Part 13

3.8K 151 15
                                        

Malam sudah beranjak mendekati fajar. Raffi terpekur dalam doa nya. Ingin rasanya protes pada penciptanya. Mengapa takdir untuknya sungguh menyesakkan. Tapi sebagai seorang yang taat beragama, Raffi paham setelah ikhtiar maksimal, kini saatnya ia tawakal. Tak bosan-bosannya ia melantunkan doa istikhoroh. Walaupun hati kecilnya mulai meyakini bahwa sepertinya Fira bukan jodohnya.

Usai bermunajat pada penciptanya sekaligus murojaah sendiri hafalan Al Qur'an nya, hati Raffi kembali sebak. Ya, hafalan QS Ar Rohman dan QS An Nisa yang akan dipersembahkannya sebagai mahar untuk Fira, seperti permintaan gadis itu dua tahun silam. Tapi sepertinya hal itu sedikit mustahil. Sakit sekali hati pemuda itu jika membayangkan sahabat baiknya sendiri yang akan menjabat tangan ayah dari gadis pujaannya. Tapi ia mencoba menghibur hatinya. Bukankah pencapaian tertinggi dari mencintai seorang wanita adalah menghalalkannya, atau jika tidak mampu, maka mengikhlaskannya menikah dengan lelaki lain yang lebih pantas dan lebih siap adalah jauh lebih terpuji.

●●●

Fira sedang sibuk menghitung balance cairan pasien-pasien di ICU. Hari ini jadwal jaganya di ICU, seperti lazimnya koass stase anestesi. Tim jaga malam ini adalah Fira bersama Ifah, sebagai gemeli jaganya, sementara residen madya yang bertanggung jawab adalah dokter Ayu.

Fira serius mengamati jumlah urine pasien yang keluar di urine bag dan menghitung insensible water loss sebagai jumlah cairan keluar. Sementara jumlah infus yang masuk serta minuman digolongkan dalam jumlah cairan masuk. Normalnya kedua hal itu harus seimbang. Bahkan pada beberapa penyakit seperti pembengkakan paru-paru akibat gagal jantung, dianjurkan untuk balance negatif. Atau jumlah cairan yang dikeluarkan lebih banyak daripada cairan masuk.

Selain menghitung keseimbangan cairan, Fira juga mengecek kesadaran pasien dengan skor Glasgow Coma Scale dan mengukur tanda vital seperti tekanan darah, jumlah nadi, suhu badan, dan jumlah tarikan nafas. Usai mengerjakan semuanya Fira memasukkan hasilnya dalam lembaran monitor pasien.

"Lho, Dik! Kamu kok jaga sendiri? Biasanya kan dua orang koassnya?" Dokter Ayu menyapa Fira yang masih sibuk menyalin hasil hitungannya di lembar monitor lebar di samping pasien.

"Iya, Dok. Berdua kok sama Ifah, teman saya. Tapi dia lagi hamil 7 bulan, kakinya juga edema dan ada hipertensi juga. Sudah masuk PER sih, kemarin proteinuria nya +1. Jadi biar dia istirahat saja di ruang jaga. Ini stase terakhir kami, Dokter. Jadi sayang kalau dia harus izin jaga dan ngulang stase", jelas Fira panjang lebar.

"Oh, yasudah kalau begitu. Saya nggak masalah, kok. Asal semua kewajiban kalian beres, mau gimana metodenya, monggo aja", jawab dokter Ayu lembut. Sebagai sesama wanita jelas ia paham apa yang dirasakan Ifah.

"Terimakasih atas pengertiannya, Dokter. Saya sudah selesai ini nulisnya. Saya mohon izin mau nemenin Ifah sebentar, mungkin ada yang dia butuhkan. Nanti kalau waktunya follow up saya ke sini lagi. Atau misalnya dokter Ayu butuh saya, whatsapp aja! Saya udah ninggal nomer di nurse station. Permisi, Dok." Fira berpamitan dengan sopan sebelum kemudian segera beranjak menemui sahabatnya.

Betapa terkejutnya Fira saat melihat Ifah dalam posisi setengah duduk. Tangan kirinya memegangi ulu hati, sementara nafasnya tampak putus-putus.

"Ya Allah!! Fah! Kamu kenapa?" Fira langsung memposisikan sahabatnya itu agar merasa lebih nyaman. Stetoskop yang sedari tadi melingkar di leher segera ia pasang di telinga dan menyusurkan membran nya ke dada Ifah setelah sebelumnya menyingkirkan pakaian yang menghalangi sentuhan langsung kulit dengan membran stetoskop.

Takdir Cinta SafiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang