21. Who is the culprit?

1.2K 155 2
                                    

21. Siapa pelakunya?

Hari sudah berganti menjadi pagi. Caroline sekarang tengah duduk di ruang makan bersama Lucky. Semalam, Caroline sudah memberi alibi tentang hilangnya ia waktu itu. Caroline beralasan bahwa ia pergi ke rumah Brent dan syukurlah Lucky mempercayai hal tersebut. Tidak mungkin kan, Caroline membicarakan yang sebenarnya? Caroline berharap semoga saja, Lucky tidak menanyakan kebenarannya pada Brent.

"Lebih baik kau diam di rumah, daripada pergi ke sekolah, honey."

Lucky menatap Caroline dengan raut wajah tak suka. Putrinya ini memang keras kepala. Ia tetap bersikukuh untuk bersekolah, padahal Lucky yakin bahwa kondisinya masih belum stabil.

"Tidak, Papa. Lagian, aku bosan jika berada di rumah terus. Dan mungkin, nanti saat pulang sekolah aku akan menyempatkan diri untuk menjenguk keadaan Sarah," balas Caroline. Suapan terakhirnya kini telah masuk ke dalam mulut, hingga membuat Caroline segera beranjak dari sana.

"Jangan lupa, jika pergi ke manapun, kau harus meminta ijin kepada Papa terlebih dahulu," pesan Lucky.

"Okay." Caroline mengangguk seraya tersenyum. Sekilas dirinya mencium pipi Lucky kemudian melenggang pergi dari sana.

Setelah sampai di sekolahnya, Caroline berjalan menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Jujur saja, Caroline merasa sangat bersemangat kali ini. Mungkin hal tersebut adalah efek dari ucapan Sebastian semalam.

Kau ingin tahu siapa yang kucintai saat ini?

Dia, adalah orang yang berada di hadapanku sekarang.

Caroline mengacak rambutnya sambil tersenyum gemas. Lagi dan lagi perutnya kembali bergejolak. Rasa itu kembali ia rasakan. Ah, apakah ia sudah benar-benar mencintai Sebastian? Tapi ...

Langkah Caroline seketika terhenti. Bukankah, Sebastian pernah bilang bahwa bangsa manusia dan vampier tidak akan pernah bisa bersatu?

Caroline memejamkan matanya dengan rapat. Ia hampir saja melupakan hal itu. Namun, ucapan Sebastian semalam? Apa lelaki itu benar-benar dalam mencintainya?

Caroline berdecak seraya berkacak pinggang. "Kenapa semuanya menjadi rumit seperti ini?" cicit Caroline, nyaris tak terdengar.

"HEI!"

Caroline hampir saja menjerit ketika Brent tiba-tiba datang dan menerjang tubuhnya dari belakang. Caroline terhuyung ke arah depan sebelum Brent dengan sigap menahan lengannya.

"Brent!" pekik Caroline--memukul dada Brent dengan kesal. "Aku hampir saja terjatuh!"

Brent cekikikan. Ia kini merangkul Caroline dan berkata, "I'm sorry, babe."

Caroline mendelik lalu menepis tangan Brent di bahunya. "Bagaimana dengan pertandinganmu? Apa kau masih sibuk?" tanya Caroline kemudian.

Alis Brent bertaut, lelaki ini menggeleng kecil. "Tidak. Pertandingan itu diundur menjadi bulan depan. Menyebalkan," cibirnya.

Caroline bergumam. Karena tidak ingin berlama-lama, ia melangkah pergi dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Sementara Brent yang melihatnya, langsung saja mengejar Caroline seraya menyetarakan langkahnya.

"Kenapa kau sekolah? Memangnya Ayahmu sudah mengijinkanmu untuk pergi ke sini?" tanya Brent, kembali membuka topik pembicaraan.

Caroline melipat tangannya di atas dada tanpa berniat untuk membalas tatapan Brent. "Aku bosan jika terus-terusan berada di dalam rumah. Lagian, aku juga sudah lama pulih."

"Kau kan baru pulang kemarin, dari mana munculnya kata bosan itu?"

Ucapan Brent membuat Caroline mengerlingkan matanya. "Sudahlah, kau membuatku pusing saja," cetus Caroline.

Brent terkekeh. Tangannya kini mengacak pucuk rambut Caroline dengan gemas. Sekarang keduanya telah tiba di ambang pintu kelas Caroline.

Saat Caroline hendak masuk, Brent mencekal lengannya hingga membuat Caroline kembali membalik. "Aku ingin minta maaf kepadamu," ujarnya, disambut dengan kernyitan dahi dari Caroline.

"Minta maaf untuk apa?"

Brent terlihat sedang berpikir. Lelaki ini melepaskan lengan Caroline lalu menatapnya dengan intens. "Karena waktu itu, aku tak sempat menemuimu di rumah sakit."

Kening Caroline berkerut. Hingga akhirnya sebuah ingatan di mana seorang pelayan memberinya sebuket bunga dengan di atasnamakan Brent, melintas di otaknya.. "Oh ... kau yang memberiku bunga itu, kan?" Brent mengangguk.

Caroline berdesis. "Urusan apa yang membuatmu sampai tidak jadi menemuiku? By the way, terimakasih atas bunganya."

Brent tersenyum kecil. "Sama-sama. Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku lapar, perutku sudah sakit--harus segera diisi."

Caroline sempat menimang-nimang ucapan Brent sebelum menjawab, "Ya sudahlah, sebaiknya kau segera pergi sana! Sebentar lagi bel masuk berbunyi."

Ucapan Caroline langsung diangguki oleh Brent. Lelaki itu perlahan mulai lenyap dari pandangan, membuat Caroline dengan segera masuk ke dalam kelasnya.

Belum sampai lima menit Caroline duduk di kursinya, kedatangan Emily membuat semua orang yang berada di sana tersentak kaget. Gadis berambut pirang ini berlari--masuk ke dalam kelas dengan nafas yang memburu.

"Ada apa, Emily?" tanya salah satu siswi di dalam kelas tersebut. Sementara Caroline masih memperhatikan Emily dengan seksama.

"Anya ... si nerd  itu ..." Emily mengambil nafas lalu membuangnya dengan hati-hati.

"Apa yang terjadi dengan Anya?" Itu suara Caroline. Nampaknya ia juga ikut tertarik, mengingat Anya--adalah seorang siswi yang sempat dekat dengan Brent di tempo waktu.

"Anya ... dia ..." Emily menelan salivanya dengan susah payah, membuat semua orang menunggu ucapannya selanjutnya. "Ada seseorang yang telah membunuhnya!"

Deg

Mata Caroline refleks membulat bersamaan dengan semua teman sekelasnya yang juga mulai terlihat ricuh. Caroline sontak bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Emily.

"Siapa pelakunya?"

Emily membalas tatapan Caroline. Gadis ini memegangi dadanya sesaat sebelum menjawab, "Aku tidak tahu. Jelasnya, baru saja ia ditemukan tewas di taman belakang sekolah dengan wajah yang benar-benar pucat. Bahkan aku sampai tidak sanggup untuk melihatnya."

Caroline menutup mulutnya. "Apa mungkin, dia bunuh diri?" tanyanya kemudian.

Emily menggeleng. "Sepertinya bukan. Mr. Steve menemukan bahwa lehernya berlubang, seperti ... bekas gigitan ular. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti."

"Sekarang bagaimana dengan kondisi jasadnya?" Emily mengalihkan pandangannya ke arah salah satu teman sekelasnya yang mengajukan pertanyaan.

"Dia sedang diotopsi. Polisi sedang menyelediki kasusnya dan masih belum berani untuk memindahkan jasad Anya dari tempatnya." Penjelasan membuat seluruh murid di kelasnya itu langsung berbondong-bondong untuk keluar kelas, berniat untuk melihat kondisi di taman belakang sana.

Berbeda halnya dengan Caroline yang kini malah mematung di tempatnya. Sekarang tinggallah ia sendiri di dalam kelas. Kepalanya menunduk, sedangkan tangannya meremas roknya dengan erat.

"Siapa lagi pelakunya?"

________________________________

Call Me, Sebastian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang