Mark baru saja memutuskan sambungan telponnya bersama sang ayah yang tinggal di Los Angeles. Menghabiskan waktu selama dua jam untuk bercakap-cakap dan melepas rindu. Sudah lima tahun dia tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya, karena dia diharuskan untuk mengurus anak perusahaan milik ayahnya. Keluarganya merupakan keluarga terpandang dan juga kaya. Siapa yang tidak tau Mark Tuan? Pemuda berusia dua puluh enam dengan kekayaan yang melambung tinggi. Merupakan seorang putra dari pemilik perusahaan yang bergerak di bidang properti.
Kekuasaan pemuda itu tidak bisa diragukan lagi, dia juga merupakan pemegang saham terbesar di salah satu kampus besar di Seoul.
"Ayahmu?" sebuah suara memecah keheningan malam ini. Mark menoleh dan menemukan Bambam berdiri di pintu kamarnya.
Mark mengangguk dan menggerakkan tangannya agar Bambam mendekat. Tanpa diperintah dua kali Bambam segera menghampiri Mark yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang.
"Kemari," ujar Mark sembari menepuk tempat kosong disisinya. Bambam menurut dan mendudukkan dirinya di samping Mark; ikut bergabung dengan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Mark mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Bambam, memandang pemuda berkaki jenjang itu dengan lembut, "Kenapa? Sesuatu mengganggumu?" tanyanya.
Bambam memejamkan matanya saat merasakan usapan lembut di pipi chubbynya.
"Bam..." panggil Mark. Bambam menggeleng, tidak ingin menjawab apapun karena dia masih saja memejamkan matanya.
Mark tau, bahwa Bambam sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi dia tidak ingin memaksa Bambam untuk berbicara. Biarlah Bambam yang membuka semuanya, mungkin saat ini Bambam belum siap untuk berbicara.
"Sudah makan?" tanya Mark mengalihkan pembicaraan mereka. Bambam mengangguk, dan dia melesakkan tubuhnya pada tubuh Mark.
"Mark hyung.." gumamnya di dada Mark. Mark memeluknya erat dan menggumam sebagai jawaban, "Bagaimana kabar kedua orang tuamu?" lanjut Bambam masih dengan suara yang tidak jelas karena dia membenamkan wajahnya pada dada Mark.
Mark mengernyit, suara Bambam memang tidak terlalu jelas tapi dia masih bisa mengangkap apa yang Bambam ucapkan, "Kenapa berbicara seperti itu?"
"Apa aku tidak boleh menanyakan kabar kedua orang tuamu?" kali ini suara Bambam terdengar lebih jelas karena dia sedikit menjauhkan wajahnya dari dada Mark.
Mark semakin tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada Bambam hingga pemuda manis ini berbicara melantur, "Bukan begitu," Mark merenggangkan pelukan mereka tapi tanggannya masih berada di pinggang ramping Bambam -tidak melepasnya sama sekali- "Kau ini kekasihku, kau sudah mengenal keluargaku bahkan kedua orang tuaku memintamu untuk memanggil mereka mommy dan daddy. Kau juga sudah sejak lama memanggil mereka begitu, kenapa tiba-tiba menjadi kedua orang tuamu?" tanya Mark panjang lebar.
Bambam tidak ingin memandang Mark jadi dia lebih memilih untuk mengalihkan pandangannya kemanapun yang penting tidak ke arah Mark.
"..." Bambam membisu, enggan untuk menjawab apapun, yang dia pikirkan saat ini adalahkenapa orang-orang itu begitu tega padanya?
Mark paling benci bila diabaikan, melihat Bambam yang hanya membisu membuatnya kesal, dengan sedikit kasar dia meraih dagu Bambam agar mendongak dan menatapnya, "Katakan." ucapnya dingin.
Bambam semakin membisu, perkataan teman-teman kampusnya terus menghantui kepalanya, cengkraman pada dagunya mengencang dan membuatnya tersentak. Bambam menatap Mark yang memandangnya penuh kilatan marah, "Jawab."
Semakin memikirkan kata-kata teman kampusnya dan sekarang ditambah tekanan dari Mark semakin membuat kepalanya pening dan matanya mulai memanas. Tanpa sadar kristal bening mulai turun dari pelupuk matanya.