Part 18

1.8K 188 74
                                    

Jari telunjuk Boby mengetuk-ngetuk stir mobil mengikuti alunan musik yang terdengar samar melalui mp3, di sampingnya Satya fokus membaca berkas klien, sedangkan di kursi belakang ada Kinan yang berbaring dengan ponsel di tangannya. Mereka bertiga sedang berada di dalam mobil yang terparkir beberapa meter dari sebuah rumah -yang setelah dikonfirmasi orang Satya- adalah rumah milik Bianca.

Berdasarkan informasi yang dikirimkan oleh orang suruhan Satya dini hari tadi, Bianca terlihat memasuki rumah itu. Karena informasi itulah Boby dan Satya serta Kinan bergegas ke rumah itu sejak pagi buta. Tapi, karena jarak yang harus mereka tempuh bukanlah jarak yang dekat, mereka tiba di sana disaat Bianca sudah meninggalkan rumahnya lagi. Jadilah sekarang mereka hanya berdiam diri di dalam mobil, berharap sang empunya rumah segera pulang.

"Aaarght!! Bosen!"

Kinan tiba-tiba mengerang, ia membanting ponselnya pada jok. Lelaki itu bangkit duduk lalu memajukan kepalanya di ruang kosong antara kursi Boby dan Satya. Wajahnya menoleh ke arah Boby dan Satya secara bergantian.

"Kalian gak bosen!? Hmm? Hmm?" Tanyanya.

Satya mengangkat bahunya acuh, "Gue lebih bosen ngedenger lu ngeluh, Kak."

Apa yang dikatakan Satya memang benar, semenjak mereka berada di dalam mobil, sudah tidak terhitung berapa kali Kinan mengeluh bosan. Boby bahkan sudah sempat menyuruhnya pulang, yang dengan alasan solidaritas ditolak oleh Kinan.

Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Kinan kembali menghempaskan tubuhnya di kursi belakang. Ia tidak habis pikir, Boby dan Satya bisa betah berada di dalam mobil selama kurang lebih enam jam. Dimana dirinya sendiri sudah merasa bosan setengah mati. Bahkan ia merasa Boby tidak sekalipun mengalihkan pandangannya dari rumah bercat hijau di depan mereka.

"Kita di sini udah dari jam 8 anj*r, sekarang udah jam 3 sore. Cuma natap rumah itu doang. Kalian udah biasa ngelakuin ini, sih, ya. Jadi udah gak ada rasa bosen lagi." Nyinyirnya.

Boby menghela napas, harusnya sejak awal ia tidak membiarkan Kinan ikut.

"Sat, gue pikir kerjaan pengacara tuh gak kayak gini. Ngintai-ngintai kayak gini kan kerjaan polisi kayak Boby."

"Kenal sama Bang Boby ngebuat gue terbiasa ngelakuin hal kayak gini." Jawab Satya santai.

"Tapi ini ngelanggar hukum, kan? Stalker, penguntit? Lu bisa kena pasal, dong." Jari telunjuk Kinan menunjuk Satya. "Bayangkan, ada headline, Seorang Pengacara Ditangkap karena Menguntit. Tamat lo, Sat. Tamat!"

"Si Bego, ini bukan menguntit tapi mengintai. Beda!" Satya menepuk telunjuk Kinan dengan kasar.

Mampus! Boby memaki dalam hati. Ia tahu, beberapa menit ke depan ia akan mendengar perdebatan tidak penting antara Kinan dan Satya.

"Menguntit sama mengintai sama aja, ah."

"Ya beda lah, Bego!" Satya memperbaiki duduknya, ia bahkan menyimpan berkas kliennya di dashboard hanya supaya bisa menoleh kepada Kinan secara leluasa. "Menguntit itu, mengikuti dari belakang. Kalau Mengintai itu, mengamati dari jarak jauh atau dari tempat tersembunyi."

"Berarti lebih bahaya mengintai dari menguntit, dong?"

Hening.

Satya menggaruk kepalanya yang Boby yakini tidak gatal sama sekali. Berdebat dengan Kinan yang memiliki pola pikir ajaib memang tidak pernah mudah.

"I, iya, juga sih."

"Berarti lu bisa kena pasal lebih berat."

"Di negara kita tercinta ini belum ada pasal yang benar-benar diatur tentang hukuman untuk stalker, Kak."

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang