi." Usir Rendi.
Hanum lagi-lagi tertawa melihat interaksi kedua rekan kerjanya yang sangat-sangat tidak kompak. Setelah itu Dewi beranjak sembari bersungut-sungut pada Rendi.
Jujur, dalam hati Hanum juga bertanya-tanya siapa perempuan tadi. Bukan karena cemburu atau tidak rela Bagas sudah menemukan orang baru. Hanum justru bersyukur jika kehidupan sang mantan suami menjadi lebih baik sekarang.
Apalagi perempuan yang menemani perjuangan dia untuk membangun kesuksesan Bagas sampai saat ini pastilah perempuan hebat. Mungkin dia adalah perempuan berambut panjang tadi.
Sejak zaman SMA, Bagas memang selalu pintar mencari pacar. Dia selalu mendapat perempuan yang cantik, berbakat, terkenal dan hidup dari kalangan orang berada. Hanya saja, hidup Bagas mulai tak terkendali saat bersama Hanum.
Perempuan itu bahkan kerap merasa Bagas menyesal pernah memilihnya sebagai pasangan. Mengingat sosoknya yang jauh dari kriteria idaman Bagas. Bahkan di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan mantan pacarnya di masa lalu.
Wajar jika akhirnya kita pisah. Batinnya
Hanum tersenyum kecil, merasa bersyukur jika Bagas kembali menemukan jati dirinya. Hanum berharap sikap kasar dan pemberontak Bagas hanya dilakukan saat masih menjadi suaminya.
Ketika sudah menikah lagi suatu saat, Hanum tidak ingin Bagas mengulangi kesalahannya di masa lalu. Apalagi pada perempuan secantik tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Karma [Terbit]
Literatura FemininaTERSEDIA DALAM VERSI PDF Definisi terbaik dari istilah 'Jodoh' itu apa? Jika menikah = Bertemu jodoh, Seharusnya aku tidak menjadi janda dua kali! Aku tahu, Baik buruknya perbuatan manusia akan selalu menemukan balasan. Tapi mengapa balasan yang ak...