Bagian 5

1.3K 169 16
                                    

"Aku tidak ingin jadi beban hanya karena memaksakan mimpiku."
.
.
.
.

Happy reading

.
.
.

Nuca memang luar biasa, Mahalini harus mengakui kalau dia lagi-lagi terpesona pada cowok itu. Kepribadiannya benar-benar berbeda dengan umurnya yang kini masih 18 tahun, ia seperti pemuda berusia 25 tahun, yah memang benar, Nuca sudah mengatakannya pada Lini, tapi tetap saja, semua yang terjadi terus mengejutkannya.

Ia terlalu mengenal Sue, kakaknya itu bukan tipikal orang yang mudah di buat tertarik, tapi Nuca berhasil mengambil hatinya bahkan sejak senyum pertama yang dia lontarkan.

Sue tergila-gila pada Nuca, bahkan anaknya yang berumur tiga tahun---Emely---juga.  Mahalini hanya menjadi seorang kurir yang mengantarkan mereka hadiah, hampir terlupakan.

"Jadi, kapan kalian akan ke Bali."

Mahalini tersedak kangkung saat celotehan itu keluar dari mulut Sue, mereka sedang menyantap makan malam setelah pembicaraan menyenangkan---bagi mereka, karena bagi Lini tidak---diruang tamu.

Nuca menatap Lini sesaat, masih terus saja tersenyum hingga Lini merasa kalau senyum itu benar-benar tulus. "Kapanpun Lini siap." katanya mengalihkan pandangan pada Sue.

"Ugh." Lini mengerang dibuatnya.

"Sepertinya mama bakal senang kalau kalian berkunjung." Sue tertawa-tawa.

"Yah! Aku sangat yakin itu... " Lini menyahut skeptis.

"Kau tau, Ca, kami mulai putus asa pada Lini, dia cantik tapi tidak ada cowok yang mau memacarinya karena dia agak aneh." Sue berbisik lewat gigi-giginya yang terkantup. "Ku kira dia akan kesulitan mendapatkan calon suami."

"Kak! Aku masih dua puluh!" Mahalini memelototi piringnya.

"Hanya berjaga-jaga, siapa tau, kan? Waktu berjalan dengan tidak terasa."

"Belum bukan berarti tidak, ku kira Lini hanya perlu percaya diri pada kecantikannya, maka ia bisa mendapatkan cowok mana pun yang ia inginkan." Suara Nuca terdengar, mengalun seperti melodi indah yang diciptakan komposer profesional, menghipnotis.

"Oh ya ampun, andai aku belum menikah." Sue keranjingan sendiri. Lini sampai mual melihatnya.

"Tapi, kak, kurasa tidak lama lagi juga bakal terjadi, Lini, kan sebentar lagi akan menjadi dokter, rasanya tidak akan ada yang bisa menolak pesonanya." Nuca memandang Lini lagi, kali ini lebih lama.

Mahalini ikut memandangi cowok itu, berusaha menyimpulkan, itu pujian atau hanya---lagi-lagi---bagian dari sandiwara?

"Tentu, kalau dia melakukan segalanya dengan benar daripada hanya bermain-main." Sue mendesah. "Lagipula, aku masih jadi pendukung setia mu, Nuca, kalau Lini punya pasangan, cowok itu adalah kau."

Nuca tergelak sebelum bicara. "Amin... " katanya.

Mahalini merasakan perutnya seperti dipilin.

Akhirnya mereka bisa pulang juga, walau Sue bersikeras meminta mereka menginap, tapi Nuca menolak dengan dalih kalau Mahalini harus kuliah besok dan ia harus bekerja juga.

Memang benar, Lini sudah melewatkan kuliahnya hari ini, dan Nuca juga bolos bekerja. Dan bagaimana pun, besok Nuca juga harus kembali sekolah dengan seragam putih abu-abunya.

Ingatan bahwa ia memacari anak SMA kembali membuatnya mengerang.

"Ada apa?" Nuca bertanya sambil menengok dari fokusnya ke jalan, kali ini Nuca lagi yang menyetir, dan erangan Lini ternyata terlalu keras.

HIRED BOYFRIEND [Nuca×Lini]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang