22. the program

1.1K 134 7
                                    

22. Rencana

Pekikan para murid mulai memenuhi area tersebut. Kini, di bawah pohon rindang--di belakang sekolah sudah dikerumuni oleh sekumpulan orang yang kepo terhadap masalah pembunuhan Anya. Caroline pun ada di sana. Gadis ini begitu terkejut melihat kondisi mayat Anya yang benar-benar terlihat mengenaskan.

Terlihat jelas bagaimana darah memenuhi leher mayat tersebut, membuat Caroline jadi bergidik ngeri. Caroline sudah yakin, bahwa ini adalah ulah seorang vampier. Tapi siapa orangnya? Apa mungkin Sebastian atau ... Xander? Sampai sekarang hanya mereka yang Caroline kenal sebagai vampier.

Caroline mendengkus lalu beranjak untuk pergi dari sana. Tangannya kini mengutak-atik handphone, kemudian menempelkannya pada daun telinga.

Caroline berdecak ketika panggilannya tidak juga di angkat. "Tidak biasanya Brent tidak mengangkat telepon dariku," gumam Caroline seraya memasukkan handphone tersebut ke dalam saku dengan raut wajah kesal.

"Apa dia sudah mengetahui tentang kematian Anya?" Caroline bermonolog. Dengan perasaan resah, ia melangkahkan kakinya untuk menuju kelas Brent. Untung saja hari ini jam belajar di kosongkan karena para guru sibuk mengurus tentang insiden Anya, jadi Caroline bisa bebas sekarang.

Caroline tiba di depan pintu kelas Brent. Gadis ini mengintip ke dalam kelas dan tidak menemukan siapapun di sana. Caroline pun memutuskan untuk pergi dari sana sebelum kedatangan seorang lelaki menghentikan pergerakannya.

"Em, apa kau melihat Brent? Kau teman sekelasnya Brent, kan?" tanya Caroline beruntun, membuat lelaki itu menoleh ke arahnya.

Kening lelaki tersebut mengernyit, menandakan bahwa ia tengah mengingat-ngingat sesuatu. "Ah, Seingatku ... dia belum masuk ke kelas hari ini," jawabnya kemudian.

Caroline mengangguk seraya tersenyum canggung. "Oh ... kalau begitu, terimakasih."

Setelah mendapat anggukan dari lelaki itu, Caroline kembali melenggang menelusuri lorong sekolahnya. Ia benar-benar merasa kebingungan. Alhasil, Caroline memilih untuk mendudukkan tubuhnya di kursi kantin.

Suasana kantin kali ini cukup sepi, mengingat para murid nampaknya masih fokus untuk melihat keadaan Anya di taman belakang sekolah sana.

"Apa mungkin, ini ada hubungannya dengan kehilangan stok darah di rumah sakit waktu itu?" Caroline menumpu kedua tangannya di atas meja. "Apa pelakunya juga sama?" sambungnya lagi.

Mengingatnya, membuat pikiran Caroline tertuju kepada sebuah insiden di satu tahun yang lalu. Dulu, di sekolahnya juga pernah ada pembunuhan seperti ini. Korbannya juga mengalami luka di bagian leher, sama percis dengan apa yang terjadi pada Anya. Sebenarnya siapa dalang dari semua ini?

Caroline menundukkan kepalanya di sana. Sesaat, sebelum ia merasakan bahwa seseorang telah menepuk bahunya--dan membuat Caroline mendongak untuk melihatnya.

"Nick?"

Lelaki yang tak lain ada Nick ini tersenyum lalu duduk di samping Caroline. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya kemudian.

"Aku hanya ... mencari angin saja," alibi Caroline.

"Kau tidak melihat kondisi di belakang sekolah, seperti yang lainnya?"

Caroline menggeleng kecil. "Aku sudah melihatnya tadi, dan itu membuatku jadi sedikit resah. Aku tidak bisa lama-lama menatap mayatnya."

Nick bergumam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Menurutmu, siapa pembunuhnya?"

Caroline menoleh ke arah Nick ketika lelaki itu mengajukan sebuah pertanyaan yang sesuai dengan pikirannya.

"Apa mungkin, pelakunya adalah seorang vampier?"

Caroline berusaha untuk tidak terkejut ketika Nick kembali melontarkan sebuah pertanyaan. Bagaimana lelaki itu bisa mengajukan pertanyaan ini?

"Kau ... percaya dengan keberadaan vampier, Nick?" Caroline balik tanya, membuat Nick terkekeh.

"Di dunia ini tidak ada yang mustahil. Aku percaya-percaya saja, jika hal tersebut masuk akal," balas Nick.

Caroline mengerjap, sekaligus merasa takjub dengan jawaban Nick. Ia kira, hanya dirinya saja yang mempercayai tentang makhluk immortal itu. Tetapi nyatanya, Caroline tidak sendirian. Ia harus segera memanfaatkan hal ini untuk menyelesaikan kasus tentang kematian Anya dan hilangnya stok darah di rumah sakit itu.

"Bagaimana kau bisa beranggapan, bahwa pelakunya adalah seorang vampier?" tanya Caroline.

Nick nampak berpikir sesaat sebelum menjawab, "Jujur saja, aku suka membaca cerita bergenre fantasi. Jadi, aku bisa berasumsi begitu," kekehnya kemudian.

"Kau sendiri, apa kau percaya dengan vampier?" Caroline sempat gelagapan ketika Nick bertanya seperti itu. Apa yang harus ia jawab, sedangkan dirinya sendiri pernah bertemu langsung dengan sosok itu. Bahkan, Caroline bertemunya hampir setiap hari. Yah, siapa lagi jika bukan Sebastian.

"Aku ... " Caroline mulai berpikir, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari Nick. "Aku sama sepertimu, pecinta genre fantasi. Maka dari itu aku percaya dengan keberadaan vampier," sambungnya sambil tersenyum palsu.

Nick tertawa kecil lalu mengacak pucuk rambut Caroline dengan gemas. "Ternyata kesukaan kita sama," ujarnya, seraya membalas senyuman dari Caroline.

Caroline terhenyak ketika dirinya menyadari sesuatu. "Apa pelaku tentang hilangnya stok darah di rumah sakit milik Ayahmu itu sudah tertangkap, Nick?"

Nick menggeleng kecil. "Belum. Aku juga kebingungan karena si pelaku tidak meninggalkan jejak sedikitpun," jawabnya.

Caroline mendengkus lalu membalas, "Kurasa, itu ada hubungannya dengan kematian Anya."

"Aku setuju dengan ucapanmu. Pasti kedua insiden tersebut saling berhubungan. Kita harus mencari tahu siapa pelakunya. Apa kau mau membantuku?" Ucapan Nick langsung disambut dengan anggukan antusias dari Caroline.

"Tentu saja. Aku akan sangat senang jika bisa membantumu," sekaligus aku juga akan mencari tahu lebih dalam tentang vampier, sambung Caroline dalam hati.

"Syukurlah." Nick meraih lalu menggenggam salah satu tangan Caroline. "Kita akan bongkar siapa dalang dari semua ini. Aku sudah tidak sabar untuk menghukum pelakunya," sambungnya, membuat Caroline tersenyum kecil.

Caroline menarik tangannya dari Nick. "Em, nanti saat pulang sekolah, aku akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Sarah. Kau mau ikut?"

Nick mengangguk. "Bagaimana jika kita ke sana sekaligus untuk meneliti tentang kasus itu? Kasus--hilangnya stok darah di rumah sakit Ayahku. Semoga saja, kehadiranmu bisa membantu di sana."

"Baiklah, Aku setuju. Kita akan selidiki kasus ini dan mencari tahu siapa pelakunya."

_________________________________

Call Me, Sebastian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang