50. It's over

1.6K 125 3
                                    

50. Sudah berakhir

Caroline berlari menyusuri lorong rumah ini. Senyumannya terus saja mengembang. Ucapan Xander tadi kini memenuhi pikirannya. Caroline sudah tidak sabar untuk menemui Ibunya sekarang.

Yah, untuk sekian lamanya, akhirnya Ibunya itu telah sembuh!

Caroline juga awalnya tidak menyangka, tetapi setelah mendengar penjelasan dari Xander tadi, membuat Caroline percaya. Xander bilang bahwa tabib yang mengobati Ibunya itu sangat ahli dalam menangani kasus ini. Hal inilah yang membuat kondisi Ibunya cepat membaik.

Caroline menghentikan larinya tepat di sebuah pintu yang tertutup. Sesaat, ia mengatur nafasnya yang sempat tidak teratur akibat berlariannya tadi. Entah kenapa, Caroline menjadi deg-degan saat tangannya mulai terulur untuk membuka pintu tersebut.

Bayangannya bersama Ibunya dulu, terbayang kembali di dalam otaknya. Memorinya ikut berputar.

Flashback on.

"Mom, kenapa sih ... Caroline itu dijaga terus sama bodyguardnya Papa?" Caroline yang masih berumur enam tahun itu menampilkan wajah cemberutnya. Ia memainkan ujung baju Loren dengan asal.

Loren tersenyum kecil lalu merubah posisinya menjadi jongkok agar tingginya setara dengan puterinya ini.

"Itu semua karna Mama sama Papa sayang sama Caroline. Kami gak mau kalau kamu itu sampai kenapa-kenapa," jawab Loren seraya membenarkan ikatan di rambut Caroline.

Caroline memajukan bibirnya. "Jadi itu semua karna kalian sayang sama Caroline?" tanyanya lagi.

Loren mengangguk kecil. "Mama sayang banget sama kamu, begitupun Papa. Jadi kamu jangan nakal, ya?"

Caroline mengangguk seraya mengembangkan senyumannya. Hal itu membuat Loren ikut tersenyum. Dirinya mengecup kening Caroline dengan singkat lalu beranjak untuk memeluknya.

"Kamu harus tumbuh jadi gadis yang baik ya, Sayang. Biar kamu di sayang sama banyak orang."

Flashback off.

Pesan itulah yang selalu Caroline ingat sampai sekarang. Tak terasa, setetes air mata keluar dari sudut matanya. Dulu, Caroline memang sangat dekat dengan Loren. Caroline tidak bisa mengutarakan rasa bahagianya lagi ketika ia mengetahui bahwa Ibunya telah sembuh.

Caroline menghela nafasnya. Dengan memberanikan diri, ia membuka pintu tersebut hingga alhasil ia bisa masuk ke dalam kamar itu.

Caroline merasakan bahwa darahnya kini berdesir hebat. Pandangannya langsung tertuju ke arah sesosok wanita yang tengah berdiri di depan jendela. Wanita itu nampak termenung menikmati keindahan senja di sore hari dan tak sadar bahwa Caroline telah berdiri di ambang pintu.

"Mom?"

Caroline memanggilnya secara tak sadar. Namun hal tersebut berhasil membuat wanita itu bergerak untuk menoleh ke arahnya.

Caroline masih menunggu reaksinya. Wanita itu ... Loren, nampak kaget melihat kehadirannya.

Entah kenapa Caroline merasakan sesak di dalam dadanya. Matanya sudah berkaca-kaca. Rasa haru bercampur bahagia sudah bercampur di dalam hatinya. Ia tidak bisa berkata-kata lagi.

"Caroline?"

Caroline merasa bahwa dunianya telah berhenti. Apakah ia tidak salah dengar? Wanita itu ...

Memanggilnya?

"Kamu Caroline, kan?" tanyanya lagi, membuat Caroline menitikkan air matanya.

Caroline melangkahkan kakinya untuk mendekati wanita itu, begitupun sebaliknya. Mereka saling berjalan dengan menampilkan raut wajah yang tidak bisa diartikan.

Caroline merapatkan bibirnya, sementara pipinya sudah basah oleh air mata. Tanpa berbicara lagi, dirinya langsung menerjang wanita itu dan memeluknya dengan erat.

"Iya, ini Caroline. Caroline puteri kecilnya Mommy ..." cicit Caroline, mempererat pelukannya. Isakannya sudah tidak bisa dikontrol lagi. Sementara Loren, wanita itu terlihat mematung. Namun perlahan tangannya bergerak untuk membalas pelukan Caroline.

"Kau ... puteriku?"

Caroline mengangguk dengan antusias. "Iya, ini Caroline."

Caroline terisak. Ia menenggelamkan kepalanya di bahu wanita itu. Berbeda halnya dengan Loren. Wanita itu kini mengembangkan senyumannya lalu mengangkat tangannya untuk membelai rambut Caroline dengan sayang.

Di sisi lain, Xander dan Sebastian sudah tiba di ambang pintu. Keduanya sama-sama terkejut ketika melihat Caroline dan Loren yang sama-sama tengah berpelukan. Selanjutnya, Xander tersenyum lalu berjalan mendekati mereka berdua.

"Apa di antara kalian ada yang merindukanku?" Pertanyaannya mampu membuat pelukan Caroline dan Loren terlepas. Mereka menatap Xander dan Sebastian secara bergantian.

Loren membalas senyuman Xander. Ia sudah tahu semuanya, karna Xander menceritakan itu semua. Ia juga sudah memaafkan Xander, karna bagaimanapun juga, ia turut ambil salah dengan semua yang terjadi.

Xander menarik Loren ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Loren. Aku sudah mempunyai banyak salah terhadapmu," bisiknya, namun masih dapat di dengar oleh semua orang.

Loren mengangguk. "Aku juga turut salah, Xander. Aku sudah memaafkanmu," jawabnya seraya membalas pelukan Xander. Keduanya sama-sama berpelukan, hingga melupakan bahwa ada dua orang lagi yang berada di sana.

"Indahnya cinta remaja," goda Caroline, membuat pelukan Xander dan Loren terlepas.

Xander terkekeh seraya mengalihkan pandangannya ke arah Sebastian. "Sampai kapan kau akan berdiri di situ? Ayo ke sini, dan peluklah puteriku ini."

Sebastian tersenyum kecil kemudian berjalan mendekat. Ia meraih tangan Caroline lalu mengajaknya untuk mendekati Loren dan Xander.

"Aku ingin meminta ijin kepada kalian," ujarnya, membuat mereka bertiga memandangnya dengan tatapan bingung.

"Meminta ijin untuk apa?" tanya Xander.

Sebastian menyungging senyum. Ia semakin mempererat genggamannya pada tangan Caroline lalu berkata, "Aku ingin menikah dengan Caroline. Apa kalian mengijinkannya?"

________________________________

Call Me, Sebastian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang