002

3.6K 262 27
                                    

"Tidak apa apa jika aku putus sekolah--tetapi jika aku kehilangan tempat tinggal--aku mau tinggal dimana? Sementara gajiku di cafe hanya pas untuk makan, minum, dan peralatan mandi. Lalu, apa yang harus kulakukan?" Ujar (Namakamu) lirih. Ia berjalan mondar mandir sambil bergetar--memegangi ponselnya. Ia tak tahu, siapa yang harus ditelfonnya.

"Menjadi jalang dalam semalam juga tak bisa membayar apartemenku yang sudah menunggak enam bulan. Berserta air, listrik, uang keamanan, kebersihan, dan lainnya. Dan semuanya benar benar sudah menungak" Ujar (Namakamu).

"Lagipula, aku tidak sanggup jika harus melayani lebih dari satu pria dalam satu malam" Lirih gadis itu.

"Yatuhan, maafkan aku ma, aku tidak bisa menjaga keperawananku setelah ini--maafkan aku telah mengingkari janjiku" Lirih (Namakamu) sedih. Sebelum wafat, ibunya menggenggam jemarinya hangat. Sesulit apapun masalah yang dihadapi (Namakamu). Jangan pernah menjual dirinya. Jangan pernah.

"Tidak pernah kubayangkan. Semenjak ibuku meninggal hidupny semenyedihkan ini--dan harus menjual milikku pada pria hidung belang--agar aku masih bisa hidup. Atau tidak, bisa bisa aku dipenjarakan" Lirih (Namakamu). (Namakmu) mencoba mengutak atik ponselnya. Seketika, ia teringat pada bank. Ia harus mencoba, meminjam uang pada bank, walau bunganya terbilang besar.

Panggilan terhubung

"Halo, bisa saya meminjam uang?" Ujar (Namakamu) langsung menyeblak.

"..."

"Oh ya selamat pagi, dan aku tahu" Balas gadis ini barbar.

"..."

"Hem--hanya 700 juta" Ujar (Namakamu).

"..."

"Kenapa hanya 300 juta bisanya? Kenapa bank kalian terlalu miskin?!" Celetuk (Namakamu).

"...."

"Bunganya besar! Tetapi pinjamannya sedikit, huh, apa mau kalian?!" Celetuk (Namakamu) lagi.

"..."

"Bukan bukan--tidak masalah jika semuanya 300 juta" Ujar (Namakamu) akhirnya mulai pasrah. Padahal untuk tetek bengek tunggakan apartemennya saja, itu kurang.

"..."

"Persyaratan apa?" Tanya (Namakamu).

"..."

"Sebentar" Ujar (Namakamu). Secercah harapan muncul dimata gadis itu. Ia segera membuka lacinya dan mencari kartu tanda pengenalnya, ia mengobrak abrik lacinya. Ia menemukan kartu tanda pengenalnya. Dan ia tersenyum sumringah.

"Ada!" Ujar (Namakamu), mungkin ia akan menambahkan beberapa puluh juta lagi dengan cara menjual diri di club. Ia tak punya pilihan lagi.

"..."

"Surat penghasilan?---pengasilanku hanya

"Ini semua gara gara Iqbaal. Gara gara Vanesha! Andai aja mereka tidak menikah--ibuku tidak akan meninggal karena serangan jantung!" Lirih (Namakamu) berteriak dan melempar ponselnya ke cermin. Kini cermin sudah hancur lebur.

"Aku tidak tahu dimana kau--Iqbaal--hiks!" Isak gadis itu. Jika Iqbaal mengetahui (Namakamu) kesusahan seperti ini. Iqbaal pasti tidak akan membiarkan (Namakamu) begitu saja.

Gadis itu mengusap air matanya dan menatap ke cermin yang sudah bolong ini. Ia mencoba tersenyum.

"Aku harus ke club" Ujar gadis itu dengan tekatnya. (Namakamu) mencoba mengambil ponselnya lagi. Dengan panik, gadis itu berusaha menekan tombol on offnya, dan bagus. Ponselnya tak menyala lagi.

"Ponselku dari usia 15 tahun. Dan baru mati sekarang?" Ujar gadis itu meremas ponselnya dan membuangnya kesegala arah.

Ia berusaha mencari pakaiannya di lemari. Ia membongkarnya, dan menemukan pakaian yang ia beli sewaktu usianya 18 tahun. Ya, ini baju pesta pilihan Holly. Meskipun usang. Tak meninggalkan kesan seksi dipakaian ini.

DESTROYED [IDR]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang