23. Boleh aku berkata sesuatu?
Caroline keluar dari kelasnya dengan tergesa-gesa. Ia mengambil tas, lalu beranjak untuk pergi dari sana. Ternyata anggapan bahwa semua jam pelajaran di bebaskan adalah tidak semuanya benar. Saat di waktu-waktu terakhir, seorang guru masuk hingga membuat kelas Caroline telat untuk pulang.
"Pasti Nick sudah menungguku dari tadi," desis Caroline, mempercepat tempo langkahnya. Sesuai dengan rencananya, ia dan Nick akan pergi ke Rumah sakit untuk menjalankan misi yaitu menyelidiki kasus yang pernah ia bahas sebelumnya.
Namun saat di perbelokan lorong, sebuah pergerakan cepat menarik tangan Caroline lalu mendorongnya untuk masuk ke dalam toilet dan langsung mengunci pintu keluar. Caroline hampir saja menjerit sebelum Sebastian dengan cepat membungkam mulutnya.
"Ssstt ... ini aku," bisik Sebastian pelan, tangannya perlahan melepaskan bekapannya pada mulut Caroline.
Caroline mendengkus. "Kau membuatku kaget setengah mati. Kenapa kau melakukan ini?" cetusnya kemudian.
Sebastian menyungging senyum dan menjawab, "Akhir-akhir ini kau tidak memanggilku sehingga kita juga jadi jarang bertemu."
Caroline mengernyitkan dahinya, hingga menampilkan kerutan di bagian sana. Sedetik kemudian Caroline mendelik. "Semalam kan kita bertemu. Bagaimana kau bisa berbicara seperti itu?"
"Rasanya sudah sangat lama." Sebastian tersenyum kecil. Ia kini mengusap pipi Caroline dengan lembut, membuat Caroline bersemu karenanya. "Aku merindukanmu," bisiknya sangat pelan, namun masih dapat di dengar oleh Caroline.
Caroline merasakan bahwa hatinya menghangat. Ucapan manis dari Sebastian mampu membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ah, ternyata inilah yang dirasakan orang ketika sedang jatuh cinta.
"Kenapa kau diam? Kau tidak merindukanku?"
Caroline menormalkan ekspresi seraya menurunkan tangan Sebastian dari pipinya. "Jadi ... tentang ucapanmu semalam itu, kau sungguh-sungguh?" Mata Caroline mengerjap beberapa kali, membuatnya terlihat sangat menggemaskan di mata Sebastian.
Sebastian mengusap dagu dengan jemarinya, seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ucapanku yang mana?"
Oh ayolah!
Apakah kini Sebastian tengah menggodanya?Caroline memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jangan pura-pura tidak ingat!" pekiknya.
Sebastian tersenyum miring. Tangannya kini meraih tangan Caroline hingga gadis itu kembali menoleh ke arahnya. "Semalam aku berbicara banyak kepadamu. Aku benar-benar tidak ingat," ucapnya disambut dengan raut wajah sebal dari Caroline.
"Yang ... kau ingin tahu siapa yang kucintai saat ini? Dia, adalah orang yang sedang berada di hadapanku sekarang." Caroline berucap sambil menirukan gaya suara yang pernah dilakukan oleh Sebastian dulu. Sebastian yang melihatnya refleks terkekeh geli. Ia begitu gemas melihat tingkah lucu Caroline saat ini.
Tanpa aba-aba, Sebastian menarik pinggang Caroline hingga gadis itu hampir saja bertubrukan dengan tubuhnya, sebelum tangan Caroline dengan cepat menahan dada Sebastian. Sungguh, hal tersebut membuat wajah Caroline memanas. Apalagi dengan jarak yang terbilang intim ini membuat dirinya bisa melihat pahatan sempurna dari wajah Sebastian dengan jelas.
"Aku mencintaimu," bisik Sebastian dengan lembut.
Pipi Caroline bersemu. Ia tidak menyangka bahwa lelaki itu akan senekat ini. Untung saja di dalam toilet ini hanya ada mereka berdua. Jika tidak, mungkin keadaan ini akan membuat banyak orang salah paham.
"Kapan kau akan membalas perasaanku?" ucap Sebastian lagi. Matanya terus menatap Caroline dengan intens, membuat mereka saling mengunci tatapannya masing-masing.
Caroline bungkam. Sejujurnya, rasa itu juga mulai muncul di dalam hatinya. Tapi ... apakah Sebastian lupa bahwa bangsa manusia dan vampier tidak akan pernah bisa bersatu? Sejatinya, perasaan yang mereka rasakan ini akan berujung dengan sia-sia.
Caroline melepaskan pegangan Sebastian dari pinggangnya. Selanjutnya, ia melangkah untuk mundur hingga terbuatlah jarak antara dirinya dengan Sebastian. "Aku harus segera pulang, seseorang telah menung--" Ucapan Caroline terhenti ketika ia mata Sebastian mulai menatapnya dengan tatapan tajam.
"Em ... Aku pergi." Tanpa berbicara lagi, Caroline langsung mengambil langkah sebelum Sebastian dengan cepat berpindah untuk menghalangi jalannya.
"Siapa yang telah menunggumu?" Nada bicara Sebastian terdengar sangat dingin. Mimik wajahnya pun telah berubah menjadi datar.
Caroline menghela nafasnya, melawan rasa was-was yang sempat menerpa hatinya. "Nick. Kami akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Sarah-"
"Bohong."
Mata Caroline membulat ketika Sebastian dengan spontan memotong kalimatnya. "Aku tidak berbohong! Aku dan Nick memang akan pergi ke rumah sakit, menjenguk Sarah sekaligus menyelidiki tentang kasus hilangnya stok darah di rumah sakit itu," jelasnya kemudian.
Mata Sebastian menyipit, mengamati Caroline dengan tatapan meneliti. "Untuk apa kau melakukan itu semua? Tidak ada gunanya. Kau malah akan membahayakan dirimu sendiri."
Caroline menggeleng. "Aku malah akan senang jika bisa membantu Nick dalam menyelesaikan kasus itu. Dia-"
"Jangan bantu dia," sela Sebastian.
Kening Caroline mengernyit, seakan menyiratkan bahwa ia ingin tahu alasannya.
"Aku sudah berpesan, bahwa kau jangan pernah berdekatan dengan lelaki lain selain aku."
Caroline mendengkus kesal. "Dan aku juga sudah bilang bahwa aku tidak akan mengikuti lagi semua perintahmu! Don't forget it!" Kaki jenjangnya melangkah untuk bisa dekat dengan Sebastian. "Nick itu lelaki yang baik. Aku yakin, dia pasti bisa menjagaku dengan baik!"
Setelah itu, Caroline mengambil langkah dan keluar dari dalam toilet. Berbeda halnya dengan Sebastian. Lelaki itu masih mematung di tempatnya dengan tangan yang mengepal.
"Andai kau tahu siapa dalang dari semua ini, Caroline."
_______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me, Sebastian [END]
Misteri / ThrillerFantasy - Romance - thriller • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Sebastian Logan Tyler. Cowok misterius yang berhasil mengusik hidup Caroline Lorender. Kehadirannya membuat kehidupan gadis ini menjadi tidak tenang. Apalagi ketika cowok itu hampir...