"Nama?"
Seorang pria dengan perawakan tinggi hanya memandang tanpa minat pada dua orang polisi yang tengah menginterogasinya. Jangankan menjawab, mengeluarkan suaranya pun dia terlihat enggan. Menjawab atau tidak, akan sama saja. Dia akan tetap dimasukkan ke dalam sel.
"Mungkin dia bisu." Polisi dengan nametag Brian berkata dengan nada mencemooh.
"Atau tuli." Polisi lainnya turut mengeluarkan suaranya dengan gaya menyebalkan. Kemudian mereka tertawa bersama seolah pembicaraan mereka sangatlah lucu.
Pria tinggi yang sedang diinterogasi hanya mendengus. Dalam benaknya justru balik mencemooh para polisi di depannya ini. Ternyata polisi Indonesia lebih konyol dari polisi Amerika.
"Hoy anak muda. Mari buat ini lebih mudah. Kamu cuma perlu jawab pertanyaan kami dan semua akan selesai. Memangnya kamu enggak capek duduk di situ selama dua jam?"
"Markeu." Si pria yang sedang diinterogasi akhirnya menjawab dengan santai. Bosan juga karena terlalu lama memandangi wajah dua orang polisi konyol ini.
Kedua polisi sama-sama mengernyit, "Maku?"
Mark -si pria yang sedang diinterogasi- nyaris terbahak jika saja dia tidak ingat di mana kini dia berada. "Pak, bukankah Anda yang tuli? Perlu kuperjelas siapa namaku?"
"KAMU!-"
"Markeu. Namaku Markeu. M A R K E U." Ejanya. Mungkin saja kedua polisi ini mempunyai pendengaran yang tidak baik.
Polisi Brian segera mengetik di laptopnya, sedangkan polisi lainnya terus menginterogasi Mark. Bertanya apa yang sebenarnya terjadi di tempat kejadian. Semua pertanyaan tidak ada satu pun yang dijawab oleh Mark. Dia lebih memilih untuk tutup mulut atau semuanya akan terbongkar dan menyusahkan dirinya di kemudian hari.
~
~
~
Bandung hari itu diguyur hujan sedari pagi buta. Menarik kembali selimut adalah jalan terbaik jika saja tidak ada hal yang harus dia selesaikan hari itu juga. Markeu menarik napas panjang, mempersiapkan hati dan badan untuk segala kemungkinan yang akan dia terima di akhir hari.
Sejak satu jam yang lalu dia sudah disibukkan dengan tumpukan pakaian yang akan dia masukkan ke dalam koper. Tugasnya sudah selesai dan dia harus kembali ke tempat asalnya. Jika terlambat, maka nyawa yang akan jadi taruhannya. Dan maaf, Mark tidak sebodoh itu untuk menyerahkan nyawanya dengan sia-sia.
Perjalanan dari rumah ke stasiun tidaklah jauh. Dengan menaiki motor hasil pinjaman dari salah satu kawannya, dia menyusuri jalanan Kota Bandung.
Bandung tidak pernah mengecewakan, selalu bersahabat kapan saja dia datang ke sini. Dinginnya Bandung selalu menjadi teman malamnya selama dia menetap di kota yang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik menawan. Berbicara tentang gadis cantik, dia jadi ingin memboyong satu atau dua gadis untuk ikut ke Los Angeles.
Laju motor mulai memelan saat Mark memasuki area parkir stasiun. Memarkir motornya dengan apik dan segera pergi menjauhi stasiun.
"Kau sudah di tempat?" Dengan ponsel menempel di telinga, Mark terus berjalan menyusuri jalanan sempit di samping stasiun. "Bagus, aku segera sampai." Sambungan telpon diputus dan dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
Tujuannya sedari awal memang bukan stasiun kereta, tapi suatu tempat yang dekat dengan bangunan itu. Rumah kumuh yang jauh dari hiruk pikuk Kota Bandung. Ini akan menjadi kali terakhirnya ke tempat itu. Karena sebentar lagi dia akan pergi meninggalkan kota bersejarah ini.