"Mas.. Apa nggak ada jalan lain selain saya menikah dengan Mas Fajar? Saya ikhlas merawat Naysilla, tapi bukan untuk jadi istri Mas..." kata Fira lirih, setelah berhasil menguasai tangisnya.
Fajar mengela nafas berkali-kali. Kemudian jawabnya, "Nggak, Fir! Pilihannya hanya kamu merawat Naysilla dan menikah denganku. Dengan begitu kamu bisa total merawat Naysilla dengan status yang jelas. Jika aku tidak menikahimu, akan sangat tidak adil buatmu dan juga mengganggu perkembangan mental Naysilla. Kamu akan punya kehidupan sendiri, apalagi jika kamu sudah menikah nanti. Apa mungkin suamimu mengizinkanmu tiap hari menengok Naysilla. Aku tidak mau anakku dirawat tanpa totalitas. Lagipula bukankah jadi fitnah kalau kamu sering-sering datang ke rumahku. Mau aku duda atau nanti punya istri lagi tetep saja jatuhnya jadi fitnah!"
"Jadi istri Mas, berarti.. nggak! Fira nggak mau, Mas!" Nada Fira berubah tegas. Matanya yang bengkak mencerminkan kegetiran hatinya.
Fajar kembali terdiam, mencoba mengatur gejolak emosinya. Kemudian ucapnya lagi, "Kalau kamu nggak mau menikah denganku. Mulai saat ini jangan sering-sering menengok Naysilla! Akan sangat susah jika dia sudah telanjur akrab dan terlalu bergantung padamu!"
Fira tersentak dengan jawaban Fajar. Tak menyangka Fajar akan mengeluarkan pernyataan yang sangat kejam untuknya. Bagaimana mungkin dia bisa menjauhi Naysilla. Jauh di lubuk hatinya sudah timbul rasa sayang pada bayi itu. Sejujurnya Fira juga tidak tega jika Naysilla diasuh oleh orang lain. Tapi untuk menikah dengan Fajar dan menjalankan tanggung jawab sebagai istri sepenuhnya juga bukan pilihan yang menyenangkan hatinya.
"Siapa yang akan mengasuh Naysilla, Mas?" Sementara Mas sendiri jelas sangat sibuk PPDS sampai dua tahun mendatang", tanya Fira. Setidaknya ia ingin memastikan Naysilla diasuh dengan maksimal.
"Naysilla putriku. Dia tanggung jawabku. Soal siapa yang akan mengasuh, biar jadi urusanku. Jika kamu tidak menikah denganku, kamu tidak wajib mengurus Naysilla. Aku akan cari pengasuh yang amanah atau istri yang shalihah yang bisa menerimaku dan mengasuh Naysilla dengan kasih sayang."
"Mas Fajar! Njenengan jangan kejam dengan saya! Saya menyayangi Naysilla. Nggak adakah win-win solution? Saya nggak bisa tidak peduli pada Naysilla, tapi saya juga nggak mau menikah sama njenengan. Njenengan jelas paham siapa yang saya cintai...", Fira kembali terisak.
"Nggak, Fir! Maaf! Aku memilih tidak ada jalan tengah, karena jalan tengah tidak selalu jadi solusi terbaik. Seringkali membuat kita semakin terjepit dan berlarut-larut tanpa penyesaian yang tegas", Fajar ingin melanjutkan kalimatnya. Tapi ia tidak tega saat mendengar tangis Fira yang sebelumnya sempat berhenti.
"Fira.. Maafin Mas ya.. Aku nggak bermaksud membuatmu dalam posisi sulit. Aku hanya meminta ketegasanmu. Jikapun kamu menolak menjalankan wasiat almarhumah, aku nggak menyalahkanmu.."
Fira masih terisak. Ia belum mampu berkata-kata lagi.
Fajar menyodorkan selembar tisue pada Fira, tapi gadis itu tidak menerima ulurannya. Justru sibuk menghapus air mata dengan ujung jilbabnya.
"Mas, nggak ada tugas? Kok bisa lama-lama di sini?" Fira berusaha mengalihkan pembicaraan.
Fajar tidak menanggapi pertanyaan Fira. Ia kembali melanjutkan kalimatnya, "Fira! Kamu sebentar lagi sumpah dokter, kan. Jadi dokter itu harus tegas, tidak boleh bimbang, apalagi dalam situasi darurat. Dalam triase misalnya, kamu harus putuskan mana prioritasmu. Meskipun dia masih bernafas, tapi cedera kepala berat yang kemungkinan hidup sangat kecil, sementara ada pasien lain yang penurunan kesadaran karena hipoglikemia misalnya. Kamu harus tegas menentukan mana label merah yang harus segera kamu beri pertolongan dan mana label hitam yang tidak diberi pertolongan karena kemungkinan hidup yang sangat kecil. Nggak mungkin kan kamu fokus nolong keduanya."
Fira tidak menjawab. Sementara Fajar kembali berbicara, "Misalnya lagi, dalam setting ruang ICU. Jika pasien itu sudah mati batang otak, ya sudah lepaskan saja ventilatornya, biar dipakai orang lain yang masih ada harapan hidup. Skala prioritas itu penting. Kamu paham maksud saya Fira?"
"Iya.. Mas..", jawab Fira pendek di tengah isakan tangisnya.
"Percayalah, Fir! Aku juga nggak mau dalam kondisi seperti ini. Pilihanku sangat sulit, dan prioritasku adalah Naysilla. Meskipun risikonya aku harus menikung kekasih sahabat terbaikku..", Fajar setengah berbisik. Sekuat tenaga ia menahan butiran bening itu agar tidak meleleh di pipinya.
"Masss.. Maksudnya, Mas Fajar bersedia menjalankan wasiat Ifah? Nggak!! Saya tahu Mas sangat mencintai Ifah! Mana mungkin Mas bersedia menikahi saya?!" Fira semakin histeris. Suara tangisnya pun semakin keras.
"Ya! Jika kamu bersedia, aku memang akan menikahimu!" Jawab Fajar pendek.
Kedua pasang manusia itu saling mendiamkan diri. Sibuk dengan kecamuk perasaan masing-masing.
"Fira.. Semua terserah padamu. Aku ikhlas menerima apapun keputusanmu. Aku sangat mencintai Ifah, tapi Allah lebih mencintainya. Aku bisa apa, Fir? Aku juga menyayangi Naysila. Akan kulakukan apapun untuknya. Dan aku tahu nggak ada yang lebih tulus menjadi ibu sambungnya kecuali kamu. Lahir, rezeki, jodoh, mati itu kuasa Allah. Jika jalan jodohku memang seperti ini, mana mungkin aku bisa menghindarinya? Tapi pegang janjiku, Fir! Jika kamu bersedia memenuhi wasiat almarhumah, aku janji akan membuatmu bahagia. Aku tidak main-main dalam pernikahan.." Fajar mulai tak sanggup menguasai diri, air matanya menganak sungai.
Fira terdiam lama sekali. Jujur ia bimbang menentukan prioritasnya. Jika soal cinta tentu saja dia pilih Raffi. Tapi fakta bahwa Raffi tidak mengizinkanya bekerja setelah menikah jelas membuatnya ragu. Orang tuanya pun lebih menyukai Fajar dibanding Raffi. Sepuluh tahun mereka berusaha, tapi orang tuanya belum juga sepenuhnya memberi restu. Sementara usia Fira sudah hampir 24 tahun, sudah saatnya memikirkan masa depan dan pernikahan. Sedangkan Fajar jelas akan mendapat lampu hijau, terutama dari bapaknya. Dokter, calon spesialis orthopedi, dosen muda, berakhlak baik, dan berasal dari keluarga terpandang. Secara fisik pun Fira tidak membantah bahwa Fajar yang berbadan tegap, berwajah tampan dengan hidung mancung, dan berkulit bersih tampak lebih rupawan dari Raffi kekasihnya yang berkulit gelap.
"Maaf, Mas! Saya nggak bisa ngasih jawaban sekarang..", ucapan Fira memecah kesunyian.
"Aku nggak minta kamu putuskan sekarang. Pernikahan itu hal yang sangat sakral dan menentukan seluruh hidupmu di masa depan. Tapi juga jangan lama-lama. Shalat istikhoroh lah. Seminggu lagi akan kutanya. Jika kamu masih belum memberi jawaban akan kuanggap kamu menolaknya", jawab Fajar tegas.
"Baik, Mas! Tapi Fira juga minta, selama proses istikhoroh, Mas jangan menghubungi Fira. Dan satu lagi, saya mohon untuk tetap diizinkan mengasuh Naysilla seperti biasa", Fira berkata sambil mengucek matanya yang sembab. Kelopak matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.
"Ok.. Aku penuhi permintaanmu. Seminggu lagi aku akan mencarimu..", ucap Fajar sambil menatap Fira. Tebersit rasa kasihan melihat kondisi Fira yang tampak sangat kacau.
"Kamu bisa pulang sendiri, Fir? Perlu kuantar?" tawar Fajar saat melihat Fira berdiri dengan sedikit sempoyongan.
"Nggak usah, Mas! Cuma ke Sendowo, deket kok. Sering kelayapan malam-malam juga pas stase forensik", tolak Fira.
"Yaudah kalau kamu nggak mau. Aku juga pamit, ya! Mau follow up pasien post operasi tadi siang", kata Fajar sambil beranjak dari duduknya.
Fira berusaha bangkit dari duduknya. Suasana hati yang kacau ditambah ia tidak sempat makan siang membuat badannya limbung. Hampir saja ia jatuh kalau Fajar tidak menangkapnya.
"Fir?! Kamu lemes banget gini. Udah tak anter aja ya! Tunggu di sini! Aku ambil motor bentar di parkiran rumah sakit", ucap Fajar sambil menumpu badan Fira.
Sontak Fira menepis tangan Fajar. Setengah berteriak ia berkata, "Nggak mau!! Fira bisa pulang sendiri!!"
Usai berkata seperti itu Fira berusaha sekuat tenaga mempercepat langkahnya. Meninggalkan Fajar yang hanya mampu berdiri kaku memandang punggungnya dari kejauhan dengan tatapan penuh iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Safira
RomansaDemi memenuhi wasiat Ifah, sahabatnya, Fira ikhlas menikah dengan duda dari sahabatnya itu. Sekaligus janji untuk mengasuh Naysila putri Ifah dan Fajar yang berkebutuhan khusus. Padahal Fira telah lama menjalin kasih dengan Raffi. Dengan alasan itu...