Fajar duduk santai di teras rumah Fira. Menunggu kepulangan dokter Kusuma. Ia cukup paham jika tidak dipersilahkan masuk ke rumah, mengingat di rumah ini hanya ada Fira dan ibunya. Kurang baik jika menerima tamu lelaki di dalam rumah.
Masih terngiang di benak Fajar kejadian di traffic light tadi. Ia jelas hafal betul Mobilio dengan plat nomor unik itu. Tapi ia pura-pura tidak melihat, malah sengaja membuat lelucon yang membuat Fira terbahak-bahak. Dan ia dapat memastikan Raffi melihat adegan itu. Sekilas memang tampak seperti sepasang kekasih yang berbahagia.
"Maafkan aku, Raffi. Walaupun apa yang kulakukan jelas tidak melanggar syariah, tapi aku sudah menyakiti sahabat terbaikku. Ah, bukan. Bukan menyakiti. Sebenarnya aku sedang menyelamatkanmu dari dosa yang lebih besar. Menggantungkan perasaan seorang gadis tanpa kepastian sama saja membuat luka yang tak terlihat. Hanya sakitnya yang terasa. Sepuluh tahun kamu menyakiti Fira tanpa kamu sadari. Aku berjanji akan mencintai dan membahagiakan Fira", Fajar bermonolog dalam hatinya.
"Mas, ini minumannya. Fira bikinin wedang uwuh. Lumayan buat ngangetin badan. Sama ini limpung sama roti bakar keju. Sejak siang kan Mas belum makan tapi habis tiga gelas kopi hitam. Nggak takut apa dyspepsianya kumat?" Fira berkata sambil menata isi baki yang dibawanya di atas meja teras.
Fajar hanya terdiam memperhatikan Fira yang cekatan bergerak. Gadis itu sudah berganti baju dengan gamis dan jilbab yang lebih meriah. Make up nya pun sedikit lebih mencolok tapi juga tidak terlalu menor. Kecantikan alami memang tidak terbantahkan.
"Kamu cantik sekali, Sayang", tanpa sadar Fajar bergumam.
"Please deh, Mas! Nggak usah gombal." Rupanya Fira mendengar perkataan Fajar barusan.
Fajar yang terkejut jadi sedikit salah tingkah. Tapi bukan Fajar namanya jika tidak bisa membalikkan kalimat lawan bicaranya.
"Lha Mas kan emang harus belajar nggombal sama Fira, biar terbiasa nanti kalau udah nikah", ucapnya sambil menaik turunkan alisnya.
"Kepedean banget sih bakal diterima."
Fajar hanya tergelak saat memandang Fira yang kesal dan kembali ke dalam rumah. Pandangannya kemudian beralih pada secangkir minuman berwarna merah tua yang tersaji manis di dalam cangkir klasik bermotif bunga. Aroma rempah yang kaya menguar dari asapnya yang masih mengepul. Fajar menghidu aroma itu dan menikmatinya perlahan sebelum mendekatkan cangkir itu ke depan bibir dan menyesap isinya sedikit demi sedikit. Rasa minuman itu sudah bisa ditebak dari aromanya, kaya rempah. Tentu saja karena wedang uwuh terbuat dari campuran bermacam rempah seperti kayu secang, jahe, gula batu, dan entah berapa jenis rempah lainnya.
Usai menghabiskan setengah cangkir minumannya Fajar kembali termenung. Rasa bersalah pada Raffi kembali menyeruak. Ia memejamkan matanya berusaha meyakinkan bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. Menyelamatkan Fira dari bahaya mendekati zina karena Raffi yang tak kunjung menghalalkannya. Ia berusaha mengambil hujjah dari orang-orang shalih terdahulu. Tentang perselisihan dengan orang terdekat demi mempertahankan apa yang diyakini sebuah kebenaran. Nabi Ibrahim harus melawan Azar, ayah kandungnya sendiri demi iman kepada Allah. Dan bukankah Fir'aun itu adalah ayah angkat Musa?
Lamunan Fajar buyar saat ia mendengar suara mobil di depan gerbang. Ia segera bangkit untuk membukakan gerbang bagi calon ayah mertuanya.
●●●
Dokter Kusuma mempersilahkan Fajar untuk makan malam sebelum memulai pembicaraan serius. Di meja makan terhidang beraneka makanan. Memang bukan makanan mewah tapi jika dipersembahkan dengan penuh ketulusan oleh tuan rumah jelas rasanya jauh lebih nikmat.
"Ayo dimaem, Nak, seadanya ya. Ini ada sambel tumpang sama sayurannya", ucap Bu Rindi sambil menunjuk masakan bersantan yang terbuat dari campuran tempe semangit, tempe yang hampir busuk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Safira
RomantikDemi memenuhi wasiat Ifah, sahabatnya, Fira ikhlas menikah dengan duda dari sahabatnya itu. Sekaligus janji untuk mengasuh Naysila putri Ifah dan Fajar yang berkebutuhan khusus. Padahal Fira telah lama menjalin kasih dengan Raffi. Dengan alasan itu...